Diani melongok ke ponsel Aliya. “Postingan Saif?”
“Iya, tapi dia menulis di dindingku, Miss. Bukan status dia,” ujar Aliya. Ia lalu bersiap menulis balasan di kolom komentar, namun tiba-tiba kolom komentar telah terisi satu komentar.
Aliya terbelalak.
“Kenapa, Miss?” Diani bertanya sambil mengintip lagi layar ponsel Aliya. Cengiran lebar langsung bertengger di wajah Diani. “Akhirnya muncul juga…”
Einhard: [Siapa yang mengijinkanmu menemuinya?]
“Wuih.. bakal menarik nih,” Diani cengengesan.
‘Elang… Dia sudah bangun…’ Dada Aliya berdebar. Ternyata Elang sudah tersadar dari tidurnya. Tapi mengapa ia tidak mengabari dirinya?
Saif: [Oh. Salam, Mr Water. Apakah itu Anda?]
Einhard: [Saya rasa saya tidak perlu memberitahu anda apapun]
Saif: [Tentu saja anda perlu. Ini berkaitan dengan Nona pemilik akun ini]
Einhard: [Maaf
Suasana food court itu terlihat benar-benar lengang. Ini siang hari, jam makan siang. Namun aneh, siang ini tidak seramai biasanya dan semestinya. Aliya mengedarkan pandangan dan menghela napas sedikit kesal. Ia tidak menemukan satu pria pun duduk di antara begitu banyak meja. Semua meja dalam area food court itu kosong. “Katanya kali ini aku ga akan nunggu. Tapi ternyata tetap aja aku harus nunggu dia lagi,” omelnya kesal. Suasana hatinya memang sedang tidak baik. Ia masih menyimpan kemarahan terhadap Elang dan sekarang mendapati Saif yang ternyata tidak menepati perkataannya sendiri. Langkah Aliya terhenti sesaat. Ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Kedua matanya menyapu ke arah deretan tenant di depannya. Hampir semua pramusaji wanita yang terlihat olehnya, tengah melihat ke satu arah. Seolah menunggu sesuatu. Aliya melempar pandangan mengikuti kepala semua pramusaji itu terarah. Ia mengerutkan kening. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya pintu menuju toilet di lantai ini. Apa
Aura yang terpancar dari sosok itu, tak kalah menyedot perhatian. Semua mata pramusaji wanita dalam area itu menempel pada sosok itu dengan penuh kekaguman.Sosok yang juga bak model itu, tampak berjalan dengan gusar dan rahang mengetat. Mantel panjangnya yang tak diikat itu mengayun seiring langkahnya yang kian mendekat ke tempat Aliya dan pria itu duduk.Aliya ternganga dengan kepala mendongak menatap pria itu yang kini telah berdiri di sampingnya.“E-Elang?? Bagaimana bisa ada di sini…” gagap Aliya penuh keterkejutan.“Liebling, ayo,” Elang meraih pergelangan tangan Aliya dan hendak menariknya ketika sebuah tangan menahan lengan Elang. Elang menatap tajam pada pemilik tangan itu.“Kenapa tidak anda tanya dulu, apakah nona ini mau pergi atau tidak?” ucap pria pemilik tangan yang menahan lengan Elang itu dengan tenang.Elang menghentak lengannya agar tangan pria itu terlepas darinya. Ia lalu berali
Pria bermata hazel itu menatap kepergian keduanya dengan sikap tenang. Meski sorot matanya terpancarkan berbagai emosi kompleks, namun ia tampak bisa mengendalikan dirinya dengan cukup baik.“Jadi namamu Aliya. Sungguh senang akhirnya bertemu denganmu, Light…” gumamnya lirih sebelum ia pun akhirnya meninggalkan tempat itu.* * *“Ah ayolaah… Kalian berdua sudah lama tidak bertemu. Sekarang ketemu kok diem-dieman begini?” Ridwan mengeluh.Bagaimana tidak, ini sudah lebih dari lima belas menit, namun baik Aliya maupun Elang tidak ada yang membuka suara. Suasana di dalam mobil yang dikendarai Ridwan, terasa hening tak enak.Sebenarnya Elang telah mencoba memulai percakapan ringan, tapi Aliya menyuruhnya untuk diam. Elang tahu Aliya yang tengah marah padanya, maka dari itu, diam-lah yang dilakukan Elang hingga saat ini.Ridwan memutar kemudi sambil melirik ke belakang melalui kaca spion tengah. Ia bisa melih
Ruang kerja luas itu terasa mencekam.Darek dan Ferd berdiri dalam diam di hadapan Diedrich yang tampak sangat muram di belakang meja kerja besarnya.“Jadi kalian juga benar-benar tidak tahu? Dan…” Diedrich menahan napas. “Einhard berada di level dua?”“Itu benar, Tuan,” jawab Darek pelan.“Kami duga, Tuan Muda berada di level dua awal,” sambung Ferd.“Berapa tingkatan dalam satu level?” Diedrich bertanya cepat.“Setiap level memiliki empat tingkatan, Tuan. Tingkat Awal, Tingkat Dasar, Tingkat Menengah lalu Tingkat Tinggi,” jelas Darek.“Dan Einhard hanya berada di tingkat awal?” Diedrich berkata yang lebih mirip bergumam.Darek dan Ferd saling bertukar pandang. Ekspresi tak senang dan terganggu menampak pada wajah mereka.Bagaimana Tuan Diedrich bisa berkata seperti itu? ‘Hanya’? ‘Hanya’ tingkat awal?
“Jadi, batal lagi dong ya ngobrol sama Saif nya?” cengir Diani begitu mendengar cerita dari Aliya tentang pertemuan kemarin.“Ya gimana mau ngobrol, Miss? Tau-tau Elang dateng dan minta aku pulang…” keluh Aliya.“Gimana itu wujud si Saif?” Diani menaik-turunkan kedua alisnya.Aliya menggigit bibirnya. “Euh… another man that was created when God in a very good mood.” (Pria lainnya yang diciptakan saat Tuhan sedang dalam mood sangat baik)“Ulalaa… Harus kuat iman dong yaa?” Diani terkekeh yang disambung dengan cengiran Aliya.“Pantesan aja, Pak Einhard merasa insecure,” tambah Diani lagi.“Lagian kenapa juga harus insecure, coba?” dengkus Aliya.“Trus gimana dengan Elang? Kalian berdua telah berbaikan?”Aliya menghembus napas kasar. “Aku hanya tidak ingin ia berpikir aku terlalu gampang…”
“Kemana ini Ridwan! Kenapa teleponnya gak diangkat-angkat,” Aliya kembali menekan nomor Ridwan untuk menelepon, karena nomor Elang tidak aktif.Aliya benar-benar gusar dan kesal. Ia sampai pamit pada Mister Eddie terhadap kelas yang semula telah siap untuk ia masuki. Untungnya, Mister Eddie mengijinkan Aliya izin di tengah-tengah ia bersiap untuk mengajar.“Kemana sih ini orang!” Aliya memaki lagi. “Apakah mereka berdua bahkan nyadar? Berapa usia mereka?! Apa-apaan segala mau saling menjajal?! Apa mereka pikir, mereka ini anak-anak SMA rebutan wilayah kekuasaan?!”Aliya lalu menghubungi Santo. Setelah berbicara sesaat dengan Santo, ia mengetahui bahwa Santo telah berhenti bekerja pada Ridwan, lebih tepatnya pada Elang. Menurut penuturan Santo, bahwa Aliya akan dijaga langsung oleh Elang.Tentu saja, Santo pun tidak tahu menahu keberadaan Ridwan, terutama Elang saat ini. Kini Aliya hanya bisa berdiri
“Mister D, aku rasa hal ini tidak perlu,” Aliya menatap lurus pada pria bermata hazel di depan sebelah kirinya.“Jangan khawatir, aku tidak akan melukai temanmu,” ujar pria itu lembut lalu menatap Aliya dengan sorot mata yang kompleks.Aliya menelan saliva dengan canggung.Ia canggung bukan karena bermain mata dengan pria ini. Ia bukan sejenis wanita genit.Tapi aura yang memancar dari pria di hadapannya itu, memang terasa…. mempesona dan seakan memiliki daya magnetis yang begitu kuat. Sehingga mau tak mau, Aliya merasa sedikit tertekan berhadapan dengan pria ini.Nyaman dan sedikit tertekan.Seperti sebuah rasa ‘ketidakberdayaan’.Aliya lalu menyerah membujuk pria pemilik akun bernama Saif itu.“Elang…” Kali ini ia beralih pada Elang dengan pandangan memohon agar menghentikan duel itu. Namun seperti hal nya pria bermanik mata hazel, Elang hanya memberikan senyuman m
Aliya terlempar sejauh beberapa meter ke belakang. Elang dan pria bermata hazel berlari mengejar Aliya.Elang berhasil menangkap tubuh Aliya lebih dulu karena terpental ke arah dirinya. Ia menahan punggung Aliya di dadanya namun masih terseret beberapa langkah ke belakang.Kening Elang mengernyit, rasa takut luar biasa kini menghantam dadanya hingga terasa sakit. Ia baru merasakan sisa pukulan dari lawannya yang mengenai Aliya, masih sanggup membuat dirinya terseret ke belakang.Elang menyadari, pukulan lawannya luar biasa cepat, lebih cepat dari pukulan yang dikeluarkan dirinya. Karena itu pria bermata hazel itu tidak bisa menarik seluruh pukulan energinya dan masih menyisakan sedikit energi yang terlanjur mengenai Aliya. Apa jadinya jika tadi dirinya dan pria bermata hazel itu benar-benar terlambat menarik pukulan mereka dan sama-sama mengenai Aliya??Elang berkeringat dingin dengan rasa takut yang luar biasa membayangkan hal itu terjadi p