Glad to be here. Terima kasih kakak kakak baik hati yang selalu mengikuti perjalanan Aliya. Salam sehat dan enjoy the writing yaa... Luv you all! ^,^
De Flame: [Amazing. Begitu banyak orang di sekeliling My Moonlight. Kalau begitu, di antara kalian bertiga, siapa yang bisa kasih tau dimana gue bisa bertemu My Moonlight?] W Lesmana : [Yang jelas bukan gue. Dan sepertinya kedua yang lainnya juga gak bakalan ngasih tau.] De Flame: [Lu el apa?] W Lesmana: [El apa gimana maksudnya?] De Flame: [Lu bukan seorang elemen? That’s weird] W Lesmana: [Be brief aja. Kamu ngapain nyari temen gue?] De Flame: [We were meant to be. Energi milik temen lu adalah energi wanita idaman gue, yang udah lama gue cariin. Jadi, kasih tau. Dimana dia?] (Kami ditakdirkan bersama) Lagi-lagi kedua mata Aliya membesar. Ia membaca ulang kalimat terakhir milik De Flame. ‘Udah lama nyariin’. ‘Apakah orang ini mengalami juga yang dialami oleh Elang?’ Benak Aliya dipenuhi pertanyaan. De Flame: [Btw, gua kagak percaya pertemanan antara cowok cewek. Lu pasti salah satu yang ngincer My Moonlight. Gw bener kan?] Tawa Aliya kontan pecah. Ia terkikik geli saat memba
Aliya menghela napas pasrah lalu berdoa dalam hati, semoga apa yang ia setujui untuk dilakukan, bisa memberi jalan keluar terbaik untuk semua pihak.Selintas ia teringat Dean. Dalam benaknya muncul sebuah pertanyaan, apakah Dean akan mengikuti ‘sayembara’ konyol ini?Namun entah bagaimana, Aliya meyakini bahwa Dean --pria pemilik manik mata hazel memukau itu-- memiliki kepentingan yang sama dengan Elang.Ia merasa ada semacam keterikatan yang misterius antara dirinya, Elang dan Dean. Atau bahkan, mungkin juga dengan pria api ini.Dengan sedikit berdebar, Aliya membuka akun FB miliknya.W Lesmana: [Ok guys. Buat yang bener serius aja nih ya. Pemilik Akun sudah bersedia untuk meluangkan waktu mengenal kalian masing-masing. Kalau kalian semua mau join, kudu tunduk pada syarat dan ketentuan yang gue tentuin. Gimana? Ok?]De Flame: [Ok dong. Lanjut]Einhard: [Ok]Saif: [Ya]W Lesmana: [Sebelum gw lanjut, kal
“Ck… Sungguh beresiko…” decak Ridwan saat mengintip layar ponsel milik Elang.Elang hanya menjawab dengan helaan napas beratnya.“Kau yakin Gan? Biarin teh Aliya berduaan sama mereka? Gimana kalau mereka macam-macam sama teh Aliya?”“Kita akan tempatin beberapa orang di sekitar Aliya. Meskipun mungkin tidak berarti apa-apa bagi para elemen itu. Tapi jika sampai mereka melanggar aturan yang disepakati, aku punya alasan sangat kuat untuk bertindak.” Meski dikatakan dengan tenang, wajah Elang sangat terlihat muram.“Ya.. gimana lagi. Teh Aliya sendiri setuju cara ini. Kalau memang bisa menghindari benturan fisik, ya semoga bisa clear lah ya. Saya emang cuman khawatir mereka berbuat kurang ajar aja sama teh Aliya.”“Untuk pria bernama Dean itu, aku lihat dia cukup sopan dan mungkin tidak akan melakukan hal-hal tak pantas, meskipun dia bisa. Tapi yang satunya lagi, aku gak terlalu yakin
‘Ga tau ya. Hanya saja feel gue, dia bener-bener spesial. Dan sepertinya kamu akan terlibat lebih dalam dengannya, Sis…’Tak ayal kalimat yang dilontarkan Hana via telepon semalam, terngiang berkali-kali dalam benak Aliya. Tentunya, dengan melakukan closure, karena Aliya tak ingin pikiran tentang hal ini terdengar oleh Elang.“Mengapa Hana berkata seperti itu?” gumam Aliya lirih. Tangannya yang memasukkan dompet ke tas selempang miliknya, sempat terhenti.Hari ini adalah hari ia memutuskan memulai sayembara itu. Pria Api itu menjadi orang pertama yang akan melakukan pertemuan dengannya. Semalam Aliya memberikan keputusan ini di akun FB nya. Dan meminta pemilik akun De Flame menemuinya di tempat ia pertama bertemu Elang dan Dean.“Ia pengen adil, ya kuberi keadilan,” cetus Aliya semalam. “Biar sama-sama ketemu pertama di tempat yang serupa.”Aliya mengecek kembali bawaannya, termasuk dua buah al
