Ruang hampa dengan sekeliling hitam pekat. Namun demikian, seperti biasa, Aliya bisa melihat sekelilingnya dengan sangat jelas.
“Ah!” pekik Aliya terkaget saat lengannya ditarik dari belakang. Badannya berputar cepat lalu menubruk dada bidang seorang pria berpostur tubuh tinggi.
Punggung Aliya terdorong oleh kedua lengan kokoh yang melingkarinya dan mendesaknya hingga kian merapat ke dada bidang itu.
Pipi kanan menempel pada kemeja yang dikenakan pria itu dengan dua kancing teratas yang telah terbuka. Aliya memundurkan kepalanya lalu perlahan mendongak.
“Elang??” desis Aliya. Meski ia sudah bisa menduga siapa pemilik kedua lengan yang tengah mendekapnya erat itu, namun ia tetap saja terkejut.
Wajah dengan rahang tegas dan hidung mancung itu merunduk. Tangan kanannya meraih kepala Aliya dan menariknya lagi hingga menempel pada dadanya.
“Ssh… Please, diam sebentar,” ujar Elang pelan.
Aliya mena
Aliya segera mengatupkan bibirnya rapat ketika tersadar mulutnya sempat ternganga melihat mansion megah dengan danau begitu luas berwarna biru berkilau.“A-apa tadi kau bi-bilang? Ini…”“Ini rumah kita, Al,” jawab Elang dengan tersenyum. “Ini tempat tinggal kita di dunia ini. Aku yang membuatnya. Apa kau suka?”“Kau yang membuatnya?” Aliya terperangah lagi sambil menoleh ke arah Elang di sampingnya.Elang menarik tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Aliya lalu mengecup punggung tangan Aliya mesra. “Ya, Al. Kita bisa membuat apapun yang kita inginkan di dunia ini dengan kekuatan pikiran kita.”“Oh, God…” Aliya kembali melempar pandangannya ke arah bangunan megah bergaya spanyol itu. Tidak ada yang bisa dikatakan Aliya selain mengagumi keindahan mansion itu dari tempat ia berdiri.Setelah perdebatan dan ciuman intens mereka tadi, Elang menuntun Aliya
Entah berapa kali Aliya berguling gelisah di atas kasur miliknya. Berulang kali pula ia menggigiti ujung jari lalu meraba bibir bawahnya.Bagaimana bisa ia melupakan kejadian semalam dalam mimpinya?“Ah.. bukan. Itu bukan mimpi. Itu dunia sukma kami,” ralat Aliya. Matanya kembali menerawang. Tanpa bisa ia hentikan, dadanya kembali berdebar cepat, saat teringat pertemuan dirinya dan Elang di dunia itu.Kalimat pernyataan cinta Elang, dekapan Elang yang terasa begitu erat seolah menyampaikan kerinduan yang telah mengerak bertahun-tahun lamanya. Lalu ciuman yang begitu posesif itu, membuat bulu-bulu halus Aliya meremang dan merasakan kembali kehangatan bibir Elang pada bibirnya.Ia tersentak lalu menepuk kedua pipinya yang terasa menghangat.“Seperti mimpi...” desah Aliya pelan. “Kami… suami istri? Aku dan Elang? Sungguh sungguh terikat di sana?”Aliya kemudian dikagetkan lagi dengan suara dering dari
“Siapa memang dia, Miss?” suara Diani mengejutkan Aliya.“Ini….” Aliya lalu menceritakan kejadian yang ia alami dalam mimpi beberapa malam sebelumnya pada Diani yang tampak mendengarkan seksama.“Apa.. kau percaya apa yang kuceritakan ini, Miss?” tanya Aliya ragu-ragu.Diani yang ditanya justru melebarkan senyum. “Apa sebelum sebelumnya gue pernah mencela cerita Miss Aliya, atau mengolok-olok Miss Aliya berbohong sama gue?”Kepala Aliya menggeleng. “Ngga sih.”“Ya udah. So?”Aliya menghembus napas. “Sebenernya ada satu hal lagi. Aku dan Elang, dalam dunia itu… Emm.. sudah menikah, Miss,” Aliya menoleh pada Diani untuk melihat raut muka yang mungkin terkejut atau bahkan menertawakan Aliya.Namun nihil.Ekspresi wajah Diani tidak berubah. Ia justru mengangkat alisnya dan berkata. “Ya. Lalu?”Aliya mengamati raut wa
“Apa? Tanpa bangun sedikitpun?” ‘Tidak sedetikpun, Teh,’ Jawab Ridwan setengah berbisik. ‘Orang rumah tidak ada yang tahu hal ini. Kepala rumah tangga juga saya larang masuk ke kamar Agan. Saya bilang aja agan yang perintah.’ Aliya diam mendengarkan. ‘Tapi sepertinya pak Jeff, kepala rumah tangga di sini, sedikit curiga.’ “Kamu sekarang dimana, Wan?” tanya Aliya. ‘Saya di kamar saya tadi. Tapi ini lagi jalan ke kamar Agan, Teh. Bentar Teh, maklum jaraknya jauh…’ kata Ridwan dengan napas sedikit kurang teratur karena berjalan dengan cepat. “Sejauh apa sih, sampe ngos-ngosan gitu?” tanya Aliya bingung. Dalam benaknya, jarak satu kamar ke kamar lain tidak mungkin membuat seseorang sampai terengah begitu. ‘Ya lumayan teh. Kaya jarak dari kantor Teh Aliya ke belokan ITC Cibinong,’ sahut Ridwan sembari terkekeh. “Ya ampun jauh banget jarak kamar doang?” Aliya tak bisa membayangkan seluas apa kediaman milik keluarga Elang itu. ‘Teh,’ panggil Ridwan lalu samar terdengar suara pintu di
