"Mas!" Anti berteriak dan mengejar Agam. Hingga dirinya bisa mencekal salah satu lengan pria yang dulu pernah menjadi suaminya. Posisi keduanya sudah dekat dengan pintu masuk kantor.
"Lepaskan, Anti!" Agam berusaha menghindar. Akan tetapi, bak kesurupan setan, Anti malah semakin mencengkram lengan Agam, hingga kuku-kukunya menancap pada kulit suami Laila.
"Mas! Dengarkan aku! Aku adalah ibu kandung Bilal. Kalau kamu menikah dengan orang lain maka, aku akan mengambil dia lagi. Aku tidak rela kalau anakku diasuh orang yang tidak jelas," ceracau Anti dengan mata memerah.
"Mau ambil dia lagi? Memangnya kamu pernah merawat dia, hah? Bahkan, meliriknya saat masih satu kamar di rumah sakit saja tidak pernah! Jangan gunakan Bilal sebagai alat atas nasib buruk yang kamu terima. Jangan kamu gunakan dia sebagai pelarian terakhir kamu. Sekarang atau selamanya, kamu bukan ibunya! Jangan memancing emosi aku, Anti. Aku berusaha untuk tidak menggunakan kekerasan sama kamu. Kamu
"Aku istrinya. Aku ibu kandung Bilal. Dimana penghuni rumah ini?" tanya Anti tanpa sikap sopan."Mbak istrinya Mas Agam? Istri sah?""Ya, istri sah dimata agama. Aku mau mengambil anakku. Dimana mereka? Anda tahu?""Kalau Mas Agam masih punya istri, kenapa anaknya tidak ada yang merawat selama ini, Mbak? Kenapa Mas Agam sendirian mengasuh bayi yang baru lahir? Dan, Mas Agam dan Laila juga bisa menikah secara resmi di KUA." Mendengar sanggahan dari pria di depannya, Anti tentu saja gelagapan. Tidak menyangka akan mendapat serangan alibi."Itu, itu bukan urusan kamu! Tidak usah banyak bicara. Dimana istri Agam yang sudah merebut suami dan anakku?" tanya Anti ketus."Jelas urusan saya, Mbak. Mbak datang. Bikin keributan di lingkungan saya. Saya tidak kenal, ya saya tanya. Dan satu hal! Jangan sebut Laila sebagai perebut anak dan suami anda! Karena yang sebenarnya adalah, dia mengambil apa yang sudah anda buang. Dan merawatnya dengan tulus!""Ha
Lama, Anti tidak bangun. Membuat kedua petugas bank kebingungan. Akhirnya memilih mencari pertolongan. Dan beberapa saat kemudian, Anti sudah siuman.Malam harinya, wanita itu sulit sekali memejamkan mata. Bayangan buruk akan sebuah perkosaan yang hampir saja menimpa, membuatnya sesekali menutup telinga dan menggelengkan kepala dengan kasar.'Serendah itukah aku?' batinnya berujar.***Siang itu, Anti bersama rombongan kantor pergi ke sebuah rumah makan untuk merayakan ulang tahun salah satu temannya. Bukan sebuah perayaan layaknya anak muda. Hanya acara traktiran biasa.Selepas makan, satu per satu rekan kerjanya pulang. Tinggal Anti sendiri duduk di kursi menatap tanaman yang hijau di halaman. Rumah makan yang dipilih berkonsep di ruangan terbuka. Sehingga, angin segar bisa pengunjung rasakan secara langsung.Entah mengapa, dirinya masih ingin tetap duduk di sana. Menikmati kesendirian yang memilukan.Kini hidupnya sepi. Tanpa teman
Di malam yang sunyi, Anti merasa benar-benar sendiri. Dibukanya album foto saat menikah dengan Tohir dulu. Juga foto-foto Nadia saat kecil. Hatinya sakit.Setelah agak tenang, Anti duduk bersila, bersandar pada tembok.Penyesalan demi penyesalan datang."Seandainya waktu itu aku tidak meninggalkan Mas Tohir, pasti Mas Tohir tidak akan sama Erina. Tapi waktu itu, aku sangat mencintai Agam. Ah, andai saja aku menerima Agam dan juga bayiku. Setidaknya, saat ini aku tidak akan merasa kesepian." Anti berbicara sendiri. Tangisnya pecah. Tergugu seorang diri.Dalam kesedihannya, tiba-tiba teringat sebuah nama."Nia ...." Satu nama di masa lalunya ia sebut. Entah mengapa, dengan semua yang menimpa hidupnya saat ini, yang ada di kepalanya adalah sosok mantan istri Agam. Wanita yang pernah ia buat menangis.Siangnya, Anti nekat ke rumah Nia. Seorang diri mengendarainya motor menuju alamat yang berjarak satu jam dengan melewati hutan tentunya.B
Anti pulang ke rumahnya dengan membawa sejuta kecewa dalam dada.Saat ingin menenangkan diri, yang datang justru ibunya. Meminta tolong untuk melanjutkan cicilan bank yang telah diambilnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Anti menangisi nasibnya yang sudah porak poranda. Pernah dulu, menangis karena ingat Nadia namun, tidak sesakit ini."Kamu kenapa, An?" tanya wanita yang telah melahirkannya itu.Anti hanya diam. Tidak ada jiwa pemberani seperti dahulu ia tampakkan."Kamu kenapa?" ibunya mendekat. Memegang lembut pundaknya. Anti hanya diam. Membuat perempuan yang ada di sampingnya kebingungan."Maafkan Ibu, Anti! Ibu sudah membuat kamu menderita," ujarnya lirih sembari mengelus kepala anak perempuannya.Anti bergeming, dalam posisi duduk memeluk lutut. Tidak ia jawab sepatah katapun pernyataan dari sang Ibu.***Hari-hari berlalu dengan kesedihan. Menjalani hidup seorang diri. Hingga, satu bulan sudah berlalu sejak ia menem
