Aliya berhasil menghindari ayunan pukulan balok kayu pertama dari Bisma. Bisma merangsek maju dan mengayunkan lagi dengan membabi buta.
Sudah tidak lagi tampak kesadaran akal sehat dimiliki oleh Bisma. Ia telah kalap oleh kemarahan serta rasa dendam pada Aliya, mantan istrinya.
Aliya terus berusaha menghindar, sambil membuka jaketnya dengan tergesa lalu menggulung jaket itu di tangan kirinya.
Pada satu momen, Aliya mengangkat tangan kiri yang terbalut jaket itu, untuk menangkis ayunan balok dari Bisma.
“Ahh!!” pekik Aliya lalu sedikit terhuyung ke belakang karena tak kuat menahan kekuatan ayunan dari Bisma itu. Nahas bagi Aliya, ia tersandung batu berukuran agak besar yang membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.
Aliya mendongak, tampak olehnya Bisma yang menyeringai puas dan mata yang menggelap.
Dada Aliya berdebar kuat dan napas berpacu cepat. Bulir keringat keluar satu persatu di keningnya. Ada satu perasaan aneh
“Nona, kau tidak apa-apa?” seorang lelaki bertubuh cukup tinggi besar bergegas turun dari motornya lalu menghampiri Aliya yang terduduk. “Maaf. Maaf nona, saya terlambat. Tadi saya meninggalkan rumah nona sebentar untuk buang air kecil,” kata lelaki itu cemas lalu membungkuk dan mengulurkan tangan pada Aliya untuk membantu Aliya bangun. Aliya tidak menyambut uluran tangan tersebut dan memandang linglung pada lelaki berpakaian kaos hitam dan celana jeans itu. “Anda siapa?” “Oh maaf Nona. Saya Santo, orangnya pak Ridwan untuk jaga Nona,” jawab lelaki itu cepat. “Pak Ridwan?” Aliya sesaat diam. “Jangan takut, Nona. Saya benar-benar orang suruhan pak Ridwan Bastian,” seakan mengerti kecemasan Aliya, lelaki itu menjelaskan. Kedua matanya lalu melirik pada tubuh Bisma yang masih tergolek tak sadarkan diri. Dengan langkah lebar, Santo, lelaki itu, mendekati Bisma dan menendang Bisma kasar. “Brengsek!” makinya kesal setelah melihat balok kayu panjang yang tak jauh dari Bisma tergeletak.
“Iya, aku baik-baik saja Wan. Jangan khawatir,” jawab Aliya. Dirinya kini tengah menerima telepon dari Ridwan yang cemas akan kondisinya. ‘Kurang ajar banget mantan suamimu itu Teh. Dia harus bener-bener dikurung di balik jeruji besi, biar mikir. Biar kapok,’ suara di seberang sana terdengar sangat kesal. “He-eum…” ‘Teteh beneran gak kena pukulan dia kan?’ “Alhamdulillah, ngga Wan. Aku sempat nangkis pake tangan kiriku, tapi dibalut jaket. Ada bekas memar dikit, tapi ga apa-apa kok Wan. Beneran,” jawab Aliya. ‘Kata Santo itu laki-laki bawa balok kayu. Ah gila! Udah saya marahin juga itu Santo. Kok bisa-bisanya lost, ga ketahuan teh Aliya keluar rumah.’ Aliya tertawa miris. “Jangan dimarahin atuh, Wan. Santo nya kebelet pipis. Ya lagian kamu juga, ngga bilang-bilang, kalau ternyata ada yang ngawal aku. Kalau tau, kan Santo bisa numpang pipis di rumah.” ‘Iya maaf Teh. Takutnya Teh Aliya risih, kalau tau ada yang jagain. Duh, kalau Agan tau Teh Aliya diserang gitu, gawat dah…’ “Eh
“Kau bercanda Gan!” seru Ridwan benar-benar tak percaya. Elang menggeleng pelan. “Aku benar-benar berada berpuluh-puluh hari di sana. Aku menerima semacam gemblengan untuk kemampuan dan kekuatanku.” “Hah?” “Aku tahu ini cerita lainnya yang sulit dipercaya, tapi inilah yang terjadi,” Elang perlahan bangun dari posisi tidurnya lalu duduk di tepi tempat tidur dengan menggerakkan kepala dan tangannya melakukan peregangan. “Ah! Rasanya lumayan…” Ridwan di sampingnya, melongo. “Gan…” “Siapa sangka aku hanya tertidur tiga malam saja disini. Sementara nyatanya dua bulan lebih aku berada disana,” ujar Elang lalu berdiri. Ia melakukan lagi gerakan peregangan dengan seluruh tubuhnya. “Gan.. kau gak merasa lapar atau haus atau… capek?” Elang tersenyum. “Ya, aku lapar sedikit. Capek? Itu jelas. Tujuh puluh hari lebih di sana aku melakukan hal-hal gila yang membuatku lelah secara fisik dan mental. Disana aku memenuhi kebutuhan makan dan minum dari yang bisa kudapat di sekitarnya saja. Mungkin
