Acara resepsi sederhana berakhir habis dhuhur. Keluarga Agam pamit. Namun, Bu Nusri dan suaminya serta Aira ditambah Sarah memilih tetap tinggal. Akhirnya, mobil yang satu terpaksa menunggu.
Setelah semua tamu undangan pergi, Agam mengajak orangtuanya ke rumah dengan membawa Bilal. Tidak lupa, dirinya berpamitan pada Laila.
"Setelah Bapak dan Ibu pulang, aku ke sini," pamit Agam. Laila mengangguk saja dan menyunggingkan senyum manis. Baru kali ini, Agam merasa, wanita yang telah dinikahinya itu bersikap ramah.
Dengan menaiki mobil, mereka menuju kontrakan. Sepanjang jalan yang hanya sebentar, tidak ada perbincangan apapun terjadi diantara keluarga itu. Pun ketika sampai di rumah. Agam hanya mempersilakan sekadarnya. Masih ada rasa canggung untuk memulai keakraban seperti dulu kala.
Agam juga tidak ramah pada Aira. Gadis kecil yang dahulu menjadi kesayangan itu terus memandang Agam kemanapun pria itu melangkah. Sementara ,Bu Nusri menimang-nimang Bilal den
"Gam, kamu tidak ingin melihat keadaan Rani? Kasihan dia, Gam. Kadang masih kayak orang hilang ingatan. Bantu bagaimana caranya, Gam ..." Setelah lama saling terdiam, Bu Nusri kembali membuka percakapan. "Iya, Gam. Yang sudah berlalu ya, sudah. Sekarang, kamu sudah punya istri baru. Mulailah dengan hal baru. Ajak istri kamu ke sana kalau akhir pekan. Biar membantu menjaga Aira dan Rani. Ibu kamu mau keliling jualan," sambung Pak Hanif. "Pak, Bu, intinya, sudahlah! Jangan selalu menimbulkan perdebatan atas perlakuan aku terhadap Aira ataupun Rani. Aku sudah memiliki kehidupan sendiri. Mereka, aku biarkan menjalani hidup sendiri. Mau berapa kali-pun Ibu meminta aku untuk ikut mengurus Rani, aku tidak akan melakukan itu. Laila adalah istri. Bukan pembantu. Bila Rani masih seperti itu, barangkali memang seperti inilah nasib dia. Terima dengan ikhlas dan sabar. Jangan saya yang baru saja istirahat dari peliknya hidup sendiri disuruh pusing lagi. Ibu pengin, aku juga gila?
Hari-hari Agam berjalan dengan penuh kebahagiaan. Meskipun hidup dalam kesederhanaan.Pagi Hari, Agam berangkat bekerja. Laila di rumah menjaga Bilal dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya."Mas, aku ingin berjualan," ucap Laila suatu sore saat mereka berdua duduk di teras rumah menikmati suasana sore yang cerah. Sementara Bilal, berada di rumah ibunya."Jualan apa? Tidak usah! Bukan tugas kamu mencari uang. Kamu cukup di rumah saja. Masakkan untuk aku dan rawat Bilal dengan baik. Yang penting, kamu menerima keadaan aku yang seperti ini. Hidup seadanya. Semua penghasilan, akan aku berikan pada kamu," jawab Agam sambil mengelus kepala yang tertutup jilbab."Aku malu, Mas. Tidak bisa menghasilkan apapun untuk membantu kamu. Sementara istrimu yang dulu adalah wanita pekerja keras." Agam menggenggam tangan istrinya dan mengelus dengan mesra."Kamu adalah tanggung jawab aku. Apapun yang kamu butuhkan, bilang sama aku. Bila aku punya uang, akan aku
Setelah sholat, ternyata Agam duduk di tepi kasur. Samping tempat menggelar sajadah."Mas, maafkan aku," telunjuk Agam langsung menutup mulut istrinya. Dirinya ikut duduk di lantai yang dingin."'Aku bukan orang yang sempurna. Di sekitar lingkungan tempat tinggal kamu, pasti kisah hidupku sudah banyak yang mengetahui. Beruntung, status PNS aku membuat orang masih segan. Aku kecewa kamu berbohong masalah ini. Tapi, aku juga bukan orang baik. Terlebih dengan seorang anak yang lahir dari hubungan haram yang dicampakkan ibunya. Mungkin dengan ini, Allah mempertemukan jodohku. Dengan nasib malang yang kamu alami, Laila. Dengan Bilal yang yang dicampakkan ibunya. Segala sesuatu sudah diatur Allah dengan begitu indah. Dengan rancangan yang sangat sempurna. Tidak mengapa, aku menerima kekurangan kamu. Lagipula, anakku sudah tiga. Dan dengan seperti ini, kamu akan lebih menyayangi Bilal sepenuh hati." Agam berkata sambil menggenggam tangan Laila. "Terimakasih z sudah meny