Sebelum membukanya, Laila mengintip dari balik jendela. Seorang wanita berdiri di sana. Dirinya merasa takut. Sejauh ini, belum pernah melihat bagaimana wajah Anti secara langsung. Pun dengan fotonya, Agam sama sekali tidak mau menyimpan. Sehingga, tak ada gambar yang ia tunjukkan. Selain itu, lelaki itu memang ingin mengubur kenangan buruk di masa lalu.Di tengah kebimbangan, Laila memilih mengambil gawai dan menghubungi suaminya. Dan mengatakan bahwa, di luar ada seorang tamu wanita yang tidak ia kenal.Agam segera menutup telepon dan bergegas pulang.Gedoran dari luar semakin kencang. Membuat Bilal terbangun dan menangis. Laila jadi semakin takut. Karena dengan tangisan Bilal maka, wanita yang berdiri di luar akan tahu bahwa di dalam ada orang."Buka pintunya! Aku tahu, ada orang di dalam!" teriak dia yang saat ini berdiri di ambang pintu.Anti, hari ini nekat kembali mendatangi tempat tinggal mantan suaminya. Rasa ingin bertemu dengan anak yang
"La, kamu kenapa, La?" tanya Agam lirih. Laila hanya menggelengkan kepala. Sambil terus memegang telinga.Dalam keadaan bingung, Agam mengambil ponselnya dan menghubungi Yanto. Memintanya untuk datang bersama Pak RT Utuk mengamankan Anti karena wanita itu terus berteriak dari luar meminta dibukakan pintu.Laila semakin takut. Air mata semakin deras mengalir sementara Bilal masih menangis kencang.Beberapa menit berlalu, Agam memilih menenangkan bayinya sembari menunggu bantuan datang.Terdengar suara gaduh dari luar. Agam keluar kamar dan mengintip dari balik jendela."Lepaskan aku! Aku ingin menemui anakku. Aku ingin mengambilnya dan membawa pulang," ceracau Anti yang ditarik paksa oleh Pak RT juga Yanto. Sementara di belakang, menyusul Tuti yang langsung menuju pintu samping minta dibukakan.Setelah dibuka, perempuan itu langsung masuk mengambil Bilal dari gendongan ayahnya.Agam bergegas ke dalam kamar dan berusaha menenangkan istr
Hidup Iyan bagaikan patung yang bernyawa. Tidak ada gairah kebahagiaan yang mewarnai hari-harinya seperti dahulu kala. Bagaimana tidak? Di saat kawan seusianya menjalani hidup yang bahagia dengan istri dan anaknya. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga kecil mereka, dirinya hanya bisa menatap Rani yang belum sepenuhnya waras. Konon katanya, seseorang yang pernah mengidap gangguan penyakit jiwa, dia tidak akan sembuh sepenuhnya. Tidak akan berubah menjadi normal. Beberapa bulan lalu, pernah suatu ketika Rani berulah, berteriak-teriak kencang di depan rumah, hingga Iyan sampai kalap menghajarnya. Dan entah kebetulan atau karena ada faktor lain, Rani sedikit berubah, sedikit bisa berpikir layaknya dahulu kala. Mencuci, dan bekerja layaknya seorang ibu rumahtangga. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung seterusnya. Terkadang, Rani masih suka berbicara dan mengamuk sendiri. 'Lalu, apa artinya hidupku saat ini?' batin Iyan berteriak.
Sarah termenung, setelah mendapat telepon dari bapaknya yang berada di luar Jawa. Selama pergi berbulan-bulan tanpa kabar, baru kali ini, pria tang sebelumnya sangat ia sayangi itu memberi kabar meski lewat udara.Tetes-tetes air jatuh dari pelupuk matanya. Sungguh, dirinya begitu terpukul atas apa yang menimpa orangtuanya. Namun, mencoba kuat demi menjalani hidup yang masih harus berjalan.Gadis itu duduk di atas kasur, menatap titik-titik air hujan yang turun melalui jendela. Masih terekam jelas, perbincangan antara dirinya dengan bapak kandungnya."Rah, apa kabar?" tanya Seno di seberang telepon. Sarah diam. Tenggorokannya tercekat. Untuk beberapa saat, hening tercipta diantara mereka."Mengapa Bapak baru menanyakan kabar kami?" tanya Sarah balik. Pertanyaan yang ia berikan adalah bentuk sebuah protes."Bapak tidak punya pulsa ...," jawab Seno mencari alasan."Bapak pergi membawa uang banyak, mengapa hanya pulsa senilai sepu
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”