‘Ga tau ya. Hanya saja feel gue, dia bener-bener spesial. Dan sepertinya kamu akan terlibat lebih dalam dengannya, Sis…’
Tak ayal kalimat yang dilontarkan Hana via telepon semalam, terngiang berkali-kali dalam benak Aliya. Tentunya, dengan melakukan closure, karena Aliya tak ingin pikiran tentang hal ini terdengar oleh Elang.
“Mengapa Hana berkata seperti itu?” gumam Aliya lirih. Tangannya yang memasukkan dompet ke tas selempang miliknya, sempat terhenti.
Hari ini adalah hari ia memutuskan memulai sayembara itu. Pria Api itu menjadi orang pertama yang akan melakukan pertemuan dengannya. Semalam Aliya memberikan keputusan ini di akun FB nya. Dan meminta pemilik akun De Flame menemuinya di tempat ia pertama bertemu Elang dan Dean.
“Ia pengen adil, ya kuberi keadilan,” cetus Aliya semalam. “Biar sama-sama ketemu pertama di tempat yang serupa.”
Aliya mengecek kembali bawaannya, termasuk dua buah al
“Astaga. My God. Gua jatuh cinta. I have fallen for you, really fall in love with you,” ucapnya berulang dengan mata tak kunjung berkedip menatap Aliya. “It is really you!” (Ini benar-benar dirimu!)Netra milik pemuda itu memancarkan binar cemerlang, seakan mampu mencerahkan suasana hati siapapun yang memandangnya.Pemuda ini sungguh sangat tampan dan memang menggemaskan.Tapi sungguh.Aliya tidak mengalami debaran itu. Debaran yang ia rasakan saat pertama melihat Elang dan juga Dean.Ia tidak merasakan getaran dingin yang menyejukkan seperti pada Elang atau getaran hangat yang menenteramkan seperti pada Dean.Ia tidak pula terkesima seperti yang ia alami saat bertemu kedua pria itu. Aliya mungkin sedikit terkesan dengan ketampanan pemuda itu, tapi Aliya merasa mendapatkan rasa atau ‘feel’ yang berbeda.Lebih serupa dengan rasa ‘ingin melindungi’.Mungkin karena pemuda ini terliha
“Yup,” Agni mengerling.“Ceritakan. Gimana bisa aku menjadi bulan atau apaan itu lah buatmu saat usiamu empat belas tahun?”“Emm… bentar. Biar enak, kita ngobrol sambil di mobil ya. Moony ke sini pake apa? Ditinggal aja dulu, bareng gue cari tempat lain yang enak buat nerusin obrolan,” gagas Agni semangat.Aliya mengangguk cepat. Ia lalu mengikuti Agni ke satu mobil Jeep berwarna merah menyala.“Ini mobilmu?” Mata Aliya mengagumi mobil dengan bodi gagah di hadapannya.“Yup,” jawab Agni lalu membukakan pintu untuk Aliya. “Keren,” puji Aliya.Sudut bibir Agni terangkat. Ia menutup pintu begitu Aliya masuk dan dengan langkah riang mengitari Jeep Wrangler itu untuk mengambil posisi di belakang kemudi.Tak butuh lama, mobil Agni itu melaju meninggalkan Cibinong City Point menuju kota Bogor.“Ini bakal melebihi dua jam, Agni, kalau kita ke Bogor. Cari warung makan dekat-dekat sini aja,” Aliya mengingatkan.Mereka baru melewati area Nanggewer Mekar. Masih dibutuhkan sekitar dua puluh hingg
“Ah capeknya….” Aliya menguap lalu meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Kepalanya menunduk sedikit untuk melihat beberapa paper bagdengan tulisan brand-brand ternama yang berjajar di atas lantai. Ia menghela napas panjang. Lalu teringat saat di Botani Square Agni memaksa dirinya memasuki satu demi satu outlet yang ada di sana. Meski Aliya sudah berjuang untuk menolak, pada akhirnya ia mengalah. Rengekan Agni --yang menurut Aliya terlihat lucu dan menggemaskan-- berhasil membuat Aliya tak tega dan pasrah, hingga akhirnya memilih masing-masing satu barang dari tiga outlet berbeda. Jaket, tas dan sepatu akhirnya menjadi pilihan yang Aliya terima untuk dibelikan oleh Agni. Hari pertama, akhirnya memakan waktu tiga jam setengah bersama Agni. Aliya melepas lelah dengan duduk berselonjor di ruang tengah tanpa menggelar karpet terlebih dahulu. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengecek notifikasi yang masuk. Ada sedikit rasa
‘Einhard.’ Suara dari seberang sana terdengar tegas dan dalam. Meski hanya dari suara saja, siapapun bisa merasakan lalu menilai, pemilik suara tersebut bukanlah orang sembarangan dan bukan orang yang bisa disinggung sedikitpun. “Ada apa Dad menelepon saya?” ‘Kau masih menganggapku ayahmu?’ “Du bist mein vater,” (anda adalah ayah saya) jawab Elang datar. “Dalam darah ini mengalir darahmu. Suka ataupun tidak, Anda memang ayah biologis saya.” Terdengar tawa datar dari ujung telepon. “Katakan ada perlu apa, Dad? Jika Anda meminta saya kembali, itu tidak akan saya lakukan. Dan saya tidak peduli Anda akan memberikan ancaman apapun. Saya akan siap menyambut Anda.” Tawa itu terhenti sekian detik. ‘Kau pikir dengan memiliki kekuatan elemen kau akan bisa menghadapi ayahmu?’ Terhenti sejenak. ‘Ayah tidak ingat mengajarmu menjadi begitu naif, Einhard.’ “Katakan saja apa keperluanmu, Dad,” Elang mengulang tanpa perubahan intonasi suara.
