“Siapa memang dia, Miss?” suara Diani mengejutkan Aliya.
“Ini….” Aliya lalu menceritakan kejadian yang ia alami dalam mimpi beberapa malam sebelumnya pada Diani yang tampak mendengarkan seksama.
“Apa.. kau percaya apa yang kuceritakan ini, Miss?” tanya Aliya ragu-ragu.
Diani yang ditanya justru melebarkan senyum. “Apa sebelum sebelumnya gue pernah mencela cerita Miss Aliya, atau mengolok-olok Miss Aliya berbohong sama gue?”
Kepala Aliya menggeleng. “Ngga sih.”
“Ya udah. So?”
Aliya menghembus napas. “Sebenernya ada satu hal lagi. Aku dan Elang, dalam dunia itu… Emm.. sudah menikah, Miss,” Aliya menoleh pada Diani untuk melihat raut muka yang mungkin terkejut atau bahkan menertawakan Aliya.
Namun nihil.
Ekspresi wajah Diani tidak berubah. Ia justru mengangkat alisnya dan berkata. “Ya. Lalu?”
Aliya mengamati raut wa
“Apa? Tanpa bangun sedikitpun?” ‘Tidak sedetikpun, Teh,’ Jawab Ridwan setengah berbisik. ‘Orang rumah tidak ada yang tahu hal ini. Kepala rumah tangga juga saya larang masuk ke kamar Agan. Saya bilang aja agan yang perintah.’ Aliya diam mendengarkan. ‘Tapi sepertinya pak Jeff, kepala rumah tangga di sini, sedikit curiga.’ “Kamu sekarang dimana, Wan?” tanya Aliya. ‘Saya di kamar saya tadi. Tapi ini lagi jalan ke kamar Agan, Teh. Bentar Teh, maklum jaraknya jauh…’ kata Ridwan dengan napas sedikit kurang teratur karena berjalan dengan cepat. “Sejauh apa sih, sampe ngos-ngosan gitu?” tanya Aliya bingung. Dalam benaknya, jarak satu kamar ke kamar lain tidak mungkin membuat seseorang sampai terengah begitu. ‘Ya lumayan teh. Kaya jarak dari kantor Teh Aliya ke belokan ITC Cibinong,’ sahut Ridwan sembari terkekeh. “Ya ampun jauh banget jarak kamar doang?” Aliya tak bisa membayangkan seluas apa kediaman milik keluarga Elang itu. ‘Teh,’ panggil Ridwan lalu samar terdengar suara pintu di
‘Aku tidak bisa menemuinya tanpa sepengetahuan Elang…’ kata Aliya dalam hati. ‘Tapi Elang juga dalam kondisi seperti ini, aku tidak bisa diam saja. Kalau Elang benar-benar butuh bantuanku, bagaimana?’ Aliya berpikir cepat. Akhirnya ia memutuskan sesuatu dan mengetik kembali jawaban untuk Saif. [Baik, aku akan menemuimu. Besok di food court dekat terminal. Jam 10] Terunggah. [Besok jam 10 di food court dekat terminal. Ok.] Sebuah balasan muncul dan telah dibaca Aliya. Aliya terpekur kembali. Ia berharap keputusannya menemui pemilik akun bernama Saif ini adalah benar dan tepat. Dari kemunculan akun Saif yang persis seperti cara kemunculan akun Einhard di F*, Aliya yakin Elang dan Saif memiliki kemampuan maupun pamahaman yang sama tentang dunia sukma. Ditambah lagi dengan kemunculan Saif di dunia itu dan menolongnya saat hendak terperosok ke dalam suatu lubang. Aliya semakin yakin, Saif bukan orang sembarangan, sama seperti Elang. Napas berat terhembus dari hidung Aliya. Bagaimanap
Aliya berhasil menghindari ayunan pukulan balok kayu pertama dari Bisma. Bisma merangsek maju dan mengayunkan lagi dengan membabi buta.Sudah tidak lagi tampak kesadaran akal sehat dimiliki oleh Bisma. Ia telah kalap oleh kemarahan serta rasa dendam pada Aliya, mantan istrinya.Aliya terus berusaha menghindar, sambil membuka jaketnya dengan tergesa lalu menggulung jaket itu di tangan kirinya.Pada satu momen, Aliya mengangkat tangan kiri yang terbalut jaket itu, untuk menangkis ayunan balok dari Bisma.“Ahh!!” pekik Aliya lalu sedikit terhuyung ke belakang karena tak kuat menahan kekuatan ayunan dari Bisma itu. Nahas bagi Aliya, ia tersandung batu berukuran agak besar yang membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.Aliya mendongak, tampak olehnya Bisma yang menyeringai puas dan mata yang menggelap.Dada Aliya berdebar kuat dan napas berpacu cepat. Bulir keringat keluar satu persatu di keningnya. Ada satu perasaan aneh
“Nona, kau tidak apa-apa?” seorang lelaki bertubuh cukup tinggi besar bergegas turun dari motornya lalu menghampiri Aliya yang terduduk. “Maaf. Maaf nona, saya terlambat. Tadi saya meninggalkan rumah nona sebentar untuk buang air kecil,” kata lelaki itu cemas lalu membungkuk dan mengulurkan tangan pada Aliya untuk membantu Aliya bangun. Aliya tidak menyambut uluran tangan tersebut dan memandang linglung pada lelaki berpakaian kaos hitam dan celana jeans itu. “Anda siapa?” “Oh maaf Nona. Saya Santo, orangnya pak Ridwan untuk jaga Nona,” jawab lelaki itu cepat. “Pak Ridwan?” Aliya sesaat diam. “Jangan takut, Nona. Saya benar-benar orang suruhan pak Ridwan Bastian,” seakan mengerti kecemasan Aliya, lelaki itu menjelaskan. Kedua matanya lalu melirik pada tubuh Bisma yang masih tergolek tak sadarkan diri. Dengan langkah lebar, Santo, lelaki itu, mendekati Bisma dan menendang Bisma kasar. “Brengsek!” makinya kesal setelah melihat balok kayu panjang yang tak jauh dari Bisma tergeletak.