‘Aku tidak bisa menemuinya tanpa sepengetahuan Elang…’ kata Aliya dalam hati. ‘Tapi Elang juga dalam kondisi seperti ini, aku tidak bisa diam saja. Kalau Elang benar-benar butuh bantuanku, bagaimana?’ Aliya berpikir cepat. Akhirnya ia memutuskan sesuatu dan mengetik kembali jawaban untuk Saif. [Baik, aku akan menemuimu. Besok di food court dekat terminal. Jam 10] Terunggah. [Besok jam 10 di food court dekat terminal. Ok.] Sebuah balasan muncul dan telah dibaca Aliya. Aliya terpekur kembali. Ia berharap keputusannya menemui pemilik akun bernama Saif ini adalah benar dan tepat. Dari kemunculan akun Saif yang persis seperti cara kemunculan akun Einhard di F*, Aliya yakin Elang dan Saif memiliki kemampuan maupun pamahaman yang sama tentang dunia sukma. Ditambah lagi dengan kemunculan Saif di dunia itu dan menolongnya saat hendak terperosok ke dalam suatu lubang. Aliya semakin yakin, Saif bukan orang sembarangan, sama seperti Elang. Napas berat terhembus dari hidung Aliya. Bagaimanap
Aliya berhasil menghindari ayunan pukulan balok kayu pertama dari Bisma. Bisma merangsek maju dan mengayunkan lagi dengan membabi buta.Sudah tidak lagi tampak kesadaran akal sehat dimiliki oleh Bisma. Ia telah kalap oleh kemarahan serta rasa dendam pada Aliya, mantan istrinya.Aliya terus berusaha menghindar, sambil membuka jaketnya dengan tergesa lalu menggulung jaket itu di tangan kirinya.Pada satu momen, Aliya mengangkat tangan kiri yang terbalut jaket itu, untuk menangkis ayunan balok dari Bisma.“Ahh!!” pekik Aliya lalu sedikit terhuyung ke belakang karena tak kuat menahan kekuatan ayunan dari Bisma itu. Nahas bagi Aliya, ia tersandung batu berukuran agak besar yang membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.Aliya mendongak, tampak olehnya Bisma yang menyeringai puas dan mata yang menggelap.Dada Aliya berdebar kuat dan napas berpacu cepat. Bulir keringat keluar satu persatu di keningnya. Ada satu perasaan aneh
“Nona, kau tidak apa-apa?” seorang lelaki bertubuh cukup tinggi besar bergegas turun dari motornya lalu menghampiri Aliya yang terduduk. “Maaf. Maaf nona, saya terlambat. Tadi saya meninggalkan rumah nona sebentar untuk buang air kecil,” kata lelaki itu cemas lalu membungkuk dan mengulurkan tangan pada Aliya untuk membantu Aliya bangun. Aliya tidak menyambut uluran tangan tersebut dan memandang linglung pada lelaki berpakaian kaos hitam dan celana jeans itu. “Anda siapa?” “Oh maaf Nona. Saya Santo, orangnya pak Ridwan untuk jaga Nona,” jawab lelaki itu cepat. “Pak Ridwan?” Aliya sesaat diam. “Jangan takut, Nona. Saya benar-benar orang suruhan pak Ridwan Bastian,” seakan mengerti kecemasan Aliya, lelaki itu menjelaskan. Kedua matanya lalu melirik pada tubuh Bisma yang masih tergolek tak sadarkan diri. Dengan langkah lebar, Santo, lelaki itu, mendekati Bisma dan menendang Bisma kasar. “Brengsek!” makinya kesal setelah melihat balok kayu panjang yang tak jauh dari Bisma tergeletak.
“Iya, aku baik-baik saja Wan. Jangan khawatir,” jawab Aliya. Dirinya kini tengah menerima telepon dari Ridwan yang cemas akan kondisinya. ‘Kurang ajar banget mantan suamimu itu Teh. Dia harus bener-bener dikurung di balik jeruji besi, biar mikir. Biar kapok,’ suara di seberang sana terdengar sangat kesal. “He-eum…” ‘Teteh beneran gak kena pukulan dia kan?’ “Alhamdulillah, ngga Wan. Aku sempat nangkis pake tangan kiriku, tapi dibalut jaket. Ada bekas memar dikit, tapi ga apa-apa kok Wan. Beneran,” jawab Aliya. ‘Kata Santo itu laki-laki bawa balok kayu. Ah gila! Udah saya marahin juga itu Santo. Kok bisa-bisanya lost, ga ketahuan teh Aliya keluar rumah.’ Aliya tertawa miris. “Jangan dimarahin atuh, Wan. Santo nya kebelet pipis. Ya lagian kamu juga, ngga bilang-bilang, kalau ternyata ada yang ngawal aku. Kalau tau, kan Santo bisa numpang pipis di rumah.” ‘Iya maaf Teh. Takutnya Teh Aliya risih, kalau tau ada yang jagain. Duh, kalau Agan tau Teh Aliya diserang gitu, gawat dah…’ “Eh
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj