Tangan Diedrich berhenti membolak-balikkan dokumen. Kepalanya terangkat menatap Elang dengan raut wajah dingin.
“Sekali kau menjejakkan kaki keluar dari sini, kau akan terhapus dari daftar pewarisku, Nak. Apa kau sanggup menerima itu?” tanyanya tanpa ekspresi.
“Silahkan, Dad,” senyum Elang tanpa bermaksud menantang ayahnya.
Tepat setelah Elang berkata, Ridwan masuk ke dalam ruangan itu dan bergegas mendekati Elang.
“Ridwan! Cepat berikan obat itu. Apa kau tak tau Einhard kumat lagi?!” bentak Diedrich keras. Amarahnya merambat naik dengan cepat akibat pernyataan Elang sebelumnya.
Ridwan menelan ludah dengan susah payah. “I-itu… Sa-saya rasa Tuan Muda tidak membutuhkan obat lagi, Tuan…”
“Apa maksudmu?!” Gelegar suara Diedrich membuat jantung Ridwan serasa akan melompat keluar.
Elang menyela keduanya. “Tidak ada kaitan dengan penyakit ataupun dengan Ridwan, D
“Ka-kau… Einhard…” Diedrich tercekat oleh kalimatnya sendiri. Matanya menatap lekat putra satu-satunya yang bergerak dengan sangat gesit dalam menangkis lalu memukul serta menendang balik tiga pengawalnya.Elang memang bergerak cepat menghadapi ketiga penjaga bertubuh besar itu tanpa melepas energi untuk mengunci dua pengawal lainnya.Ridwan berada di dekat Elang membelakanginya, dengan kedua tangan ikut mengepalkan tinju dengan kikuk.“Sial… seumur-umur saya tidak pernah memakai kekerasan dalam memecahkan masalah,” gerutu Ridwan sambil terus bergerak mengikuti gerak Elang. “Saya selalu pake otak saya, Gan.”“Merunduk!” seru Elang yang direspon cepat oleh Ridwan dengan membungkukkan dirinya.Kedua mata Ridwan membesar saat melihat kaki kiri Elang berputar menyapu beberapa senti tepat di atas kepalanya. Dadanya berdegup kencang.Itu hanya selisih beberapa senti saja!
“Apa…?!” Aliya menatap lagi layar ponselnya dan membaca ulang postingan terakhir Saif itu. “Hambatan apa? Apa yang menghambatnya hingga tidak datang tadi? Dan bagaimana dia memiliki feeling yang sama soal aku lebih aman di rumah?” Bola mata Aliya berhenti bergerak. Kini kepalanya memutari sekeliling rumahnya. “Rumah ini…telah dibentengi? Oleh siapa? Dengan apa?” ‘Mungkin oleh Elang, namun entah bagaimana dia melakukannya. Tapi ini pasti Elang,’ batin Aliya. “Ah… Elang, kau belum juga bangun dari tidurmu kah?” Aliya berharap Elang menjawab kalimatnya. Entah itu melalui F*, telepon atau bahkan melalui dalam pikiran, seperti sebelumnya. Ia melirik jam di dinding. Saat ini waktu menunjukkan jam tiga sore. Namun hingga menunggu beberapa saat selanjutnya, tetap tidak ada apapun dari kalimat kegelisahan dirinya yang direspon oleh Elang. Elang benar-benar masih tidur. Demikian Aliya menutup harapan siang itu. * * * Pagi berikutnya Aliya bersiap pergi untuk mengajar kelas anak di pagi
Diani melongok ke ponsel Aliya. “Postingan Saif?”“Iya, tapi dia menulis di dindingku, Miss. Bukan status dia,” ujar Aliya. Ia lalu bersiap menulis balasan di kolom komentar, namun tiba-tiba kolom komentar telah terisi satu komentar.Aliya terbelalak.“Kenapa, Miss?” Diani bertanya sambil mengintip lagi layar ponsel Aliya. Cengiran lebar langsung bertengger di wajah Diani. “Akhirnya muncul juga…”Einhard: [Siapa yang mengijinkanmu menemuinya?]“Wuih.. bakal menarik nih,” Diani cengengesan.‘Elang… Dia sudah bangun…’ Dada Aliya berdebar. Ternyata Elang sudah tersadar dari tidurnya. Tapi mengapa ia tidak mengabari dirinya?Saif: [Oh. Salam, Mr Water. Apakah itu Anda?]Einhard: [Saya rasa saya tidak perlu memberitahu anda apapun]Saif: [Tentu saja anda perlu. Ini berkaitan dengan Nona pemilik akun ini]Einhard: [Maaf