“Iya, aku baik-baik saja Wan. Jangan khawatir,” jawab Aliya. Dirinya kini tengah menerima telepon dari Ridwan yang cemas akan kondisinya. ‘Kurang ajar banget mantan suamimu itu Teh. Dia harus bener-bener dikurung di balik jeruji besi, biar mikir. Biar kapok,’ suara di seberang sana terdengar sangat kesal. “He-eum…” ‘Teteh beneran gak kena pukulan dia kan?’ “Alhamdulillah, ngga Wan. Aku sempat nangkis pake tangan kiriku, tapi dibalut jaket. Ada bekas memar dikit, tapi ga apa-apa kok Wan. Beneran,” jawab Aliya. ‘Kata Santo itu laki-laki bawa balok kayu. Ah gila! Udah saya marahin juga itu Santo. Kok bisa-bisanya lost, ga ketahuan teh Aliya keluar rumah.’ Aliya tertawa miris. “Jangan dimarahin atuh, Wan. Santo nya kebelet pipis. Ya lagian kamu juga, ngga bilang-bilang, kalau ternyata ada yang ngawal aku. Kalau tau, kan Santo bisa numpang pipis di rumah.” ‘Iya maaf Teh. Takutnya Teh Aliya risih, kalau tau ada yang jagain. Duh, kalau Agan tau Teh Aliya diserang gitu, gawat dah…’ “Eh
“Kau bercanda Gan!” seru Ridwan benar-benar tak percaya. Elang menggeleng pelan. “Aku benar-benar berada berpuluh-puluh hari di sana. Aku menerima semacam gemblengan untuk kemampuan dan kekuatanku.” “Hah?” “Aku tahu ini cerita lainnya yang sulit dipercaya, tapi inilah yang terjadi,” Elang perlahan bangun dari posisi tidurnya lalu duduk di tepi tempat tidur dengan menggerakkan kepala dan tangannya melakukan peregangan. “Ah! Rasanya lumayan…” Ridwan di sampingnya, melongo. “Gan…” “Siapa sangka aku hanya tertidur tiga malam saja disini. Sementara nyatanya dua bulan lebih aku berada disana,” ujar Elang lalu berdiri. Ia melakukan lagi gerakan peregangan dengan seluruh tubuhnya. “Gan.. kau gak merasa lapar atau haus atau… capek?” Elang tersenyum. “Ya, aku lapar sedikit. Capek? Itu jelas. Tujuh puluh hari lebih di sana aku melakukan hal-hal gila yang membuatku lelah secara fisik dan mental. Disana aku memenuhi kebutuhan makan dan minum dari yang bisa kudapat di sekitarnya saja. Mungkin
Di saat yang sama dengan perbedaan 5 jam lebih awal, di Bogor. Sebuah food court dekat terminal Cibinong.Aliya melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya yang ramping. Waktu telah menunjukkan jam satu siang lebih dua puluh menit.“Mengapa Saif itu belum datang? Walaupun aku memang memundurkan pertemuan dari jam 10 ke jam setengah satu siang, tapi dia yang ajak ketemu. Harusnya dia on time,” keluh Aliya gelisah. Sejam sebelumnya ia mendapat kabar dari Ridwan, bahwa Elang masih belum bangun. Ia lalu mengetikkan komentar di postingan Saif terakhir.[Apakah Anda jadi menemuiku?] Terunggah.Aliya menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Setelah jus alpukat yang dipesannya telah tandas dan tidak ada balasan apapun, Aliya memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan pergi.Namun hanya berselang sepuluh menit lainnya, derap langkah kaki tergesa memasuki area food court. Tubuh jangkung atletis itu terhenti di tengah area food court dan mengedarkan pandangannya.Kemunculan
Dusseldorf, Jerman. Elang tengah menikmati dirinya yang berendam dalam genangan air hangat di sebuah bathtub yang terbuat dari Caijou, yang merupakan batu sangat berharga di dunia. Jika dunia mengetahui harga yang harus ditebus hanya untuk satu buah bathtub ini, maka keluarga Elang mungkin akan menerima kecaman. Namun sekali lagi, uang bukanlah masalah bagi Gauthier --keluarga Elang-- yang bahkan bisa dikatakan hampir mengendalikan separuh bisnis di dunia ini. Elang menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam dan menikmati aroma dari champaca essential oil yang merebak memenuhi indera penciumannya. Namun sekejap kemudian kedua mata Elang terbuka, alisnya sedikit tertaut dan seluruh tubuhnya mendapat getaran yang tak asing. Meski singkat, getaran itu sangat dipahami Elang sebagai sinyal kewaspadaan yang berasal dari Aliya. Sejak ia terikat dengan Aliya secara sukma, ia menjadi lebih sensitif terhadap situasi Aliya dan Aliya juga mampu mendengar pikirannya. ‘Al, kau dimana?’ bisik