Seno terlelap dalam kondisi yang kelelahan. Lelah tubuh juga pikiran.
Sarah yang baru pulang merasa heran. Melihat warung ibunya tutup.
Dengan langkah tergesa, gadis itu masuk ke dalam rumah.
Semenjak peristiwa yang menimpa Eka di Jakarta, dirinya sangat takut kehilangan satu-satunya sosok yang menjadi sandaran hidupnya saat ini.
Kaget. Ekspresi itulah yang ia tampakkan melihat seorang yang telah meninggalkannya dalam kepedihan.
Napas Sarah berubah menjadi tidak beraturan. Amarah dan sedih bercampur menjadi satu.
Memilih masuk kamar dan menguncinya dari dalam, adalah cara yang dilakukan untuk menenangkan diri.
Di dalam ruangan tempat dirinya melepas segala beban hati, Sarah termenung, memikirkan sikap apa yang akan ia tunjukkan pada bapaknya. Canggung sudah pasti. Itu yang ia rasakan bila nanti harus bertatap muka.
Dahulu kala, momen kepulangan Seno adalah hal yang paling Sarah harapkan. Tapi, tidak dengan saat ini. Justru tera
Meskipun tidak ingin menatap pria yang masih berstatus sebagai suaminya, namun, masalah diantara mereka harus diselesaikan.Mereka terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing."Kenapa diam? Sejak kapan, kamu selingkuh dan, berapa anakmu di sana sekarang? Bukankah, Sarah perlu tahu, tentang adik satu ayah yang kamu lahirkan dengan perempuan lain?" tanya Eka sarkas."Aku minta maaf, Eka. Aku memang salah. Tidak mudah bagi seorang lelaki yang hidup jauh dari istrinya. Aku memilih menikah agar tidak melakukan perbuatan dosa," aku Seno jujur."Apakah dengan membohongi kami, itu artinya tidak dosa? Apakah dengan mengkhianati aku, itu tidak salah, Seno?" tanya Eka mulai emosi."Aku manusia biasa, Eka! Tempatnya salah. Apalagi dengan kondisi kita yang jauh. Agam saja, yang bisa bertemu dengan Nia setiap hari, dengan tega mengkhianati Nia. Apalagi aku?"Pembelaan yang dilakukan Seno membuat Eka bungkam. Bayangan Nia yang tersakiti oleh segala sikap ad
"Gorengan ... gorengan ...!" teriak seorang gadis kecil berusia tujuh tahun sembari berkeliling jalan tengah kampung dengan membawa sebuah baskom.Bajunya lusuh, rambut dikuncir kuda dan tubuhnya terlihat sangat kurus.Sejenak dirinya berhenti di bawah sebuah pohon rambutan yang rindang. Nanar tatapannya menuju pada segerombolan anak dengan usia beragam tengah bermain kejar-kejaran di halaman warga yang luas.Ada sorot keinginan yang begitu besar untuk dapat bergabung dengan mereka. Namun, apalah daya, dua tahun lebih hidup dalam keterkucilan. Dirinya bahkan lupa, rasa bahagia saat bermain bersama teman sebayanya.Gerimis turun, membuatnya tersadar harus segera pulang meskipun barang yang ia jual belum laku banyak.Gegas, langkah kecilnya berlari menapaki jalan beraspal yang mulai licin.Sesampainya di halaman, dilihatnya sosok perempuan yang melahirkannya tengah duduk sembari memakan nasi dalam porsi yang banyak. Wajah cantiknya masih terli
Selesai mengaji, Aira membawa kembali baskom yang sudah kosong. Ada seulas senyum terpatri di bibir tipisnya. Segera, gadis kecil itu berlari menuju rumah. Namun, langkahnya terhenti demi melihat Rani yang berteriak-teriak sambil tertawa. Membuat kawanan anak-anak yang pulang mengaji menjadikannya bahan olok-olok.Muka Aira berubah merah menahan malu dan amarah. Ditariknya lengan sang Ibu dan mengajaknya pulang."Bu! Bisakah Ibu tidak membuat aku malu? Bisakah Ibu berdiam diri di rumah? Dan Bapak, tolong, Pak, jangan biarkan Ibu pergi dan menjadi bahan ejekan teman-teman," teriak Aira melepaskan beban di hatinya.Iyan yang terbaring lemas beranjak duduk bersandar pada tembok."Rani! Kamu dari mana?" tanya Iyan kesal."Hehe, hehe, hehe ...." Rani menjawab sambil tertawa-tawa kecil.Aira bangun, berlari menuju kamar dan menangis sejadi-jadinya. Terkadang terselip sebuah harap, ibunya meninggal saja. Agar tidak membuatnya malu dan menerima ejek
Kehidupan rumah tangga Erina dengan Tohir berjalan sangat bahagia. Meskipun sering ditinggal berlayar namun, Erina tipe wanita yang setia dan tidak neko-neko. Sehingga, hubungan mereka harmonis.Ada yang mengganjal dalam hati Erina, akan hubungan Nadia dengan ibu kandungnya. Setahun lebih sudah berlalu sejak dirinya menjadi ibu sambung namun, Nadia belum juga mau bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya.Ibu Tohir yang juga mertuanya, selalu memberikan doktrin buruk akan sosok Anti. Menjadikan Nadia semakin hilang rasa."Kalau kamu dekat dengan Anti, maka, kamu akan dicap buruk, Nad. Mbah sudah berusaha untuk membuat kamu menjadi gadis yang disegani banyak orang. Jadi, jangan hancurkan usaha Mbah, ya? Tolong, Nad, Mbah sayang sama kamu. Mbah tidak ingin kamu terlihat buruk. Yang terbaik adalah menjauh," begitu selalu yang diucapkan Ibu Tohir.Erina yang memiliki pemikiran berbeda tentu tidak setuju dengan hal ini. Akan tetapi, melawan bukanlah hal t
Suatu sore, istri Tohir butuh obat untuk ia beli di apotik. Dengan mengendarai motor sendiri, dirinya menuju tempat menjual obat yang tidak jauh dari rumahnya. "Mbak, beli salep untuk herpes," ucapnya pada pelayan yang memakai seragam. Sembari menunggu diambilkan, Erina berbalik badan, menatap jalan raya yang ramai. Sesosok perempuan dilihatnya turun dari motor, berjalan dengan agak pincang. Pakaian serba longgar dengan hijab besar menutup badan bagian atas. Ketika pandangan mereka beradu, keduanya sama-sama tertegun dan tidak ada satupun yang menyapa. "Mbak, ini salepnya." Suara pelayan apotek menyadarkan Erina dari keterpanaan melihat sosok Anti. Saat menunggu diambilkan kembalian, Anti sudah berdiri di sampingnya. Agak canggung untuk menyapa. Baik Erina maupun Anti, sama-sama segan untuk menyapa. Erina dengan ketakutannya sementara Anti diliputi rasa malu. "Mbak, beli apa?" tanya Erina basa-basi setelah mendapat kemb
"Mbak, jangan berbicara seperti itu! Aku akan berusaha membujuk Nadia agar mau bertemu dengan Mbak Anti," ujar Erina sembari memegang telapak tangan Anti.Kini, dirinya benar-benar tahu bahwa Anti telah berubah menjadi sosok yang lebih baik."Tidak usah, Rin! Itu hal yang sangat sulit. Kamu akan berdebat dengan banyak orang. Apa yang aku alami adalah buah dari perilakuku di masa lalu. Tidak sepantasnya kamu ikut menanggung ini. Terlebih, ini akan beresiko terhadap hubungan kamu dengan ibu Mas Tohir.""Tapi, Mbak! Bagaimanapun, Mbak Anti adalah wanita yang melahirkan Nadia. Darah lebih kental daripada air.""Bantu saja dengan doa. Agar ibu Mas Tohir luluh. Aku sangat paham sifat beliau. Bukan perkara mudah untuk dapat membuat ibu mertua kamu memaafkanku, Rin. Sudahlah, apa yang terjadi padaku itu sudah menjadi resiko. Anggap saja, balasan atas dosa-dosa yang aku lakukan di masa lalu."Karena hari sudah menjelang Maghrib, mereka berdua kemudian berpi
Hati Anti merasa sakit. Seperti tengah ditelanjangi di khalayak umum. Harga dirinya merasa terinjak-injak oleh kawanan laki-laki tanpa moral yang kini masih tertawa.Ada gemuruh dalam dada yang ingin ia tumpahkan melalui tangisan namun, dirinya sadar berada di tempat umum."Gak usah didengarkan, Mbak!" ucap penjual martabak yang merasa kasihan dengan Anti.Bohong bila Anti bisa berpura-pura tidak mendengar karena, suara bernada melecehkan itu sangat keras mereka katakan.Setelah membayar, Anti bergegas pergi. Sudut matanya sudah panas. Ia usap menggunakan satu telapak tangan yang tidak membawa plastik berisi makanan yang ia beli.Ada rasa sesal yang hadir.'Mengapa harus membeli makanan di tempat ini? Kenapa aku tidak langsung pulang saja tadi?' protes hatinya."Nangis itu, gara-gara Adi sih! Cepat sana tolongin!""Ih, ogah! Kamu aja. Gak level aku!"Suara bernada hinaan pada Anti masih saja mereka lontarkan. Membuat pen
Setelah pembicaraan malam itu, Nadia terlihat lebih pendiam. Seperti ada yang tengah ia pikirkan.Sebelum tidur, seringkali Nadia termenung di atas kasur. Memikirkan tentang permintaan dari wanita yang telah melahirkannya. Satu sisi ingin rasanya berlari dan menemui Anti. Tapi sisi yang lain, gadis remaja itu tidak ingin berdebat dengan neneknya.Di suatu malam, Nadia yang duduk diam menatap laci lemari yang tepat lurus dengan posisinya. Berkali-kali hasrat hati ingin membuka akan tetapi, pikirannya menolak. Akhirnya, dirinya memilih berbaring dengan harapan bisa terlelap.Namun, keinginannya untuk memejamkan mata, tak kunjung bisa terlaksana. Hatinya tetap berontak ingin membuka laci lemari.Dengan kasar, disingkapnya selimut yang menutup rapat tubuh. Dan segera turun dari ranjang, melangkah menuju tempat yang menarik hatinya sejak tadi.Perlahan, tangan putih Nadia menarik gagang laci dan terulur mengambil sebuah bingkai foto yang diletakkan deng