“Astaga. My God. Gua jatuh cinta. I have fallen for you, really fall in love with you,” ucapnya berulang dengan mata tak kunjung berkedip menatap Aliya. “It is really you!” (Ini benar-benar dirimu!)Netra milik pemuda itu memancarkan binar cemerlang, seakan mampu mencerahkan suasana hati siapapun yang memandangnya.Pemuda ini sungguh sangat tampan dan memang menggemaskan.Tapi sungguh.Aliya tidak mengalami debaran itu. Debaran yang ia rasakan saat pertama melihat Elang dan juga Dean.Ia tidak merasakan getaran dingin yang menyejukkan seperti pada Elang atau getaran hangat yang menenteramkan seperti pada Dean.Ia tidak pula terkesima seperti yang ia alami saat bertemu kedua pria itu. Aliya mungkin sedikit terkesan dengan ketampanan pemuda itu, tapi Aliya merasa mendapatkan rasa atau ‘feel’ yang berbeda.Lebih serupa dengan rasa ‘ingin melindungi’.Mungkin karena pemuda ini terliha
“Yup,” Agni mengerling.“Ceritakan. Gimana bisa aku menjadi bulan atau apaan itu lah buatmu saat usiamu empat belas tahun?”“Emm… bentar. Biar enak, kita ngobrol sambil di mobil ya. Moony ke sini pake apa? Ditinggal aja dulu, bareng gue cari tempat lain yang enak buat nerusin obrolan,” gagas Agni semangat.Aliya mengangguk cepat. Ia lalu mengikuti Agni ke satu mobil Jeep berwarna merah menyala.“Ini mobilmu?” Mata Aliya mengagumi mobil dengan bodi gagah di hadapannya.“Yup,” jawab Agni lalu membukakan pintu untuk Aliya. “Keren,” puji Aliya.Sudut bibir Agni terangkat. Ia menutup pintu begitu Aliya masuk dan dengan langkah riang mengitari Jeep Wrangler itu untuk mengambil posisi di belakang kemudi.Tak butuh lama, mobil Agni itu melaju meninggalkan Cibinong City Point menuju kota Bogor.“Ini bakal melebihi dua jam, Agni, kalau kita ke Bogor. Cari warung makan dekat-dekat sini aja,” Aliya mengingatkan.Mereka baru melewati area Nanggewer Mekar. Masih dibutuhkan sekitar dua puluh hingg
“Ah capeknya….” Aliya menguap lalu meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Kepalanya menunduk sedikit untuk melihat beberapa paper bagdengan tulisan brand-brand ternama yang berjajar di atas lantai. Ia menghela napas panjang. Lalu teringat saat di Botani Square Agni memaksa dirinya memasuki satu demi satu outlet yang ada di sana. Meski Aliya sudah berjuang untuk menolak, pada akhirnya ia mengalah. Rengekan Agni --yang menurut Aliya terlihat lucu dan menggemaskan-- berhasil membuat Aliya tak tega dan pasrah, hingga akhirnya memilih masing-masing satu barang dari tiga outlet berbeda. Jaket, tas dan sepatu akhirnya menjadi pilihan yang Aliya terima untuk dibelikan oleh Agni. Hari pertama, akhirnya memakan waktu tiga jam setengah bersama Agni. Aliya melepas lelah dengan duduk berselonjor di ruang tengah tanpa menggelar karpet terlebih dahulu. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengecek notifikasi yang masuk. Ada sedikit rasa
‘Einhard.’ Suara dari seberang sana terdengar tegas dan dalam. Meski hanya dari suara saja, siapapun bisa merasakan lalu menilai, pemilik suara tersebut bukanlah orang sembarangan dan bukan orang yang bisa disinggung sedikitpun. “Ada apa Dad menelepon saya?” ‘Kau masih menganggapku ayahmu?’ “Du bist mein vater,” (anda adalah ayah saya) jawab Elang datar. “Dalam darah ini mengalir darahmu. Suka ataupun tidak, Anda memang ayah biologis saya.” Terdengar tawa datar dari ujung telepon. “Katakan ada perlu apa, Dad? Jika Anda meminta saya kembali, itu tidak akan saya lakukan. Dan saya tidak peduli Anda akan memberikan ancaman apapun. Saya akan siap menyambut Anda.” Tawa itu terhenti sekian detik. ‘Kau pikir dengan memiliki kekuatan elemen kau akan bisa menghadapi ayahmu?’ Terhenti sejenak. ‘Ayah tidak ingat mengajarmu menjadi begitu naif, Einhard.’ “Katakan saja apa keperluanmu, Dad,” Elang mengulang tanpa perubahan intonasi suara.
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj