Dengan pertimbangan yang matang akhirnya, Agam memutuskan untuk mengajak Laila ke rumah orangtuanya. Bagaimanapun, menikah bukanlah sebuah hal yang sembarangan. Jadi, meminta restu pada orang tua tentu bukan hal yang buruk. Sekalipun, seorang laki-laki tifak memerlukan wali saat menikah.
Siang itu, mereka berdua sampai di kediaman Pak Hanif. Seperti biasa, rumah sepi. Agam langsung masuk dan mendapati ibunya yang sedang memasak.
"Ada yang mau aku kenalkan, Bu."
"Siapa? " tanya ibunya sambil mencuci tangan.
"Calon istriku." Bu Nusri berbalik memandang Agam.
"Gam, Ibu malu sekali pada orang tua Lina."
"Bukan saatnya berdebat, Bu. Aku lelah. Aku tidak ingin berselisih pendapat dengan Ibu terus menerus. Jadi tolong, Bu, biarkan aku memilih jalan hidupku. Sampai kapan kita akan seperti ini terus? Tidakkah Ibu kasihan melihat kehidupan aku yang sendiri mengurus anak? Aku ingin punya pendamping hidup, Bu. Untuk tempat berkeluh kesah ...." Agam dudu
"Pak, bisakah sesekali Bapak menempatkan yang salah di posisi yang salah, dan yang benar tidak selalu harus mengakui salah?" tanya Agam. "Aku tidak pernah membuat masalah dengan Iyan. Dulu saja, aku mengalah banyak hal untuk dia. Aku akan membina kembali hubungan seperti duku bila, yang benar-benar salah mengakui kalau dia salah. Agar tidak terus menerus terdidik menjadi seorang yang egois. Dan, kedatangan kami ke sini ingin memberi kabar. Hal-hal yang sekiranya bisa menimbulkan perdebatan kita hindari saja, Pak. Sekaligus aku mau minta ijin, memindah domisili ke desa Laila." Pak Hanif terdiam. Cukup lama. Hingga hanya hanya detak jarum jam yang terdengar. "Bila Bapak dan Ibu berkenan, datanglah ke pernikahan kami, Pak, Bu. Bila tidak, aku tidak memaksa. Aku sudah terbiasa menjalani semua hal seorang diri." Pak Hanif masih terdiam. Begitu juga dengan Bu Nusri. "Aku pamit, Pak, Bu. Doakan, pernikahan kami langgeng dan bisa menjadi keluarga yang selalu mendapat ridho A
Sejak melihat foto yang diunggah Rida, hati Anti selalu diliputi rasa gelisah. Mencoba menepis rasa yang hadir namun, justru semakin terasa menyakitkan. Bayang-bayang wajah bayi dalam foto tidak bisa hilang dari ingatannya.'Apa aku memang telah berdosa pada bayi yang aku lahirkan karena meninggalkannya?' hati Anti selalu bergejolak atas pertanyaan itu.'Apa semua hal yang aku alami adalah buah dari perbuatanku dahulu?' bertanya sisi hati yang lain.Berhari-hari ada sebuah keinginan yang terus mendorong hatinya untuk berangkat menemui Agam."Anti, uang sisa yang akan Ibu gunakan untuk setoran bank tiap bulan, sudah habis." Saat pikirannya kacau karena memikirkan bayi yang ada dalam foto Rida, ibu Anti malah memberikan tambahan beban."Lhoh, uangnya ke mana, Bu?" tanya Anti meradang."Ibu kirim buat adikmu. Istrinya melahirkan. Masa Ibu tidak kirim uang?""Terus, mulai bulan depan, siapa yang nyetori?""Ya, kamu, An!" jawa
Umbul-umbul terpasang di halaman rumah Laila. Suara soundsystem menggema memperdengarkan lantunan ayat suci. Dekorasi pelaminan minimalis terpasang di halaman. Di depannya deretan kursi berjajar untuk duduk tamu undangan.Di kamarnya yang tidak terlalu luas, Laila tengah dirias oleh seorang perias kampungnya. Terlihat cukup cantik karena memang, gadis sederhana itu jarang bersolek.Sementara di rumah kontrakannya, Agam juga sudah bersiap dengan memakai jas. Nampak beberapa rekan kerjanya yang akan mengiring Agam sebagai mempelai pria. Mereka saling melempar canda.Sedari tadi malam, Agam sudah mempersiapkan hati, untuk dapat menerima kalau di hari pernikahan yang ketiga, akan sama dengan saat dirinya menikah dengan Anti. Tanpa keluarga. Mencoba ikhlas dengan keadaan. Namun dalam hati, ada sebuah harap akan luluhnya hati kedua orangtuanya.Sebuah mobil berhenti di jalan depan. Agam mengira itu Nia karena memang, mantan istrinya sudah berjanji akan hadir da
Nia berpamitan sebelum acara selesai. Enggan bertemu mantan mertua yang menjadikan alasan dirinya ingin segera meninggalkan tempat pernikahan.Kedua anaknya tentu saja protes. Karena masih kangen dengan Bilal. Apalagi, adik dari ibu yang berbeda itu kini terlihat semakin lincah. Tingkahnya membuat Danis dan Dinta tertawa gemas."Kapan-kapan, kita ke sini lagi, ya? Papah mau rapat." Pak Irsya berusaha membujuk. Namun, mereka menunjukkan wajah ngambek. Nia tahu bagaimana cara membuat mereka mau pulang."Ada Aira. Kalian mau, nanti Aira main bareng?" tanya Nia berbisik. Wanita itu tahu, hal yang ia sampaikan bukanlah didikan yang baik. Akan tetapi, untuk sementara, tidak alasan agar anak-anaknya akur dengan saudara sepupu mereka."Gak mau ...," jawab Danis menunjukkan wajah sedih."Ayo, kita pamit sama Ayah," ajak Nia pada kedua anaknya. Mereka berempat berjalan menuju pelaminan. Tempat kedua mempelai tengah berfoto."Terimakasih sudah datang,