Suasana food court itu terlihat benar-benar lengang. Ini siang hari, jam makan siang. Namun aneh, siang ini tidak seramai biasanya dan semestinya. Aliya mengedarkan pandangan dan menghela napas sedikit kesal. Ia tidak menemukan satu pria pun duduk di antara begitu banyak meja. Semua meja dalam area food court itu kosong. “Katanya kali ini aku ga akan nunggu. Tapi ternyata tetap aja aku harus nunggu dia lagi,” omelnya kesal. Suasana hatinya memang sedang tidak baik. Ia masih menyimpan kemarahan terhadap Elang dan sekarang mendapati Saif yang ternyata tidak menepati perkataannya sendiri. Langkah Aliya terhenti sesaat. Ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Kedua matanya menyapu ke arah deretan tenant di depannya. Hampir semua pramusaji wanita yang terlihat olehnya, tengah melihat ke satu arah. Seolah menunggu sesuatu. Aliya melempar pandangan mengikuti kepala semua pramusaji itu terarah. Ia mengerutkan kening. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya pintu menuju toilet di lantai ini. Apa
Aura yang terpancar dari sosok itu, tak kalah menyedot perhatian. Semua mata pramusaji wanita dalam area itu menempel pada sosok itu dengan penuh kekaguman.Sosok yang juga bak model itu, tampak berjalan dengan gusar dan rahang mengetat. Mantel panjangnya yang tak diikat itu mengayun seiring langkahnya yang kian mendekat ke tempat Aliya dan pria itu duduk.Aliya ternganga dengan kepala mendongak menatap pria itu yang kini telah berdiri di sampingnya.“E-Elang?? Bagaimana bisa ada di sini…” gagap Aliya penuh keterkejutan.“Liebling, ayo,” Elang meraih pergelangan tangan Aliya dan hendak menariknya ketika sebuah tangan menahan lengan Elang. Elang menatap tajam pada pemilik tangan itu.“Kenapa tidak anda tanya dulu, apakah nona ini mau pergi atau tidak?” ucap pria pemilik tangan yang menahan lengan Elang itu dengan tenang.Elang menghentak lengannya agar tangan pria itu terlepas darinya. Ia lalu berali
Pria bermata hazel itu menatap kepergian keduanya dengan sikap tenang. Meski sorot matanya terpancarkan berbagai emosi kompleks, namun ia tampak bisa mengendalikan dirinya dengan cukup baik.“Jadi namamu Aliya. Sungguh senang akhirnya bertemu denganmu, Light…” gumamnya lirih sebelum ia pun akhirnya meninggalkan tempat itu.* * *“Ah ayolaah… Kalian berdua sudah lama tidak bertemu. Sekarang ketemu kok diem-dieman begini?” Ridwan mengeluh.Bagaimana tidak, ini sudah lebih dari lima belas menit, namun baik Aliya maupun Elang tidak ada yang membuka suara. Suasana di dalam mobil yang dikendarai Ridwan, terasa hening tak enak.Sebenarnya Elang telah mencoba memulai percakapan ringan, tapi Aliya menyuruhnya untuk diam. Elang tahu Aliya yang tengah marah padanya, maka dari itu, diam-lah yang dilakukan Elang hingga saat ini.Ridwan memutar kemudi sambil melirik ke belakang melalui kaca spion tengah. Ia bisa melih
Ruang kerja luas itu terasa mencekam.Darek dan Ferd berdiri dalam diam di hadapan Diedrich yang tampak sangat muram di belakang meja kerja besarnya.“Jadi kalian juga benar-benar tidak tahu? Dan…” Diedrich menahan napas. “Einhard berada di level dua?”“Itu benar, Tuan,” jawab Darek pelan.“Kami duga, Tuan Muda berada di level dua awal,” sambung Ferd.“Berapa tingkatan dalam satu level?” Diedrich bertanya cepat.“Setiap level memiliki empat tingkatan, Tuan. Tingkat Awal, Tingkat Dasar, Tingkat Menengah lalu Tingkat Tinggi,” jelas Darek.“Dan Einhard hanya berada di tingkat awal?” Diedrich berkata yang lebih mirip bergumam.Darek dan Ferd saling bertukar pandang. Ekspresi tak senang dan terganggu menampak pada wajah mereka.Bagaimana Tuan Diedrich bisa berkata seperti itu? ‘Hanya’? ‘Hanya’ tingkat awal?
“Jadi, batal lagi dong ya ngobrol sama Saif nya?” cengir Diani begitu mendengar cerita dari Aliya tentang pertemuan kemarin.“Ya gimana mau ngobrol, Miss? Tau-tau Elang dateng dan minta aku pulang…” keluh Aliya.“Gimana itu wujud si Saif?” Diani menaik-turunkan kedua alisnya.Aliya menggigit bibirnya. “Euh… another man that was created when God in a very good mood.” (Pria lainnya yang diciptakan saat Tuhan sedang dalam mood sangat baik)“Ulalaa… Harus kuat iman dong yaa?” Diani terkekeh yang disambung dengan cengiran Aliya.“Pantesan aja, Pak Einhard merasa insecure,” tambah Diani lagi.“Lagian kenapa juga harus insecure, coba?” dengkus Aliya.“Trus gimana dengan Elang? Kalian berdua telah berbaikan?”Aliya menghembus napas kasar. “Aku hanya tidak ingin ia berpikir aku terlalu gampang…”