Pintu bercat warna abu itu terbuka. Bu Neneng tampak terkejut tatkala melihat Aliya berdiri di depan pintu rumahnya.
“Siapa itu, Bu?” Suara lantang pak Sutarna dari dalam rumah terdengar.
Karena tak ada jawaban dari istrinya, pak Sutarna menyusul ke pintu depan dan tampak sedikit kaget saat mendapati Aliya yang tengah berdiri dan tersenyum datar pada mereka berdua.
“Ngapain kamu kesini, heh?!” sentak pak Sutarna penuh rasa tidak suka. “Kamu mau memohon-mohon pada saya agar membiarkan kamu melanjutkan gugatan? Jangan bermimpi!”
“Dengan sangat menyesal, saya tidak kesini untuk memohon. Tapi memberikan kesempatan pada Bapak untuk menyelamatkan kehormatan diri Bapak sekeluarga,” jawab Aliya tenang.
“Apa maksud kamu, wanita durhaka?!” Pak Sutarna sama sekali tidak mengecilkan volume suaranya.
Sejenak menatap bergantian pada pak Sutarna dan bu Neneng, Aliya membuka tasnya dan mengambil se
Sidang pertama dan sidang kedua dihadiri oleh Aliya dan tanpa kehadiran Bisma. Hakim pun telah menjatuhkan putusan verstek atas ketidakhadiran Bisma dalam sidang kedua. Aliya, resmi menjadi janda.Kedua sidang tersebut hanya berselang dua minggu saja. Sementara untuk mengambil akta cerainya, Aliya harus kembali di minggu depan.Aliya mengabarkan berita itu pada kedua orangtuanya. Meski mendapat respon sedu sedan dari sang mama, namun ibu Aliya itu tetap menguatkan dan membesarkan hati putrinya.Tidak ada sebuah perceraian yang disambut suka cita, karena perceraian berarti mematahkan dan menghancurkan perjanjian agung yang sempat terucap dan diikrarkan. Namun setidaknya kini, Aliya terbebas dari segala tindakan dan perbuatan keji Bisma yang berniat menjual dirinya pada lelaki hidung belang dengan dalih Aliya sebagai istri yang harus tunduk pada suami.Saat ini Aliya berada di kantornya. Ruang guru part-timer. Diani yang telah mengetahui
“Apa Miss ga salah? Miss Diani ngomong sama aku?” Aliya masih membelalak dengan bingung.Diani mengangguk mantap. “Yup. To you. Miss Aliya bisa kok.”“Ngawur! Ngga Miss. Ga bisa. Ga berani. Nanti malah kenapa-kenapa mbak Nias nya,” tolak Aliya mentah-mentah. “Aku ga bisa begituan.”“Really?” Diani mengerjap lalu menatap penuh arti pada Aliya.“Iyalah Miss. Mana ngerti aku hal begituan. Aku ga paham. Ga ngerti dan aku gak pernah me…” Kalimat Aliya terhenti. Ia merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya.Dalam ingatannya, ia tak pernah berurusan hal seperti itu, namun hatinya seakan merasakan bahwa ia bisa melakukannya.Pandangan Aliya turun ke arah Nias yang didudukkan di lantai. Pancaran matanya kosong dan sesekali menyeringai. Tubuhnya bergerak-gerak tanpa henti.“Gimana, Miss? Bersedia menolong mbak Nias?” pancing Diani. Ia tahu Aliya mulai
Tak ada yang bisa dilakukan Diani selain mengatakan yang ia ketahui pada Aliya. Diani akhirnya mengakui dan menceritakan semuanya. Aliya tertunduk lesu. Tangan kanan memegangi dada kirinya, sementara ia tetap mendengarkan semua penuturan Diani. Tentu saja ada perasaan terluka dan terpukul. Ia tidak pernah mengira Elang akan melakukan hal seperti ini padanya, meninggalkannya tanpa berpamitan dan membuat dirinya lupa. Perasaan marah itu timbul kepada Elang. Namun ia berkali-kali menyadarkan diri, bahwa ia bukan siapa-siapa bagi Elang. Elang tidak berkewajiban meminta izin pada dirinya ketika ia hendak pergi jauh. Namun, pindah ke luar negeri? Aliya merasa, seharusnya setidaknya Elang mengatakan sesuatu pada dirinya. Sementara di belahan dunia lainnya. Sebuah ruangan sangat besar di suatu gedung perkantoran yang tinggi di Dusseldorf, Jerman. Ridwan menghela napas tanpa daya. “Ya sudah jalannya. Teh Aliya harus mengingat semuanya, Gan,” tuturnya ketika ia pun mengetahui dari Elang
