Tengkyuuu untuk kalian yang terus setia mengikuti cerita ini. Semoga kalian tetap menyukainya... ^,^
‘Aku tidak bisa menemuinya tanpa sepengetahuan Elang…’ kata Aliya dalam hati. ‘Tapi Elang juga dalam kondisi seperti ini, aku tidak bisa diam saja. Kalau Elang benar-benar butuh bantuanku, bagaimana?’ Aliya berpikir cepat. Akhirnya ia memutuskan sesuatu dan mengetik kembali jawaban untuk Saif. [Baik, aku akan menemuimu. Besok di food court dekat terminal. Jam 10] Terunggah. [Besok jam 10 di food court dekat terminal. Ok.] Sebuah balasan muncul dan telah dibaca Aliya. Aliya terpekur kembali. Ia berharap keputusannya menemui pemilik akun bernama Saif ini adalah benar dan tepat. Dari kemunculan akun Saif yang persis seperti cara kemunculan akun Einhard di F*, Aliya yakin Elang dan Saif memiliki kemampuan maupun pamahaman yang sama tentang dunia sukma. Ditambah lagi dengan kemunculan Saif di dunia itu dan menolongnya saat hendak terperosok ke dalam suatu lubang. Aliya semakin yakin, Saif bukan orang sembarangan, sama seperti Elang. Napas berat terhembus dari hidung Aliya. Bagaimanap
Aliya berhasil menghindari ayunan pukulan balok kayu pertama dari Bisma. Bisma merangsek maju dan mengayunkan lagi dengan membabi buta.Sudah tidak lagi tampak kesadaran akal sehat dimiliki oleh Bisma. Ia telah kalap oleh kemarahan serta rasa dendam pada Aliya, mantan istrinya.Aliya terus berusaha menghindar, sambil membuka jaketnya dengan tergesa lalu menggulung jaket itu di tangan kirinya.Pada satu momen, Aliya mengangkat tangan kiri yang terbalut jaket itu, untuk menangkis ayunan balok dari Bisma.“Ahh!!” pekik Aliya lalu sedikit terhuyung ke belakang karena tak kuat menahan kekuatan ayunan dari Bisma itu. Nahas bagi Aliya, ia tersandung batu berukuran agak besar yang membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.Aliya mendongak, tampak olehnya Bisma yang menyeringai puas dan mata yang menggelap.Dada Aliya berdebar kuat dan napas berpacu cepat. Bulir keringat keluar satu persatu di keningnya. Ada satu perasaan aneh
“Nona, kau tidak apa-apa?” seorang lelaki bertubuh cukup tinggi besar bergegas turun dari motornya lalu menghampiri Aliya yang terduduk. “Maaf. Maaf nona, saya terlambat. Tadi saya meninggalkan rumah nona sebentar untuk buang air kecil,” kata lelaki itu cemas lalu membungkuk dan mengulurkan tangan pada Aliya untuk membantu Aliya bangun. Aliya tidak menyambut uluran tangan tersebut dan memandang linglung pada lelaki berpakaian kaos hitam dan celana jeans itu. “Anda siapa?” “Oh maaf Nona. Saya Santo, orangnya pak Ridwan untuk jaga Nona,” jawab lelaki itu cepat. “Pak Ridwan?” Aliya sesaat diam. “Jangan takut, Nona. Saya benar-benar orang suruhan pak Ridwan Bastian,” seakan mengerti kecemasan Aliya, lelaki itu menjelaskan. Kedua matanya lalu melirik pada tubuh Bisma yang masih tergolek tak sadarkan diri. Dengan langkah lebar, Santo, lelaki itu, mendekati Bisma dan menendang Bisma kasar. “Brengsek!” makinya kesal setelah melihat balok kayu panjang yang tak jauh dari Bisma tergeletak.
