Setelah sholat, ternyata Agam duduk di tepi kasur. Samping tempat menggelar sajadah.
"Mas, maafkan aku," telunjuk Agam langsung menutup mulut istrinya. Dirinya ikut duduk di lantai yang dingin.
"'Aku bukan orang yang sempurna. Di sekitar lingkungan tempat tinggal kamu, pasti kisah hidupku sudah banyak yang mengetahui. Beruntung, status PNS aku membuat orang masih segan. Aku kecewa kamu berbohong masalah ini. Tapi, aku juga bukan orang baik. Terlebih dengan seorang anak yang lahir dari hubungan haram yang dicampakkan ibunya. Mungkin dengan ini, Allah mempertemukan jodohku. Dengan nasib malang yang kamu alami, Laila. Dengan Bilal yang yang dicampakkan ibunya. Segala sesuatu sudah diatur Allah dengan begitu indah. Dengan rancangan yang sangat sempurna. Tidak mengapa, aku menerima kekurangan kamu. Lagipula, anakku sudah tiga. Dan dengan seperti ini, kamu akan lebih menyayangi Bilal sepenuh hati." Agam berkata sambil menggenggam tangan Laila. "Terimakasih z sudah meny
"Mas!" Anti berteriak dan mengejar Agam. Hingga dirinya bisa mencekal salah satu lengan pria yang dulu pernah menjadi suaminya. Posisi keduanya sudah dekat dengan pintu masuk kantor."Lepaskan, Anti!" Agam berusaha menghindar. Akan tetapi, bak kesurupan setan, Anti malah semakin mencengkram lengan Agam, hingga kuku-kukunya menancap pada kulit suami Laila."Mas! Dengarkan aku! Aku adalah ibu kandung Bilal. Kalau kamu menikah dengan orang lain maka, aku akan mengambil dia lagi. Aku tidak rela kalau anakku diasuh orang yang tidak jelas," ceracau Anti dengan mata memerah."Mau ambil dia lagi? Memangnya kamu pernah merawat dia, hah? Bahkan, meliriknya saat masih satu kamar di rumah sakit saja tidak pernah! Jangan gunakan Bilal sebagai alat atas nasib buruk yang kamu terima. Jangan kamu gunakan dia sebagai pelarian terakhir kamu. Sekarang atau selamanya, kamu bukan ibunya! Jangan memancing emosi aku, Anti. Aku berusaha untuk tidak menggunakan kekerasan sama kamu. Kamu
"Aku istrinya. Aku ibu kandung Bilal. Dimana penghuni rumah ini?" tanya Anti tanpa sikap sopan."Mbak istrinya Mas Agam? Istri sah?""Ya, istri sah dimata agama. Aku mau mengambil anakku. Dimana mereka? Anda tahu?""Kalau Mas Agam masih punya istri, kenapa anaknya tidak ada yang merawat selama ini, Mbak? Kenapa Mas Agam sendirian mengasuh bayi yang baru lahir? Dan, Mas Agam dan Laila juga bisa menikah secara resmi di KUA." Mendengar sanggahan dari pria di depannya, Anti tentu saja gelagapan. Tidak menyangka akan mendapat serangan alibi."Itu, itu bukan urusan kamu! Tidak usah banyak bicara. Dimana istri Agam yang sudah merebut suami dan anakku?" tanya Anti ketus."Jelas urusan saya, Mbak. Mbak datang. Bikin keributan di lingkungan saya. Saya tidak kenal, ya saya tanya. Dan satu hal! Jangan sebut Laila sebagai perebut anak dan suami anda! Karena yang sebenarnya adalah, dia mengambil apa yang sudah anda buang. Dan merawatnya dengan tulus!""Ha
Lama, Anti tidak bangun. Membuat kedua petugas bank kebingungan. Akhirnya memilih mencari pertolongan. Dan beberapa saat kemudian, Anti sudah siuman.Malam harinya, wanita itu sulit sekali memejamkan mata. Bayangan buruk akan sebuah perkosaan yang hampir saja menimpa, membuatnya sesekali menutup telinga dan menggelengkan kepala dengan kasar.'Serendah itukah aku?' batinnya berujar.***Siang itu, Anti bersama rombongan kantor pergi ke sebuah rumah makan untuk merayakan ulang tahun salah satu temannya. Bukan sebuah perayaan layaknya anak muda. Hanya acara traktiran biasa.Selepas makan, satu per satu rekan kerjanya pulang. Tinggal Anti sendiri duduk di kursi menatap tanaman yang hijau di halaman. Rumah makan yang dipilih berkonsep di ruangan terbuka. Sehingga, angin segar bisa pengunjung rasakan secara langsung.Entah mengapa, dirinya masih ingin tetap duduk di sana. Menikmati kesendirian yang memilukan.Kini hidupnya sepi. Tanpa teman