Sampai di rumah, hingga malam hari, Nia masih terdiam. Menjelang tidur, dirinya berdiri di depan jendela. Menatap bulan sabit yang muncul di langit yang cerah. Sebuah lengan melingkar di perut, disertai cubitan kecil."Kamu mikir apa?" tanya Pak Irsya sembari meletakkan dagu pada pundak istrinya. Nia hanya mendongakkan kepala dan tersenyum. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Diusapnya lembut dagu lelaki yang selalu melindungi dan memberikan segala hal yang ia pinta."Bulan itu, sangat indah," jawab Nia asal.'kamu, bohong!' batin Pak Irsya berucap."Kamu mau apa? Beli perhiasan lagi? Ganti mobil, atau motor? Atau, kita honeymoon lagi ke Lombok?" tanya pria itu kemudian. Hatinya tidak bisa dibohongi. Dia tahu kalau, istrinya tengah memikirkan tangisan Agam saat di pelaminan tadi. Namun, berusaha untuk pura-pura. Tekad dalam hati akan melindungi apa yang ia miliki dengan cara memberikan kasih sayang. Sadar bahwa, sikap protektif bisa memunculkan
Acara resepsi sederhana berakhir habis dhuhur. Keluarga Agam pamit. Namun, Bu Nusri dan suaminya serta Aira ditambah Sarah memilih tetap tinggal. Akhirnya, mobil yang satu terpaksa menunggu.Setelah semua tamu undangan pergi, Agam mengajak orangtuanya ke rumah dengan membawa Bilal. Tidak lupa, dirinya berpamitan pada Laila."Setelah Bapak dan Ibu pulang, aku ke sini," pamit Agam. Laila mengangguk saja dan menyunggingkan senyum manis. Baru kali ini, Agam merasa, wanita yang telah dinikahinya itu bersikap ramah.Dengan menaiki mobil, mereka menuju kontrakan. Sepanjang jalan yang hanya sebentar, tidak ada perbincangan apapun terjadi diantara keluarga itu. Pun ketika sampai di rumah. Agam hanya mempersilakan sekadarnya. Masih ada rasa canggung untuk memulai keakraban seperti dulu kala.Agam juga tidak ramah pada Aira. Gadis kecil yang dahulu menjadi kesayangan itu terus memandang Agam kemanapun pria itu melangkah. Sementara ,Bu Nusri menimang-nimang Bilal den
"Gam, kamu tidak ingin melihat keadaan Rani? Kasihan dia, Gam. Kadang masih kayak orang hilang ingatan. Bantu bagaimana caranya, Gam ..." Setelah lama saling terdiam, Bu Nusri kembali membuka percakapan. "Iya, Gam. Yang sudah berlalu ya, sudah. Sekarang, kamu sudah punya istri baru. Mulailah dengan hal baru. Ajak istri kamu ke sana kalau akhir pekan. Biar membantu menjaga Aira dan Rani. Ibu kamu mau keliling jualan," sambung Pak Hanif. "Pak, Bu, intinya, sudahlah! Jangan selalu menimbulkan perdebatan atas perlakuan aku terhadap Aira ataupun Rani. Aku sudah memiliki kehidupan sendiri. Mereka, aku biarkan menjalani hidup sendiri. Mau berapa kali-pun Ibu meminta aku untuk ikut mengurus Rani, aku tidak akan melakukan itu. Laila adalah istri. Bukan pembantu. Bila Rani masih seperti itu, barangkali memang seperti inilah nasib dia. Terima dengan ikhlas dan sabar. Jangan saya yang baru saja istirahat dari peliknya hidup sendiri disuruh pusing lagi. Ibu pengin, aku juga gila?
Hari-hari Agam berjalan dengan penuh kebahagiaan. Meskipun hidup dalam kesederhanaan.Pagi Hari, Agam berangkat bekerja. Laila di rumah menjaga Bilal dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya."Mas, aku ingin berjualan," ucap Laila suatu sore saat mereka berdua duduk di teras rumah menikmati suasana sore yang cerah. Sementara Bilal, berada di rumah ibunya."Jualan apa? Tidak usah! Bukan tugas kamu mencari uang. Kamu cukup di rumah saja. Masakkan untuk aku dan rawat Bilal dengan baik. Yang penting, kamu menerima keadaan aku yang seperti ini. Hidup seadanya. Semua penghasilan, akan aku berikan pada kamu," jawab Agam sambil mengelus kepala yang tertutup jilbab."Aku malu, Mas. Tidak bisa menghasilkan apapun untuk membantu kamu. Sementara istrimu yang dulu adalah wanita pekerja keras." Agam menggenggam tangan istrinya dan mengelus dengan mesra."Kamu adalah tanggung jawab aku. Apapun yang kamu butuhkan, bilang sama aku. Bila aku punya uang, akan aku
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”