Di saat yang sama dengan perbedaan 5 jam lebih awal, di Bogor. Sebuah food court dekat terminal Cibinong.Aliya melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya yang ramping. Waktu telah menunjukkan jam satu siang lebih dua puluh menit.“Mengapa Saif itu belum datang? Walaupun aku memang memundurkan pertemuan dari jam 10 ke jam setengah satu siang, tapi dia yang ajak ketemu. Harusnya dia on time,” keluh Aliya gelisah. Sejam sebelumnya ia mendapat kabar dari Ridwan, bahwa Elang masih belum bangun. Ia lalu mengetikkan komentar di postingan Saif terakhir.[Apakah Anda jadi menemuiku?] Terunggah.Aliya menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Setelah jus alpukat yang dipesannya telah tandas dan tidak ada balasan apapun, Aliya memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan pergi.Namun hanya berselang sepuluh menit lainnya, derap langkah kaki tergesa memasuki area food court. Tubuh jangkung atletis itu terhenti di tengah area food court dan mengedarkan pandangannya.Kemunculan
Dusseldorf, Jerman. Elang tengah menikmati dirinya yang berendam dalam genangan air hangat di sebuah bathtub yang terbuat dari Caijou, yang merupakan batu sangat berharga di dunia. Jika dunia mengetahui harga yang harus ditebus hanya untuk satu buah bathtub ini, maka keluarga Elang mungkin akan menerima kecaman. Namun sekali lagi, uang bukanlah masalah bagi Gauthier --keluarga Elang-- yang bahkan bisa dikatakan hampir mengendalikan separuh bisnis di dunia ini. Elang menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam dan menikmati aroma dari champaca essential oil yang merebak memenuhi indera penciumannya. Namun sekejap kemudian kedua mata Elang terbuka, alisnya sedikit tertaut dan seluruh tubuhnya mendapat getaran yang tak asing. Meski singkat, getaran itu sangat dipahami Elang sebagai sinyal kewaspadaan yang berasal dari Aliya. Sejak ia terikat dengan Aliya secara sukma, ia menjadi lebih sensitif terhadap situasi Aliya dan Aliya juga mampu mendengar pikirannya. ‘Al, kau dimana?’ bisik
Langkah kaki Elang menyusuri lorong lantai atas mengikuti jejak energi samar yang terasa oleh indera keenamnya. Mansion ini memang luar biasa luas, bahkan Elang belum pernah menjejakkan area timur di lantai atas ini.Ia terus melewati beberapa pintu tanpa menoleh, mengikuti jejak energi samar itu. Dadanya sedikit berdebar lebih kencang dari biasanya dan bulu-bulu halus sekujur tubuh terasa menggelitik.Ia tidak salah. Ia memang merasakan kehadiran dua manusia yang memiliki kemampuan spesial seperti dirinya. Namun ini bukan jenis yang sama. Ada sedikit energi panas terdeteksi olehnya.Sebelah sudut bibir Elang melengkung kecil. Ia merasakan sensasi energi pada tubuhnya yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ia merasa tubuhnya jauh lebih ringan dan seolah lebih terisi serta lebih peka terhadap energi di luar dirinya sendiri.Elang menghentikan langkahnya sejenak. Keningnya berkerut.‘Energi ini… mirip dengan energi yang dilemparkan ke Al
Terlihat perubahan raut wajah yang begitu jelas pada kedua pria paruh baya itu. Kali ini mereka gagal menutupi keterkejutan mereka.Ferd menggeretakkan giginya lalu berkata. “Kami sama sekali tidak harus menjawab Anda, Tuan Muda. Keluarlah dari ruangan ini, atau…”“Atau apa?” sela Elang. “Kalian berani mengancam saya? Apa kalian bahkan sanggup melakukannya?”“Jangan Anda pikir kami tidak akan bersikap kasar terhadap Anda, Tuan Muda,” kali ini Darek menyahut.“Menarik,” Elang menarik sudut bibirnya.“Seluruh orang dalam kekuasaan dan yang bekerja di bawah keluarga Gauthier tidak ada satu pun yang berani menatap langsung pada anggota keluarga Gauthier, apalagi mengancam. Mereka hanya akan berakhir dengan kematian. Bukankah itu yang diterapkan ayah saya? Apa yang menjadikan kalian pengecualian?”“Tuan Muda…”“Kecuali kalian berbeda,&rd
Elang terdiam beberapa saat, tampak berpikir. Ia kemudian mengangkat kepalanya kembali dengan tatapan yang tetap menikam pada Darek dan Ferd. “Dengarkan. Jangan lagi menumpangi ayah saya dengan alasan yang mengada-ada untuk kepentingan kalian sendiri. Saya izinkan kalian berada di sisi ayah saya, bukan untuk menyesatkannya, tapi untuk menjaganya.” Elang menarik napas. “Jika saya temukan kalian menyesatkan ayah saya lagi,” mata Elang menyorotkan tatapan maut. “Saya akan mencari kalian dan melumpuhkan kalian berdua. Paham?” Darek dan Ferd mengangguk serempak tanpa dikomando. Wajah pucat pias mereka menunjukkan kepayahan dan ketidakberdayaan mereka dalam cengkeraman energi dari Elang. Elang perlahan mengendurkan energinya lalu melepas mereka berdua. Ferd dan Darek segera menghirup udara dalam-dalam dan mendesah penuh kelegaan. Tubuh mereka lemas, tapi mereka berusaha tetap berdiri. “Apa wanita itu memiliki ciri khusus yang bisa dikenali oleh semua elemen?” Elang bertanya lagi pada D