Hari berikutnya telah berlalu, membawa Aliya pada pertemuan selanjutnya dengan Agni. Lima jam yang ditetapkan untuk pertemuan hari ini. Aliya pada akhirnya memberikan syarat tambahan pada Agni agar tidak memaksakan Aliya untuk menerima barang-barang pemberiannya lagi.Aliya dan Agni berada di sebuah cafe yang terkenal di kalangan anak muda di Bogor. Cafe itu spesialisasi pada cheese cake dan croissant yang cantik dan lezat.Awalnya Agni memesankan strawberry cheese cake untuk Aliya, tanpa tahu bahwa Aliya tidak menyukai susu dan turunannya, termasuk keju.“Kenapa Moony?” Kedua mata Agni menatap Aliya yang duduk di hadapannya dan hanya memandangi sepotong cheese cake yang begitu tampak terhias cantik dan menggugah selera.Namun sayangnya, Aliya tidak bisa memakannya.“Aku… tidak bisa makan keju,” jawab Aliya sedikit meringis.“Moony ga suka keju? Yang bener? Enak lho padahal…”“I
Me Saifa : [ Untuk pak Bumi, aku tunggu besok jam 9 pagi di depan CCP ] Saif : [ Ok ] Aliya membaca sekali lagi postingan yang ia unggah kemarin sore sesaat setelah pulang dari pertemuan dengan Agni. Dirinya kini berada di dalam angkutan umum menuju tempat yang ia tentukan untuk titik pertemuan dengan Dean hari ini. “Kiri, Mang!” seru Aliya saat angkutan yang ia tumpangi berbelok di persimpangan Cibinong. Dengan hati-hati ia turun lalu mengulurkan ongkos pada sang supir melalui jendela kiri depan. “Nuhun Mang,” tutur Aliya setelah menerima kembalian dari sang supir angkutan itu. Ia berjalan sambil memasukkan kembalian tersebut ke dalam saku celana jeans abu-abu yang ia pakai. Kaos panjang setengah paha berwarna paduan putih dan abu gelap dengan cappucon, menjadi pilihannya hari ini. Sementara rambutnya yang panjang ia ikatkan menjadi satu ke belakang, ala ekor kuda. Di pundak kanannya tersampir ransel kecil yang hanya bisa menampung ponsel, dompet dan buku catatan berukuran maks
Mobil pun melaju dan berkendara selama hampir dua puluh menit. Setelah melewati stasiun kereta, perkampungan dan bahkan kebun-kebun luas yang tak terawat, mereka kini tiba di satu kampung yang tidak terlalu padat.Ford Ranger yang Aliya dan Dean tumpangi berhenti di depan sebuah rumah panggung yang tidak terlalu besar. Tingginya hanya sekitar enam puluh senti dari permukaan tanah. Rumah panggung itu terlihat sangat sederhana, namun beraneka tanaman hias tertata cantik di samping kanan kiri kaki tangga.“Kita ke siapa?” Aliya menoleh ke kanannya dan mendapati Dean yang mencabut kunci lalu membuka seat belt yang ia kenakan.“Kita mampir ke orang-orang yang cukup penting untukku…”“Oh..” Kening Aliya berkerut samar. ‘Ngga mungkin kan, Dean membawaku ke keluarganya?’ pikirnya sedikit cemas.“Sebenarnya hari ini memang jadwalku mengunjungi mereka. Semula aku hendak minta ganti hari pa
“Duh punten pisan Kang Saip. Punten abdi nembe dongkap. Pun biang nuju teu damang,” (Maaf sekali Kang Saif. Maaf saya baru datang. Ibu saya lagi sakit) ujar seorang wanita berkerudung putih berusia sekitar tiga puluhan, ketika Dean telah selesai bersama anak-anak itu.“Teu sawios Teh. Abdi ge kaleresan aya priyogi deui, janten teu tiasa lami di dieu. Hapunten pisan janten ngawagel waktos teh Ani…” (Tidak apa-apa Teh. Saya juga kebetulan ada perlu lagi, jadi tidak bisa lama disini. Maaf sekali jadi mengganggu waktu Teh Ani) kata Dean pada wanita itu.Setelah Dean menyerahkan sebuah amplop dan menyampaikan beberapa hal pada wanita bernama Ani itu, ia lalu berpamitan. Anak-anak berhamburan keluar hanya untuk melambaikan tangan mereka pada Dean dan Aliya.Beberapa saat kemudian Dean dan Aliya telah berada dalam mobil mereka yang perlahan mulai menjauh dari rumah panggung tempat anak-anak itu berada.“Kenapa kau tidak bilan