Aura yang terpancar dari sosok itu, tak kalah menyedot perhatian. Semua mata pramusaji wanita dalam area itu menempel pada sosok itu dengan penuh kekaguman.Sosok yang juga bak model itu, tampak berjalan dengan gusar dan rahang mengetat. Mantel panjangnya yang tak diikat itu mengayun seiring langkahnya yang kian mendekat ke tempat Aliya dan pria itu duduk.Aliya ternganga dengan kepala mendongak menatap pria itu yang kini telah berdiri di sampingnya.“E-Elang?? Bagaimana bisa ada di sini…” gagap Aliya penuh keterkejutan.“Liebling, ayo,” Elang meraih pergelangan tangan Aliya dan hendak menariknya ketika sebuah tangan menahan lengan Elang. Elang menatap tajam pada pemilik tangan itu.“Kenapa tidak anda tanya dulu, apakah nona ini mau pergi atau tidak?” ucap pria pemilik tangan yang menahan lengan Elang itu dengan tenang.Elang menghentak lengannya agar tangan pria itu terlepas darinya. Ia lalu berali
Pria bermata hazel itu menatap kepergian keduanya dengan sikap tenang. Meski sorot matanya terpancarkan berbagai emosi kompleks, namun ia tampak bisa mengendalikan dirinya dengan cukup baik.“Jadi namamu Aliya. Sungguh senang akhirnya bertemu denganmu, Light…” gumamnya lirih sebelum ia pun akhirnya meninggalkan tempat itu.* * *“Ah ayolaah… Kalian berdua sudah lama tidak bertemu. Sekarang ketemu kok diem-dieman begini?” Ridwan mengeluh.Bagaimana tidak, ini sudah lebih dari lima belas menit, namun baik Aliya maupun Elang tidak ada yang membuka suara. Suasana di dalam mobil yang dikendarai Ridwan, terasa hening tak enak.Sebenarnya Elang telah mencoba memulai percakapan ringan, tapi Aliya menyuruhnya untuk diam. Elang tahu Aliya yang tengah marah padanya, maka dari itu, diam-lah yang dilakukan Elang hingga saat ini.Ridwan memutar kemudi sambil melirik ke belakang melalui kaca spion tengah. Ia bisa melih
Ruang kerja luas itu terasa mencekam.Darek dan Ferd berdiri dalam diam di hadapan Diedrich yang tampak sangat muram di belakang meja kerja besarnya.“Jadi kalian juga benar-benar tidak tahu? Dan…” Diedrich menahan napas. “Einhard berada di level dua?”“Itu benar, Tuan,” jawab Darek pelan.“Kami duga, Tuan Muda berada di level dua awal,” sambung Ferd.“Berapa tingkatan dalam satu level?” Diedrich bertanya cepat.“Setiap level memiliki empat tingkatan, Tuan. Tingkat Awal, Tingkat Dasar, Tingkat Menengah lalu Tingkat Tinggi,” jelas Darek.“Dan Einhard hanya berada di tingkat awal?” Diedrich berkata yang lebih mirip bergumam.Darek dan Ferd saling bertukar pandang. Ekspresi tak senang dan terganggu menampak pada wajah mereka.Bagaimana Tuan Diedrich bisa berkata seperti itu? ‘Hanya’? ‘Hanya’ tingkat awal?