“Iya, aku baik-baik saja Wan. Jangan khawatir,” jawab Aliya. Dirinya kini tengah menerima telepon dari Ridwan yang cemas akan kondisinya. ‘Kurang ajar banget mantan suamimu itu Teh. Dia harus bener-bener dikurung di balik jeruji besi, biar mikir. Biar kapok,’ suara di seberang sana terdengar sangat kesal. “He-eum…” ‘Teteh beneran gak kena pukulan dia kan?’ “Alhamdulillah, ngga Wan. Aku sempat nangkis pake tangan kiriku, tapi dibalut jaket. Ada bekas memar dikit, tapi ga apa-apa kok Wan. Beneran,” jawab Aliya. ‘Kata Santo itu laki-laki bawa balok kayu. Ah gila! Udah saya marahin juga itu Santo. Kok bisa-bisanya lost, ga ketahuan teh Aliya keluar rumah.’ Aliya tertawa miris. “Jangan dimarahin atuh, Wan. Santo nya kebelet pipis. Ya lagian kamu juga, ngga bilang-bilang, kalau ternyata ada yang ngawal aku. Kalau tau, kan Santo bisa numpang pipis di rumah.” ‘Iya maaf Teh. Takutnya Teh Aliya risih, kalau tau ada yang jagain. Duh, kalau Agan tau Teh Aliya diserang gitu, gawat dah…’ “Eh
“Kau bercanda Gan!” seru Ridwan benar-benar tak percaya. Elang menggeleng pelan. “Aku benar-benar berada berpuluh-puluh hari di sana. Aku menerima semacam gemblengan untuk kemampuan dan kekuatanku.” “Hah?” “Aku tahu ini cerita lainnya yang sulit dipercaya, tapi inilah yang terjadi,” Elang perlahan bangun dari posisi tidurnya lalu duduk di tepi tempat tidur dengan menggerakkan kepala dan tangannya melakukan peregangan. “Ah! Rasanya lumayan…” Ridwan di sampingnya, melongo. “Gan…” “Siapa sangka aku hanya tertidur tiga malam saja disini. Sementara nyatanya dua bulan lebih aku berada disana,” ujar Elang lalu berdiri. Ia melakukan lagi gerakan peregangan dengan seluruh tubuhnya. “Gan.. kau gak merasa lapar atau haus atau… capek?” Elang tersenyum. “Ya, aku lapar sedikit. Capek? Itu jelas. Tujuh puluh hari lebih di sana aku melakukan hal-hal gila yang membuatku lelah secara fisik dan mental. Disana aku memenuhi kebutuhan makan dan minum dari yang bisa kudapat di sekitarnya saja. Mungkin
Di saat yang sama dengan perbedaan 5 jam lebih awal, di Bogor. Sebuah food court dekat terminal Cibinong.Aliya melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya yang ramping. Waktu telah menunjukkan jam satu siang lebih dua puluh menit.“Mengapa Saif itu belum datang? Walaupun aku memang memundurkan pertemuan dari jam 10 ke jam setengah satu siang, tapi dia yang ajak ketemu. Harusnya dia on time,” keluh Aliya gelisah. Sejam sebelumnya ia mendapat kabar dari Ridwan, bahwa Elang masih belum bangun. Ia lalu mengetikkan komentar di postingan Saif terakhir.[Apakah Anda jadi menemuiku?] Terunggah.Aliya menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Setelah jus alpukat yang dipesannya telah tandas dan tidak ada balasan apapun, Aliya memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan pergi.Namun hanya berselang sepuluh menit lainnya, derap langkah kaki tergesa memasuki area food court. Tubuh jangkung atletis itu terhenti di tengah area food court dan mengedarkan pandangannya.Kemunculan
Dusseldorf, Jerman. Elang tengah menikmati dirinya yang berendam dalam genangan air hangat di sebuah bathtub yang terbuat dari Caijou, yang merupakan batu sangat berharga di dunia. Jika dunia mengetahui harga yang harus ditebus hanya untuk satu buah bathtub ini, maka keluarga Elang mungkin akan menerima kecaman. Namun sekali lagi, uang bukanlah masalah bagi Gauthier --keluarga Elang-- yang bahkan bisa dikatakan hampir mengendalikan separuh bisnis di dunia ini. Elang menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam dan menikmati aroma dari champaca essential oil yang merebak memenuhi indera penciumannya. Namun sekejap kemudian kedua mata Elang terbuka, alisnya sedikit tertaut dan seluruh tubuhnya mendapat getaran yang tak asing. Meski singkat, getaran itu sangat dipahami Elang sebagai sinyal kewaspadaan yang berasal dari Aliya. Sejak ia terikat dengan Aliya secara sukma, ia menjadi lebih sensitif terhadap situasi Aliya dan Aliya juga mampu mendengar pikirannya. ‘Al, kau dimana?’ bisik
Langkah kaki Elang menyusuri lorong lantai atas mengikuti jejak energi samar yang terasa oleh indera keenamnya. Mansion ini memang luar biasa luas, bahkan Elang belum pernah menjejakkan area timur di lantai atas ini.Ia terus melewati beberapa pintu tanpa menoleh, mengikuti jejak energi samar itu. Dadanya sedikit berdebar lebih kencang dari biasanya dan bulu-bulu halus sekujur tubuh terasa menggelitik.Ia tidak salah. Ia memang merasakan kehadiran dua manusia yang memiliki kemampuan spesial seperti dirinya. Namun ini bukan jenis yang sama. Ada sedikit energi panas terdeteksi olehnya.Sebelah sudut bibir Elang melengkung kecil. Ia merasakan sensasi energi pada tubuhnya yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ia merasa tubuhnya jauh lebih ringan dan seolah lebih terisi serta lebih peka terhadap energi di luar dirinya sendiri.Elang menghentikan langkahnya sejenak. Keningnya berkerut.‘Energi ini… mirip dengan energi yang dilemparkan ke Al
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj