“Mister D, aku rasa hal ini tidak perlu,” Aliya menatap lurus pada pria bermata hazel di depan sebelah kirinya.
“Jangan khawatir, aku tidak akan melukai temanmu,” ujar pria itu lembut lalu menatap Aliya dengan sorot mata yang kompleks.
Aliya menelan saliva dengan canggung.
Ia canggung bukan karena bermain mata dengan pria ini. Ia bukan sejenis wanita genit.
Tapi aura yang memancar dari pria di hadapannya itu, memang terasa…. mempesona dan seakan memiliki daya magnetis yang begitu kuat. Sehingga mau tak mau, Aliya merasa sedikit tertekan berhadapan dengan pria ini.
Nyaman dan sedikit tertekan.
Seperti sebuah rasa ‘ketidakberdayaan’.
Aliya lalu menyerah membujuk pria pemilik akun bernama Saif itu.
“Elang…” Kali ini ia beralih pada Elang dengan pandangan memohon agar menghentikan duel itu. Namun seperti hal nya pria bermanik mata hazel, Elang hanya memberikan senyuman m
Aliya terlempar sejauh beberapa meter ke belakang. Elang dan pria bermata hazel berlari mengejar Aliya.Elang berhasil menangkap tubuh Aliya lebih dulu karena terpental ke arah dirinya. Ia menahan punggung Aliya di dadanya namun masih terseret beberapa langkah ke belakang.Kening Elang mengernyit, rasa takut luar biasa kini menghantam dadanya hingga terasa sakit. Ia baru merasakan sisa pukulan dari lawannya yang mengenai Aliya, masih sanggup membuat dirinya terseret ke belakang.Elang menyadari, pukulan lawannya luar biasa cepat, lebih cepat dari pukulan yang dikeluarkan dirinya. Karena itu pria bermata hazel itu tidak bisa menarik seluruh pukulan energinya dan masih menyisakan sedikit energi yang terlanjur mengenai Aliya. Apa jadinya jika tadi dirinya dan pria bermata hazel itu benar-benar terlambat menarik pukulan mereka dan sama-sama mengenai Aliya??Elang berkeringat dingin dengan rasa takut yang luar biasa membayangkan hal itu terjadi p
“Gan, teh Aliya!” Ridwan berseru tertahan. Ridwan lalu bergegas menyambar tisu di atas sebuah meja kecil lalu menyerahkan kepada Elang yang dengan tangannya menadah gumpalan darah itu.Elang dengan hati-hati menyeka jejak cipratan darah di sekitar wajah dan leher Aliya. Rahangnya mengerat dengan kening melesak dalam. Rasa sakit itu mencubit dadanya lagi.Meskipun ia tahu, nyawa Aliya tak terancam, namun baginya suguhan pemandangan seperti ini sungguh menyesakkan hati. Melihat Aliya dalam keadaan masih tak sadar dan menyemburkan darah seperti ini, adalah hal yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya untuk terjadi.“Aliya akan segera membaik setelah mengeluarkan darah tadi,” sebuah suara bariton yang dalam terdengar dari arah pintu kamar.Ridwan menoleh dan langsung menunjukkan wajah cemberut, sementara Elang hanya menoleh sekilas dan tidak memberikan komentar apa-apa.Pria bermata hazel itu mendekat ke arah Elang berdiri lal
Elang mengepalkan kedua tangannya. Sekelebat memori duel sebelumnya dengan pria ini melintas cepat.Tarikan napas yang dalam dilakukan Elang. Ia memang mengakui, pria di hadapannya tak akan mudah untuk ia jatuhkan, terutama gerakan cepatnya saat melemparkan energi. Namun dirinya juga seseorang yang bisa mempelajari hal-hal baru dengan cepat.Dirinya sangat bisa.Elang mengerahkan aliran hangat ke kedua tangannya.“Kau tidak perlu hanya menangkis. Kau boleh memukul balik. Jika kau bisa,” tandas Elang.“Bersiaplah,” desisnya kemudian.Pria di seberangnya tak merespon. Namun Elang tahu, pria itu pun telah bersiap.Tak sampai detik kedua, Elang melepas energinya ke arah pria itu.Whooosh!Pria itu menangkis energi dari Elang dengan cepat. Namun tanpa ia duga, Elang melempar lagi dengan kecepatan tinggi dua pukulan lain.Whooosh!Whooosh!!Pukulan susulan pertama berhasil ditangkis
“Kelihatannya kau sudah sadar?” Suara dalam milik Saif membuat Aliya menoleh. Ridwan yang tengah memegang gelas minuman dan duduk di samping Aliya pun ikut menoleh ke arah pintu kamar. “Kirain sudah pulang,” celutuk Ridwan tanpa menahan nada kesal pada suaranya. Saif hanya memberikan senyuman ringan pada Ridwan lalu melangkah mendekati tempat Aliya terbaring. “Iya little brother, setelah ini saya akan pulang,” pria itu berkata setelah ia berhenti tepat di samping Ridwan. “Siapa yang brother-mu?” dengkus Ridwan. Ia lalu berpaling pada Aliya. “Teh, lagi minumnya?” Aliya menjawab dengan gelengan lemah. “Sudah dulu. Makasih Ridwan.” Ridwan mengangguk lalu meletakkan gelas ke atas nakas. “Let me check for a sec,” (Biarkan aku memeriksa sebentar) Saif berkata lembut pada Aliya. Aliya mengangguk dan menatap pria bermata hazel itu mengangkat tangannya dan bergerak seolah memindai tubuh Aliya. Selang beberapa detik kemudian, pria itu menurunkan tangannya. “Thanks God, tidak ada luka d