Di malam yang sunyi, Anti merasa benar-benar sendiri. Dibukanya album foto saat menikah dengan Tohir dulu. Juga foto-foto Nadia saat kecil. Hatinya sakit.Setelah agak tenang, Anti duduk bersila, bersandar pada tembok.Penyesalan demi penyesalan datang."Seandainya waktu itu aku tidak meninggalkan Mas Tohir, pasti Mas Tohir tidak akan sama Erina. Tapi waktu itu, aku sangat mencintai Agam. Ah, andai saja aku menerima Agam dan juga bayiku. Setidaknya, saat ini aku tidak akan merasa kesepian." Anti berbicara sendiri. Tangisnya pecah. Tergugu seorang diri.Dalam kesedihannya, tiba-tiba teringat sebuah nama."Nia ...." Satu nama di masa lalunya ia sebut. Entah mengapa, dengan semua yang menimpa hidupnya saat ini, yang ada di kepalanya adalah sosok mantan istri Agam. Wanita yang pernah ia buat menangis.Siangnya, Anti nekat ke rumah Nia. Seorang diri mengendarainya motor menuju alamat yang berjarak satu jam dengan melewati hutan tentunya.B
Anti pulang ke rumahnya dengan membawa sejuta kecewa dalam dada.Saat ingin menenangkan diri, yang datang justru ibunya. Meminta tolong untuk melanjutkan cicilan bank yang telah diambilnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Anti menangisi nasibnya yang sudah porak poranda. Pernah dulu, menangis karena ingat Nadia namun, tidak sesakit ini."Kamu kenapa, An?" tanya wanita yang telah melahirkannya itu.Anti hanya diam. Tidak ada jiwa pemberani seperti dahulu ia tampakkan."Kamu kenapa?" ibunya mendekat. Memegang lembut pundaknya. Anti hanya diam. Membuat perempuan yang ada di sampingnya kebingungan."Maafkan Ibu, Anti! Ibu sudah membuat kamu menderita," ujarnya lirih sembari mengelus kepala anak perempuannya.Anti bergeming, dalam posisi duduk memeluk lutut. Tidak ia jawab sepatah katapun pernyataan dari sang Ibu.***Hari-hari berlalu dengan kesedihan. Menjalani hidup seorang diri. Hingga, satu bulan sudah berlalu sejak ia menem
Sebelum membukanya, Laila mengintip dari balik jendela. Seorang wanita berdiri di sana. Dirinya merasa takut. Sejauh ini, belum pernah melihat bagaimana wajah Anti secara langsung. Pun dengan fotonya, Agam sama sekali tidak mau menyimpan. Sehingga, tak ada gambar yang ia tunjukkan. Selain itu, lelaki itu memang ingin mengubur kenangan buruk di masa lalu.Di tengah kebimbangan, Laila memilih mengambil gawai dan menghubungi suaminya. Dan mengatakan bahwa, di luar ada seorang tamu wanita yang tidak ia kenal.Agam segera menutup telepon dan bergegas pulang.Gedoran dari luar semakin kencang. Membuat Bilal terbangun dan menangis. Laila jadi semakin takut. Karena dengan tangisan Bilal maka, wanita yang berdiri di luar akan tahu bahwa di dalam ada orang."Buka pintunya! Aku tahu, ada orang di dalam!" teriak dia yang saat ini berdiri di ambang pintu.Anti, hari ini nekat kembali mendatangi tempat tinggal mantan suaminya. Rasa ingin bertemu dengan anak yang
"La, kamu kenapa, La?" tanya Agam lirih. Laila hanya menggelengkan kepala. Sambil terus memegang telinga.Dalam keadaan bingung, Agam mengambil ponselnya dan menghubungi Yanto. Memintanya untuk datang bersama Pak RT Utuk mengamankan Anti karena wanita itu terus berteriak dari luar meminta dibukakan pintu.Laila semakin takut. Air mata semakin deras mengalir sementara Bilal masih menangis kencang.Beberapa menit berlalu, Agam memilih menenangkan bayinya sembari menunggu bantuan datang.Terdengar suara gaduh dari luar. Agam keluar kamar dan mengintip dari balik jendela."Lepaskan aku! Aku ingin menemui anakku. Aku ingin mengambilnya dan membawa pulang," ceracau Anti yang ditarik paksa oleh Pak RT juga Yanto. Sementara di belakang, menyusul Tuti yang langsung menuju pintu samping minta dibukakan.Setelah dibuka, perempuan itu langsung masuk mengambil Bilal dari gendongan ayahnya.Agam bergegas ke dalam kamar dan berusaha menenangkan istr
Hidup Iyan bagaikan patung yang bernyawa. Tidak ada gairah kebahagiaan yang mewarnai hari-harinya seperti dahulu kala. Bagaimana tidak? Di saat kawan seusianya menjalani hidup yang bahagia dengan istri dan anaknya. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga kecil mereka, dirinya hanya bisa menatap Rani yang belum sepenuhnya waras. Konon katanya, seseorang yang pernah mengidap gangguan penyakit jiwa, dia tidak akan sembuh sepenuhnya. Tidak akan berubah menjadi normal. Beberapa bulan lalu, pernah suatu ketika Rani berulah, berteriak-teriak kencang di depan rumah, hingga Iyan sampai kalap menghajarnya. Dan entah kebetulan atau karena ada faktor lain, Rani sedikit berubah, sedikit bisa berpikir layaknya dahulu kala. Mencuci, dan bekerja layaknya seorang ibu rumahtangga. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung seterusnya. Terkadang, Rani masih suka berbicara dan mengamuk sendiri. 'Lalu, apa artinya hidupku saat ini?' batin Iyan berteriak.