Tiga bulan sudah berlalu sejak kecelakaan yang mengakibatkan kakinya cedera itu berlalu. Namun, kondisinya masih belum sembuh total.
Sampai saat ini, Anti masih belum berangkat kerja.
Dan satu bulan setelah kecelakaan itu terjadi, dirinya juga harus kehilangan rumah. Karena dilelang pihak bank. Sisa uang yang ia terima, disimpan dalam bank.
Anti mencoba tegar, menjalani hidup sebagai balasan atas perbuatannya dahulu.
Taubat itu tidaklah mudah. Akan ada jalan yang menyulitkan untuk menguji iman seseorang, serta kesungguhannya dalam menjalani usaha untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.
Meskipun berusaha menjadi manusia yang lebih baik, tidak lantas mengembalikan semua hal yang ia miliki dulu.
Terutama sahabat-sahabatnya. Tak jarang, beberapa dari mereka menyindir lewat status. Mengatakan bahwa, taubatnya itu hanyalah pencitraan.
Akan tetapi, Anti, dengan segala rasa yang tersiksa berusaha untuk tetap menjadi manusia yang lebih baik.<
Pagi itu, Sarah tengah menyapu halaman. Hari libur adalah waktu yang ia gunakan untuk membersihkan sekeliling rumah.Tempat tinggalnya sekarang terlihat sunyi dan sepi. Seolah kehilangan nyawa. Oleh karenanya, berusaha membuat lingkungan bersih, dirasa gadis itu sedikit membuat suasana hidup.Tiga bulan telah berlalu sejak dirinya datang ke rumah Nia.Uang bulanan masih ia dapat dari gaji ibunya. Meskipun tiada kabar dan berita.Bapaknya juga rajin mengirim uang. Namun, tidak ada keinginan untuk pulang menemuinya.Pernah sesekali saat berkirim kabar lewat udara, Sarah bertanya akan kejelasan hubungan pernikahan kedua orangtuanya. Namun, Seno tidak memberikan jawaban yang pasti."Bapak tidak akan menjanjikan apapun untuk kamu, Rah. Hanya saja, Bapak berusaha untuk menunaikan kewajiban Bapak sebagai orang tua. Memberi kamu yang setiap bulan. Maafkan atas perbuatan Bapak, Rah. Jangan harapkan Bapak pula
Beberapa bulan di rumah, Eka dan Sarah mencoba peruntungan nasib dengan berjualan makanan di depan rumah.Sebuah warung kecil didirikan di halaman. Eka bangun pagi buta untuk memasak. Dan mulai berjualan saat matahari sudah menyingsing.Tidak banyak untung yang ia dapatkan, akan tetapi, cukup untuk hanya sekadar makan sehari-hari.Sarah yang sudah berkomitmen membantu ibunya, bila suatu ketika kembali dari Jakarta, benar-benar menepati janjinya.Gadis itu melupakan luka laranya ditinggal pergi sosok yang dulunya sangat ia banggakan.Pernah kehilangan semangat hidup karena tidak tahu menahu kabar sang ibunda, kini, dirinya lebih mensyukuri apa arti kebersamaan.Setiap sebelum shubuh, Sarah bangun untuk membantu memasak.Selesai memasak, barulah berkemas-kemas berangkat sekolah. Pulang sekolah, kembali membantu ibunya di warung.Suatu ketika, Sarah mengatakan, kalau dirinya harus segera melunasi uang iuran bulanan di sekolah.
Eka diam. Bukan saatnya untuk menjawab. Hal yang dirinya inginkan adalah menyendiri. Kedatangan Seno setelah sekian lama tanpa kabar berita, adalah kejutan yang menyedihkan untuknya. Perlu waktu agar hati bisa berlapang dada dan pikiran bisa berpikir jernih. Ibu Sarah sadar sepenuhnya, antara dirinya dengan Seno harus ada sebuah pembicaraan. Setidaknya tentang kejelasan hubungan mereka. Akan tetapi, wanita itu ingin tidak saat ini. Segera bangkit dan menutup rapat warungnya. Melewati lelaki yang berdiri di samping pintu tanpa peduli untuk menutup daun yang terbuat dari kayu itu lagi. Eka berlari menuju pintu balai. Rata-rata rumah penduduk setempat memang ada balainya. Setelah mengambil beberapa baju, Eka kembali keluar. Dilihatnya Seno yang hendak menyusul. Namun, Eka segera berlari menghindar. Tujuan dari pelariannya adalah rumah orangtuanya. Mau kemana lagi? Dengan menghentikan motor yang lewat, Eka bisa keluar dari komplek t
Seno terlelap dalam kondisi yang kelelahan. Lelah tubuh juga pikiran.Sarah yang baru pulang merasa heran. Melihat warung ibunya tutup.Dengan langkah tergesa, gadis itu masuk ke dalam rumah.Semenjak peristiwa yang menimpa Eka di Jakarta, dirinya sangat takut kehilangan satu-satunya sosok yang menjadi sandaran hidupnya saat ini.Kaget. Ekspresi itulah yang ia tampakkan melihat seorang yang telah meninggalkannya dalam kepedihan.Napas Sarah berubah menjadi tidak beraturan. Amarah dan sedih bercampur menjadi satu.Memilih masuk kamar dan menguncinya dari dalam, adalah cara yang dilakukan untuk menenangkan diri.Di dalam ruangan tempat dirinya melepas segala beban hati, Sarah termenung, memikirkan sikap apa yang akan ia tunjukkan pada bapaknya. Canggung sudah pasti. Itu yang ia rasakan bila nanti harus bertatap muka.Dahulu kala, momen kepulangan Seno adalah hal yang paling Sarah harapkan. Tapi, tidak dengan saat ini. Justru tera
Meskipun tidak ingin menatap pria yang masih berstatus sebagai suaminya, namun, masalah diantara mereka harus diselesaikan.Mereka terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing."Kenapa diam? Sejak kapan, kamu selingkuh dan, berapa anakmu di sana sekarang? Bukankah, Sarah perlu tahu, tentang adik satu ayah yang kamu lahirkan dengan perempuan lain?" tanya Eka sarkas."Aku minta maaf, Eka. Aku memang salah. Tidak mudah bagi seorang lelaki yang hidup jauh dari istrinya. Aku memilih menikah agar tidak melakukan perbuatan dosa," aku Seno jujur."Apakah dengan membohongi kami, itu artinya tidak dosa? Apakah dengan mengkhianati aku, itu tidak salah, Seno?" tanya Eka mulai emosi."Aku manusia biasa, Eka! Tempatnya salah. Apalagi dengan kondisi kita yang jauh. Agam saja, yang bisa bertemu dengan Nia setiap hari, dengan tega mengkhianati Nia. Apalagi aku?"Pembelaan yang dilakukan Seno membuat Eka bungkam. Bayangan Nia yang tersakiti oleh segala sikap ad
"Gorengan ... gorengan ...!" teriak seorang gadis kecil berusia tujuh tahun sembari berkeliling jalan tengah kampung dengan membawa sebuah baskom.Bajunya lusuh, rambut dikuncir kuda dan tubuhnya terlihat sangat kurus.Sejenak dirinya berhenti di bawah sebuah pohon rambutan yang rindang. Nanar tatapannya menuju pada segerombolan anak dengan usia beragam tengah bermain kejar-kejaran di halaman warga yang luas.Ada sorot keinginan yang begitu besar untuk dapat bergabung dengan mereka. Namun, apalah daya, dua tahun lebih hidup dalam keterkucilan. Dirinya bahkan lupa, rasa bahagia saat bermain bersama teman sebayanya.Gerimis turun, membuatnya tersadar harus segera pulang meskipun barang yang ia jual belum laku banyak.Gegas, langkah kecilnya berlari menapaki jalan beraspal yang mulai licin.Sesampainya di halaman, dilihatnya sosok perempuan yang melahirkannya tengah duduk sembari memakan nasi dalam porsi yang banyak. Wajah cantiknya masih terli
Selesai mengaji, Aira membawa kembali baskom yang sudah kosong. Ada seulas senyum terpatri di bibir tipisnya. Segera, gadis kecil itu berlari menuju rumah. Namun, langkahnya terhenti demi melihat Rani yang berteriak-teriak sambil tertawa. Membuat kawanan anak-anak yang pulang mengaji menjadikannya bahan olok-olok.Muka Aira berubah merah menahan malu dan amarah. Ditariknya lengan sang Ibu dan mengajaknya pulang."Bu! Bisakah Ibu tidak membuat aku malu? Bisakah Ibu berdiam diri di rumah? Dan Bapak, tolong, Pak, jangan biarkan Ibu pergi dan menjadi bahan ejekan teman-teman," teriak Aira melepaskan beban di hatinya.Iyan yang terbaring lemas beranjak duduk bersandar pada tembok."Rani! Kamu dari mana?" tanya Iyan kesal."Hehe, hehe, hehe ...." Rani menjawab sambil tertawa-tawa kecil.Aira bangun, berlari menuju kamar dan menangis sejadi-jadinya. Terkadang terselip sebuah harap, ibunya meninggal saja. Agar tidak membuatnya malu dan menerima ejek
Kehidupan rumah tangga Erina dengan Tohir berjalan sangat bahagia. Meskipun sering ditinggal berlayar namun, Erina tipe wanita yang setia dan tidak neko-neko. Sehingga, hubungan mereka harmonis.Ada yang mengganjal dalam hati Erina, akan hubungan Nadia dengan ibu kandungnya. Setahun lebih sudah berlalu sejak dirinya menjadi ibu sambung namun, Nadia belum juga mau bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya.Ibu Tohir yang juga mertuanya, selalu memberikan doktrin buruk akan sosok Anti. Menjadikan Nadia semakin hilang rasa."Kalau kamu dekat dengan Anti, maka, kamu akan dicap buruk, Nad. Mbah sudah berusaha untuk membuat kamu menjadi gadis yang disegani banyak orang. Jadi, jangan hancurkan usaha Mbah, ya? Tolong, Nad, Mbah sayang sama kamu. Mbah tidak ingin kamu terlihat buruk. Yang terbaik adalah menjauh," begitu selalu yang diucapkan Ibu Tohir.Erina yang memiliki pemikiran berbeda tentu tidak setuju dengan hal ini. Akan tetapi, melawan bukanlah hal t
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”