Ruang hampa dengan sekeliling hitam pekat. Namun demikian, seperti biasa, Aliya bisa melihat sekelilingnya dengan sangat jelas.“Ah!” pekik Aliya terkaget saat lengannya ditarik dari belakang. Badannya berputar cepat lalu menubruk dada bidang seorang pria berpostur tubuh tinggi.Punggung Aliya terdorong oleh kedua lengan kokoh yang melingkarinya dan mendesaknya hingga kian merapat ke dada bidang itu.Pipi kanan menempel pada kemeja yang dikenakan pria itu dengan dua kancing teratas yang telah terbuka. Aliya memundurkan kepalanya lalu perlahan mendongak.“Elang??” desis Aliya. Meski ia sudah bisa menduga siapa pemilik kedua lengan yang tengah mendekapnya erat itu, namun ia tetap saja terkejut.Wajah dengan rahang tegas dan hidung mancung itu merunduk. Tangan kanannya meraih kepala Aliya dan menariknya lagi hingga menempel pada dadanya.“Ssh… Please, diam sebentar,” ujar Elang pelan.Aliya mena
Aliya segera mengatupkan bibirnya rapat ketika tersadar mulutnya sempat ternganga melihat mansion megah dengan danau begitu luas berwarna biru berkilau.“A-apa tadi kau bi-bilang? Ini…”“Ini rumah kita, Al,” jawab Elang dengan tersenyum. “Ini tempat tinggal kita di dunia ini. Aku yang membuatnya. Apa kau suka?”“Kau yang membuatnya?” Aliya terperangah lagi sambil menoleh ke arah Elang di sampingnya.Elang menarik tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Aliya lalu mengecup punggung tangan Aliya mesra. “Ya, Al. Kita bisa membuat apapun yang kita inginkan di dunia ini dengan kekuatan pikiran kita.”“Oh, God…” Aliya kembali melempar pandangannya ke arah bangunan megah bergaya spanyol itu. Tidak ada yang bisa dikatakan Aliya selain mengagumi keindahan mansion itu dari tempat ia berdiri.Setelah perdebatan dan ciuman intens mereka tadi, Elang menuntun Aliya
Entah berapa kali Aliya berguling gelisah di atas kasur miliknya. Berulang kali pula ia menggigiti ujung jari lalu meraba bibir bawahnya.Bagaimana bisa ia melupakan kejadian semalam dalam mimpinya?“Ah.. bukan. Itu bukan mimpi. Itu dunia sukma kami,” ralat Aliya. Matanya kembali menerawang. Tanpa bisa ia hentikan, dadanya kembali berdebar cepat, saat teringat pertemuan dirinya dan Elang di dunia itu.Kalimat pernyataan cinta Elang, dekapan Elang yang terasa begitu erat seolah menyampaikan kerinduan yang telah mengerak bertahun-tahun lamanya. Lalu ciuman yang begitu posesif itu, membuat bulu-bulu halus Aliya meremang dan merasakan kembali kehangatan bibir Elang pada bibirnya.Ia tersentak lalu menepuk kedua pipinya yang terasa menghangat.“Seperti mimpi...” desah Aliya pelan. “Kami… suami istri? Aku dan Elang? Sungguh sungguh terikat di sana?”Aliya kemudian dikagetkan lagi dengan suara dering dari
“Siapa memang dia, Miss?” suara Diani mengejutkan Aliya.“Ini….” Aliya lalu menceritakan kejadian yang ia alami dalam mimpi beberapa malam sebelumnya pada Diani yang tampak mendengarkan seksama.“Apa.. kau percaya apa yang kuceritakan ini, Miss?” tanya Aliya ragu-ragu.Diani yang ditanya justru melebarkan senyum. “Apa sebelum sebelumnya gue pernah mencela cerita Miss Aliya, atau mengolok-olok Miss Aliya berbohong sama gue?”Kepala Aliya menggeleng. “Ngga sih.”“Ya udah. So?”Aliya menghembus napas. “Sebenernya ada satu hal lagi. Aku dan Elang, dalam dunia itu… Emm.. sudah menikah, Miss,” Aliya menoleh pada Diani untuk melihat raut muka yang mungkin terkejut atau bahkan menertawakan Aliya.Namun nihil.Ekspresi wajah Diani tidak berubah. Ia justru mengangkat alisnya dan berkata. “Ya. Lalu?”Aliya mengamati raut wa
“Apa? Tanpa bangun sedikitpun?” ‘Tidak sedetikpun, Teh,’ Jawab Ridwan setengah berbisik. ‘Orang rumah tidak ada yang tahu hal ini. Kepala rumah tangga juga saya larang masuk ke kamar Agan. Saya bilang aja agan yang perintah.’ Aliya diam mendengarkan. ‘Tapi sepertinya pak Jeff, kepala rumah tangga di sini, sedikit curiga.’ “Kamu sekarang dimana, Wan?” tanya Aliya. ‘Saya di kamar saya tadi. Tapi ini lagi jalan ke kamar Agan, Teh. Bentar Teh, maklum jaraknya jauh…’ kata Ridwan dengan napas sedikit kurang teratur karena berjalan dengan cepat. “Sejauh apa sih, sampe ngos-ngosan gitu?” tanya Aliya bingung. Dalam benaknya, jarak satu kamar ke kamar lain tidak mungkin membuat seseorang sampai terengah begitu. ‘Ya lumayan teh. Kaya jarak dari kantor Teh Aliya ke belokan ITC Cibinong,’ sahut Ridwan sembari terkekeh. “Ya ampun jauh banget jarak kamar doang?” Aliya tak bisa membayangkan seluas apa kediaman milik keluarga Elang itu. ‘Teh,’ panggil Ridwan lalu samar terdengar suara pintu di