"Mas!" Anti berteriak dan mengejar Agam. Hingga dirinya bisa mencekal salah satu lengan pria yang dulu pernah menjadi suaminya. Posisi keduanya sudah dekat dengan pintu masuk kantor."Lepaskan, Anti!" Agam berusaha menghindar. Akan tetapi, bak kesurupan setan, Anti malah semakin mencengkram lengan Agam, hingga kuku-kukunya menancap pada kulit suami Laila."Mas! Dengarkan aku! Aku adalah ibu kandung Bilal. Kalau kamu menikah dengan orang lain maka, aku akan mengambil dia lagi. Aku tidak rela kalau anakku diasuh orang yang tidak jelas," ceracau Anti dengan mata memerah."Mau ambil dia lagi? Memangnya kamu pernah merawat dia, hah? Bahkan, meliriknya saat masih satu kamar di rumah sakit saja tidak pernah! Jangan gunakan Bilal sebagai alat atas nasib buruk yang kamu terima. Jangan kamu gunakan dia sebagai pelarian terakhir kamu. Sekarang atau selamanya, kamu bukan ibunya! Jangan memancing emosi aku, Anti. Aku berusaha untuk tidak menggunakan kekerasan sama kamu. Kamu
"Aku istrinya. Aku ibu kandung Bilal. Dimana penghuni rumah ini?" tanya Anti tanpa sikap sopan."Mbak istrinya Mas Agam? Istri sah?""Ya, istri sah dimata agama. Aku mau mengambil anakku. Dimana mereka? Anda tahu?""Kalau Mas Agam masih punya istri, kenapa anaknya tidak ada yang merawat selama ini, Mbak? Kenapa Mas Agam sendirian mengasuh bayi yang baru lahir? Dan, Mas Agam dan Laila juga bisa menikah secara resmi di KUA." Mendengar sanggahan dari pria di depannya, Anti tentu saja gelagapan. Tidak menyangka akan mendapat serangan alibi."Itu, itu bukan urusan kamu! Tidak usah banyak bicara. Dimana istri Agam yang sudah merebut suami dan anakku?" tanya Anti ketus."Jelas urusan saya, Mbak. Mbak datang. Bikin keributan di lingkungan saya. Saya tidak kenal, ya saya tanya. Dan satu hal! Jangan sebut Laila sebagai perebut anak dan suami anda! Karena yang sebenarnya adalah, dia mengambil apa yang sudah anda buang. Dan merawatnya dengan tulus!""Ha
Lama, Anti tidak bangun. Membuat kedua petugas bank kebingungan. Akhirnya memilih mencari pertolongan. Dan beberapa saat kemudian, Anti sudah siuman.Malam harinya, wanita itu sulit sekali memejamkan mata. Bayangan buruk akan sebuah perkosaan yang hampir saja menimpa, membuatnya sesekali menutup telinga dan menggelengkan kepala dengan kasar.'Serendah itukah aku?' batinnya berujar.***Siang itu, Anti bersama rombongan kantor pergi ke sebuah rumah makan untuk merayakan ulang tahun salah satu temannya. Bukan sebuah perayaan layaknya anak muda. Hanya acara traktiran biasa.Selepas makan, satu per satu rekan kerjanya pulang. Tinggal Anti sendiri duduk di kursi menatap tanaman yang hijau di halaman. Rumah makan yang dipilih berkonsep di ruangan terbuka. Sehingga, angin segar bisa pengunjung rasakan secara langsung.Entah mengapa, dirinya masih ingin tetap duduk di sana. Menikmati kesendirian yang memilukan.Kini hidupnya sepi. Tanpa teman
Di malam yang sunyi, Anti merasa benar-benar sendiri. Dibukanya album foto saat menikah dengan Tohir dulu. Juga foto-foto Nadia saat kecil. Hatinya sakit.Setelah agak tenang, Anti duduk bersila, bersandar pada tembok.Penyesalan demi penyesalan datang."Seandainya waktu itu aku tidak meninggalkan Mas Tohir, pasti Mas Tohir tidak akan sama Erina. Tapi waktu itu, aku sangat mencintai Agam. Ah, andai saja aku menerima Agam dan juga bayiku. Setidaknya, saat ini aku tidak akan merasa kesepian." Anti berbicara sendiri. Tangisnya pecah. Tergugu seorang diri.Dalam kesedihannya, tiba-tiba teringat sebuah nama."Nia ...." Satu nama di masa lalunya ia sebut. Entah mengapa, dengan semua yang menimpa hidupnya saat ini, yang ada di kepalanya adalah sosok mantan istri Agam. Wanita yang pernah ia buat menangis.Siangnya, Anti nekat ke rumah Nia. Seorang diri mengendarainya motor menuju alamat yang berjarak satu jam dengan melewati hutan tentunya.B
Anti pulang ke rumahnya dengan membawa sejuta kecewa dalam dada.Saat ingin menenangkan diri, yang datang justru ibunya. Meminta tolong untuk melanjutkan cicilan bank yang telah diambilnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Anti menangisi nasibnya yang sudah porak poranda. Pernah dulu, menangis karena ingat Nadia namun, tidak sesakit ini."Kamu kenapa, An?" tanya wanita yang telah melahirkannya itu.Anti hanya diam. Tidak ada jiwa pemberani seperti dahulu ia tampakkan."Kamu kenapa?" ibunya mendekat. Memegang lembut pundaknya. Anti hanya diam. Membuat perempuan yang ada di sampingnya kebingungan."Maafkan Ibu, Anti! Ibu sudah membuat kamu menderita," ujarnya lirih sembari mengelus kepala anak perempuannya.Anti bergeming, dalam posisi duduk memeluk lutut. Tidak ia jawab sepatah katapun pernyataan dari sang Ibu.***Hari-hari berlalu dengan kesedihan. Menjalani hidup seorang diri. Hingga, satu bulan sudah berlalu sejak ia menem