Sorot mata hazel pria itu begitu penuh arti.“Kau memang spesial, Aliya. Kau bisa mengetahui apa yang tak satupun elemen lain bisa ketahui dariku.”Kedua mata Aliya mengerjap pelan.“Dan itulah keunggulan elemen bumi seperti kita. Bisa menutupi dengan baik sesuatu dari terbaca orang luar,” katanya.“Bukankah kau pun berhasil melakukannya dengan mudah? Kau berhasil menutup pikiranmu dari terbaca oleh Einhard,” Dean, pria pemilik mata hazel itu melanjutkan.Aliya terkesiap. “Kau… kau juga tahu tentang itu?”“Bagaimana Pak Einhard, apa saya keliru?”Baik Aliya dan Ridwan langsung menoleh ke arah pintu kamar, dua meter di belakang Dean. Mereka tidak melihat siapapun di sana.Namun tak lama, Elang tampak melangkah pelan masuk ke kamar tersebut. Tak ada respon apapun dari Elang yang melangkah dalam diam lalu berdiri tak jauh di belakang Dean.“Teruskan us
Buuff. Seketika kedua pipi Aliya merona merah, bak tomat rebus. Bergegas ia matikan ikon speaker untuk mengubah mode kencangnya menjadi mode normal. Dalam hati ia kini merutuki Hana yang begitu nyablak. Betapa ingin dirinya menyumpal mulut Hana dengan handuk ukuran jumbo, agar terhenti dari melontarkan kata-kata memalukan seperti tadi. Dengan kepala tertunduk Aliya mencuri pandang sekilas pada Elang di sampingnya. Dadanya berdesir cepat. Ia segera menjauhkan pandangannya ketika mendapati Elang yang tengah menatap dirinya dengan seksama. Sementara Ridwan yang berada di dekat Elang, mengerjap-kerjap kan kedua matanya berlagak polos. “A-aku baik aja Han. Aku tutup dulu ya. Nanti kita sambung lagi…” ujar Aliya lagi dengan canggung. Ia sungguh ingin segera mengakhiri sambungan teleponnya dengan Hana kali ini. ‘Ok Sis. Inget pesen gue ya… Sayangi masa muda mu. Have fun, sebelum kamu gak laku lagi nanti atau keburu karatan,’ tanpa perasaan, Hana memberikan kalimat penutupnya dengan kek
Tangan kanan Elang terulur meraih ponsel dari tangan Aliya. Matanya menatap unggahan di dinding Aliya itu. “Elang…” panggil Aliya pelan. “Apakah dia juga elemen?” Elang mengangguk sepintas lalu mengembalikan ponsel itu pada Aliya. “Sepertinya dia seorang elemen api.” “Api?” Kedua mata Aliya terbelalak. “Apa dia seorang pria?” “Ya. Aku merasakan energi milik seorang pria.” Aliya sejenak terdiam setelah mendengar kalimat Elang. Ia terngiang perkataannya tempo hari saat di ruang guru. Saat kesal mengetahui Elang dan Dean sedang berdebat dan berbalas komen di F*, ia mengatakan tentang mengapa Api tidak sekalian saja datang. Dan sekarang, cowok api itu benar-benar muncul. Benar kata Diani, seharusnya ia tak sembarangan bicara. Matanya lalu beralih pada layar ponsel baru miliknya dan mencari tahu profil sang pemilik akun. Nama akun itu ‘De Flame’. Sementara foto yang dipakai sebagai foto profil, bergambar kilatan api. Pantas saja Diani langsung mengidentifikasi akun tersebut sebaga
“Gue denger dari Ridwan, Miss Aliya terluka oleh pukulan Saif?” Diani bertanya dengan raut wajah sedikit menelisik kondisi Aliya. “Iya Miss. Tapi alhamdulillah sudah tidak apa-apa. Dan ternyata nama asli Saif itu adalah Dean. Dean Dubois,” ujar Aliya. “Next time, hati-hati Miss. Sepertinya Miss Aliya memang punya bakat khusus, hanya saja Miss Aliya masih belum tersadar.” “Entahlah, Miss. Masih membingungkan buatku,” Aliya menunduk. Ia merapikan peralatan tulisnya ke atas meja. Hari ini ia telah masuk kembali untuk mengajar. Meskipun sempat diminta oleh Elang untuk mengambil libur sehari lagi, setelah dua hari kemarin absen. Aliya bersikukuh untuk masuk, karena rasa tanggung jawabnya terhadap murid-murid kelasnya. Elang akhirnya membiarkan Aliya kembali masuk, dengan meminta Aliya mengizinkan dirinya untuk mengantar jemput Aliya. “Dubois? Kaya nama luar ya,” cetus Diani. Tangannya sibuk mengambil lembaran dari dalam folder map plastik, untuk di fotokopi. Aliya menghembus napas da