“Jadi, batal lagi dong ya ngobrol sama Saif nya?” cengir Diani begitu mendengar cerita dari Aliya tentang pertemuan kemarin.“Ya gimana mau ngobrol, Miss? Tau-tau Elang dateng dan minta aku pulang…” keluh Aliya.“Gimana itu wujud si Saif?” Diani menaik-turunkan kedua alisnya.Aliya menggigit bibirnya. “Euh… another man that was created when God in a very good mood.” (Pria lainnya yang diciptakan saat Tuhan sedang dalam mood sangat baik)“Ulalaa… Harus kuat iman dong yaa?” Diani terkekeh yang disambung dengan cengiran Aliya.“Pantesan aja, Pak Einhard merasa insecure,” tambah Diani lagi.“Lagian kenapa juga harus insecure, coba?” dengkus Aliya.“Trus gimana dengan Elang? Kalian berdua telah berbaikan?”Aliya menghembus napas kasar. “Aku hanya tidak ingin ia berpikir aku terlalu gampang…”
“Kemana ini Ridwan! Kenapa teleponnya gak diangkat-angkat,” Aliya kembali menekan nomor Ridwan untuk menelepon, karena nomor Elang tidak aktif.Aliya benar-benar gusar dan kesal. Ia sampai pamit pada Mister Eddie terhadap kelas yang semula telah siap untuk ia masuki. Untungnya, Mister Eddie mengijinkan Aliya izin di tengah-tengah ia bersiap untuk mengajar.“Kemana sih ini orang!” Aliya memaki lagi. “Apakah mereka berdua bahkan nyadar? Berapa usia mereka?! Apa-apaan segala mau saling menjajal?! Apa mereka pikir, mereka ini anak-anak SMA rebutan wilayah kekuasaan?!”Aliya lalu menghubungi Santo. Setelah berbicara sesaat dengan Santo, ia mengetahui bahwa Santo telah berhenti bekerja pada Ridwan, lebih tepatnya pada Elang. Menurut penuturan Santo, bahwa Aliya akan dijaga langsung oleh Elang.Tentu saja, Santo pun tidak tahu menahu keberadaan Ridwan, terutama Elang saat ini. Kini Aliya hanya bisa berdiri
“Mister D, aku rasa hal ini tidak perlu,” Aliya menatap lurus pada pria bermata hazel di depan sebelah kirinya.“Jangan khawatir, aku tidak akan melukai temanmu,” ujar pria itu lembut lalu menatap Aliya dengan sorot mata yang kompleks.Aliya menelan saliva dengan canggung.Ia canggung bukan karena bermain mata dengan pria ini. Ia bukan sejenis wanita genit.Tapi aura yang memancar dari pria di hadapannya itu, memang terasa…. mempesona dan seakan memiliki daya magnetis yang begitu kuat. Sehingga mau tak mau, Aliya merasa sedikit tertekan berhadapan dengan pria ini.Nyaman dan sedikit tertekan.Seperti sebuah rasa ‘ketidakberdayaan’.Aliya lalu menyerah membujuk pria pemilik akun bernama Saif itu.“Elang…” Kali ini ia beralih pada Elang dengan pandangan memohon agar menghentikan duel itu. Namun seperti hal nya pria bermanik mata hazel, Elang hanya memberikan senyuman m
Aliya terlempar sejauh beberapa meter ke belakang. Elang dan pria bermata hazel berlari mengejar Aliya.Elang berhasil menangkap tubuh Aliya lebih dulu karena terpental ke arah dirinya. Ia menahan punggung Aliya di dadanya namun masih terseret beberapa langkah ke belakang.Kening Elang mengernyit, rasa takut luar biasa kini menghantam dadanya hingga terasa sakit. Ia baru merasakan sisa pukulan dari lawannya yang mengenai Aliya, masih sanggup membuat dirinya terseret ke belakang.Elang menyadari, pukulan lawannya luar biasa cepat, lebih cepat dari pukulan yang dikeluarkan dirinya. Karena itu pria bermata hazel itu tidak bisa menarik seluruh pukulan energinya dan masih menyisakan sedikit energi yang terlanjur mengenai Aliya. Apa jadinya jika tadi dirinya dan pria bermata hazel itu benar-benar terlambat menarik pukulan mereka dan sama-sama mengenai Aliya??Elang berkeringat dingin dengan rasa takut yang luar biasa membayangkan hal itu terjadi p
“Gan, teh Aliya!” Ridwan berseru tertahan. Ridwan lalu bergegas menyambar tisu di atas sebuah meja kecil lalu menyerahkan kepada Elang yang dengan tangannya menadah gumpalan darah itu.Elang dengan hati-hati menyeka jejak cipratan darah di sekitar wajah dan leher Aliya. Rahangnya mengerat dengan kening melesak dalam. Rasa sakit itu mencubit dadanya lagi.Meskipun ia tahu, nyawa Aliya tak terancam, namun baginya suguhan pemandangan seperti ini sungguh menyesakkan hati. Melihat Aliya dalam keadaan masih tak sadar dan menyemburkan darah seperti ini, adalah hal yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya untuk terjadi.“Aliya akan segera membaik setelah mengeluarkan darah tadi,” sebuah suara bariton yang dalam terdengar dari arah pintu kamar.Ridwan menoleh dan langsung menunjukkan wajah cemberut, sementara Elang hanya menoleh sekilas dan tidak memberikan komentar apa-apa.Pria bermata hazel itu mendekat ke arah Elang berdiri lal
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj