Sarah termenung, setelah mendapat telepon dari bapaknya yang berada di luar Jawa. Selama pergi berbulan-bulan tanpa kabar, baru kali ini, pria tang sebelumnya sangat ia sayangi itu memberi kabar meski lewat udara.
Tetes-tetes air jatuh dari pelupuk matanya. Sungguh, dirinya begitu terpukul atas apa yang menimpa orangtuanya. Namun, mencoba kuat demi menjalani hidup yang masih harus berjalan.
Gadis itu duduk di atas kasur, menatap titik-titik air hujan yang turun melalui jendela. Masih terekam jelas, perbincangan antara dirinya dengan bapak kandungnya.
"Rah, apa kabar?" tanya Seno di seberang telepon. Sarah diam. Tenggorokannya tercekat. Untuk beberapa saat, hening tercipta diantara mereka.
"Mengapa Bapak baru menanyakan kabar kami?" tanya Sarah balik. Pertanyaan yang ia berikan adalah bentuk sebuah protes.
"Bapak tidak punya pulsa ...," jawab Seno mencari alasan.
"Bapak pergi membawa uang banyak, mengapa hanya pulsa senilai sepu
"Mbak Nia, aku tahu, Ibu dan juga keluarga kami banyak salah sama Mbak Nia. Namun, Mbak Nia perlu tahu kalau, saat ini, keluarga kami telah mendapatkan banyak sekali balasan atas apa yang dilakukan sama Mbak Nia dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas nama mereka semua, Mbak ...." "Sarah, aku tidak punya kekuatan untuk memberi balasan apapun pada mereka yang telah membuatku terluka. Aku bahkan sudah melupakan semuanya. Aku tidak mau mengingat masa lalu itu lagi. Jadi, apa yang terjadi pada keluarga Sarah, itu adalah sebuah takdir." "Aku tahu, Mbak ... tapi, entah mengapa, rasanya aku ingin sekali ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Nia. Terutama atas nama Ibu," ucap Sarah mulai bergetar. Nia yang sebenarnya sudah tidak ingin lagi berurusan dengan keluarga Agam jadi bingung. "Ya, aku maafkan semuanya," jawab Nia datar. Sebenarnya hanya ingin mengakhiri pembahasan tentang mereka. "Mbak Nia, ak
Tiga bulan sudah berlalu sejak kecelakaan yang mengakibatkan kakinya cedera itu berlalu. Namun, kondisinya masih belum sembuh total.Sampai saat ini, Anti masih belum berangkat kerja.Dan satu bulan setelah kecelakaan itu terjadi, dirinya juga harus kehilangan rumah. Karena dilelang pihak bank. Sisa uang yang ia terima, disimpan dalam bank.Anti mencoba tegar, menjalani hidup sebagai balasan atas perbuatannya dahulu.Taubat itu tidaklah mudah. Akan ada jalan yang menyulitkan untuk menguji iman seseorang, serta kesungguhannya dalam menjalani usaha untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.Meskipun berusaha menjadi manusia yang lebih baik, tidak lantas mengembalikan semua hal yang ia miliki dulu.Terutama sahabat-sahabatnya. Tak jarang, beberapa dari mereka menyindir lewat status. Mengatakan bahwa, taubatnya itu hanyalah pencitraan.Akan tetapi, Anti, dengan segala rasa yang tersiksa berusaha untuk tetap menjadi manusia yang lebih baik.
Pagi itu, Sarah tengah menyapu halaman. Hari libur adalah waktu yang ia gunakan untuk membersihkan sekeliling rumah.Tempat tinggalnya sekarang terlihat sunyi dan sepi. Seolah kehilangan nyawa. Oleh karenanya, berusaha membuat lingkungan bersih, dirasa gadis itu sedikit membuat suasana hidup.Tiga bulan telah berlalu sejak dirinya datang ke rumah Nia.Uang bulanan masih ia dapat dari gaji ibunya. Meskipun tiada kabar dan berita.Bapaknya juga rajin mengirim uang. Namun, tidak ada keinginan untuk pulang menemuinya.Pernah sesekali saat berkirim kabar lewat udara, Sarah bertanya akan kejelasan hubungan pernikahan kedua orangtuanya. Namun, Seno tidak memberikan jawaban yang pasti."Bapak tidak akan menjanjikan apapun untuk kamu, Rah. Hanya saja, Bapak berusaha untuk menunaikan kewajiban Bapak sebagai orang tua. Memberi kamu yang setiap bulan. Maafkan atas perbuatan Bapak, Rah. Jangan harapkan Bapak pula
Beberapa bulan di rumah, Eka dan Sarah mencoba peruntungan nasib dengan berjualan makanan di depan rumah.Sebuah warung kecil didirikan di halaman. Eka bangun pagi buta untuk memasak. Dan mulai berjualan saat matahari sudah menyingsing.Tidak banyak untung yang ia dapatkan, akan tetapi, cukup untuk hanya sekadar makan sehari-hari.Sarah yang sudah berkomitmen membantu ibunya, bila suatu ketika kembali dari Jakarta, benar-benar menepati janjinya.Gadis itu melupakan luka laranya ditinggal pergi sosok yang dulunya sangat ia banggakan.Pernah kehilangan semangat hidup karena tidak tahu menahu kabar sang ibunda, kini, dirinya lebih mensyukuri apa arti kebersamaan.Setiap sebelum shubuh, Sarah bangun untuk membantu memasak.Selesai memasak, barulah berkemas-kemas berangkat sekolah. Pulang sekolah, kembali membantu ibunya di warung.Suatu ketika, Sarah mengatakan, kalau dirinya harus segera melunasi uang iuran bulanan di sekolah.
Eka diam. Bukan saatnya untuk menjawab. Hal yang dirinya inginkan adalah menyendiri. Kedatangan Seno setelah sekian lama tanpa kabar berita, adalah kejutan yang menyedihkan untuknya. Perlu waktu agar hati bisa berlapang dada dan pikiran bisa berpikir jernih. Ibu Sarah sadar sepenuhnya, antara dirinya dengan Seno harus ada sebuah pembicaraan. Setidaknya tentang kejelasan hubungan mereka. Akan tetapi, wanita itu ingin tidak saat ini. Segera bangkit dan menutup rapat warungnya. Melewati lelaki yang berdiri di samping pintu tanpa peduli untuk menutup daun yang terbuat dari kayu itu lagi. Eka berlari menuju pintu balai. Rata-rata rumah penduduk setempat memang ada balainya. Setelah mengambil beberapa baju, Eka kembali keluar. Dilihatnya Seno yang hendak menyusul. Namun, Eka segera berlari menghindar. Tujuan dari pelariannya adalah rumah orangtuanya. Mau kemana lagi? Dengan menghentikan motor yang lewat, Eka bisa keluar dari komplek t
Seno terlelap dalam kondisi yang kelelahan. Lelah tubuh juga pikiran.Sarah yang baru pulang merasa heran. Melihat warung ibunya tutup.Dengan langkah tergesa, gadis itu masuk ke dalam rumah.Semenjak peristiwa yang menimpa Eka di Jakarta, dirinya sangat takut kehilangan satu-satunya sosok yang menjadi sandaran hidupnya saat ini.Kaget. Ekspresi itulah yang ia tampakkan melihat seorang yang telah meninggalkannya dalam kepedihan.Napas Sarah berubah menjadi tidak beraturan. Amarah dan sedih bercampur menjadi satu.Memilih masuk kamar dan menguncinya dari dalam, adalah cara yang dilakukan untuk menenangkan diri.Di dalam ruangan tempat dirinya melepas segala beban hati, Sarah termenung, memikirkan sikap apa yang akan ia tunjukkan pada bapaknya. Canggung sudah pasti. Itu yang ia rasakan bila nanti harus bertatap muka.Dahulu kala, momen kepulangan Seno adalah hal yang paling Sarah harapkan. Tapi, tidak dengan saat ini. Justru tera
Meskipun tidak ingin menatap pria yang masih berstatus sebagai suaminya, namun, masalah diantara mereka harus diselesaikan.Mereka terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing."Kenapa diam? Sejak kapan, kamu selingkuh dan, berapa anakmu di sana sekarang? Bukankah, Sarah perlu tahu, tentang adik satu ayah yang kamu lahirkan dengan perempuan lain?" tanya Eka sarkas."Aku minta maaf, Eka. Aku memang salah. Tidak mudah bagi seorang lelaki yang hidup jauh dari istrinya. Aku memilih menikah agar tidak melakukan perbuatan dosa," aku Seno jujur."Apakah dengan membohongi kami, itu artinya tidak dosa? Apakah dengan mengkhianati aku, itu tidak salah, Seno?" tanya Eka mulai emosi."Aku manusia biasa, Eka! Tempatnya salah. Apalagi dengan kondisi kita yang jauh. Agam saja, yang bisa bertemu dengan Nia setiap hari, dengan tega mengkhianati Nia. Apalagi aku?"Pembelaan yang dilakukan Seno membuat Eka bungkam. Bayangan Nia yang tersakiti oleh segala sikap ad
"Gorengan ... gorengan ...!" teriak seorang gadis kecil berusia tujuh tahun sembari berkeliling jalan tengah kampung dengan membawa sebuah baskom.Bajunya lusuh, rambut dikuncir kuda dan tubuhnya terlihat sangat kurus.Sejenak dirinya berhenti di bawah sebuah pohon rambutan yang rindang. Nanar tatapannya menuju pada segerombolan anak dengan usia beragam tengah bermain kejar-kejaran di halaman warga yang luas.Ada sorot keinginan yang begitu besar untuk dapat bergabung dengan mereka. Namun, apalah daya, dua tahun lebih hidup dalam keterkucilan. Dirinya bahkan lupa, rasa bahagia saat bermain bersama teman sebayanya.Gerimis turun, membuatnya tersadar harus segera pulang meskipun barang yang ia jual belum laku banyak.Gegas, langkah kecilnya berlari menapaki jalan beraspal yang mulai licin.Sesampainya di halaman, dilihatnya sosok perempuan yang melahirkannya tengah duduk sembari memakan nasi dalam porsi yang banyak. Wajah cantiknya masih terli