Pria charming yang mempesona, akan tetapi membuat luka yang sangat perih di hati Aliya. Pertama kali mimpi itu hadir, Aliya tidak terlalu mempedulikannya, meski rasa pedih di hatinya sampai terbawa ketika ia terbangun dari tidur.
Tapi setelah tiga kali berturut-turut Aliya bermimpi yang sama, itu mulai menjadi mimpi buruk bagi Aliya. Aliya harus merasakan kepedihan setiap kali ia tidur dan terbangun dini hari.
Tidak mungkin ia menceritakan mimpi itu pada seseorang. Karena, tidak akan ada yang percaya bahwa Aliya memiliki mimpi yang sama persis setiap malamnya, hingga malam tadi.
Baiklah, katakan saja ada seseorang yang mempercayai ceritanya, tetapi betapa hal yang memalukan, bahwa Aliya memimpikan pria yang sama dan yang jelas, bukan suaminya.
Tidakkah orang yang mendengar penuturan Aliya akan berfikir, bahwa Aliya memiliki ‘fantasi’ terhadap sosok lain selain suaminya?
Sementara tidak se
“Stop it, please…” lirih pria itu berkata. Matanya menatap lurus padaAliya, sendu. DadaAliya berdebar luar biasa cepat.Nalarnyaberkata bahwa iaharus melepaskan pergelangan kirinyadari genggaman pria itu. Tapi Aliyatidak ingin.‘Damn it!’Aliyamerindukan sentuhan itu.‘Ya Tuhan…. Siapa pria ini??? Mengapa terlintas dalam benakku bahwa kami cukupdekat?’“Le…lepas,” kataAliyagugup.“Aliya…”‘Ah?? Pria ini bahkan tahu namaku??’“Lepasin tanganku. Sakit,” pintaAliyasedikit berbohong.Pria itu terdiam, sedetik kemudian segera melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tanganAliya.“Maaf,” ujarnya lirih.
“Emm.. itu, soal efek makanan pedas. Tahu dari mana?” akhirnya kalimat itu yang terlontar dari mulut Aliya.“Well… I like reading a lot,” kata pria ituringandengan tangan sibuk meracik bumbu. Mengupas bawang merah, bawang putih, jahe,laos,lalu mengirisnya.“Kamu… benar bisa masak?” Aliyabertanya dengan nada ragu.“Let’s see. After I finish it, you tell me.”(Kita lihat nanti. Setelah ini semua selesai, kau bisa tahu)Aliya mengangguk. Sejurus kemudian, untuk mengenyahkan godaan memandangi pria itu terus, Aliya memandang sekeliling.‘Wow.’Aliyabaru menyadarinya.Rumah ini begitu besar. Ditata begitu apik dan artistik. Di sebelah ruang pantri terlihat sebuah ruang, yang bagi Aliya tampak seperti ruang keluarga.Tampaknya penghuni rumah ini menyukai benda-benda seni dari berbagai negara, khusu
“Ayo, dimakan,” pria itu membuyarkan lamunanAliya.Aliya pun meraih sendok di sebelah kanan piring makannya dengan agak ragu. Iamencicipi kuah sayur asem itu. Sebentar mengecap dan mengerjapkan mata beberapa kali.“Enak,” ujarnyatulus.Iamenyendok sekali lagi, dengan kacang panjang sebagai sasaran berikutnya. Kecapan itu tak salah. Sayur asem ituenak.Aliyamelirik pria di seberangnyaitu. Ia juga telah mulai menyendokkan sayur dari mangkuk ke piringnya.“Ini enak,” tambahAliyamenegaskan.“So actually hedidn’t lie when hesaid ‘you needn’t cook for me, I can cook for you’. Right?”(Jadi dia tidak berbohong saat mengatakan ‘kau tidak perlu memasak untukku, karena aku bisa memasak untukmu’. Ya kan?)TanganAliyaterhenti. Dahinyamengerenyit.Tapi ia malah mengatakan,
“Gak aneh-lah. Itu namanya meyakinkan diri sendiri. Kita bertanya pada diri sendiri, apakah yang akan kita lakukan itu memang benar, atau perlu dipertimbangkan kembali,” jelas Diani suatu waktu, saat Aliyamengalami ‘perdebatan’ dengan suara hatinya sendiri, dan ia menanyakan pendapat Diani tentang itu. “Miss Aliyagak aneh, kok. Karena gue sendiri juga sering kaya begitu,” tambahDianilagi. Kala itu Aliyamerasa ada yang tidak beres pada dirinya, saat melihat catatan pada bukunya. Ia yakin tulisan itu miliknya, namun ia tak ingat kapan pernah menulisnya. Aliyamengalami perdebatan dengan hatinya sendiri. Satu sisi mengatakan Aliyamesti mencari tahu alasan ia menulis catatan itu, sementara sisi hati yang lain mengatakan dia tak perlu membuang waktunya untuk hal tak berguna seperti itu. Dan yang terasa sangat aneh baginya adalah, bahwa perdebatan kata hatinya itu begitu kentara. Seolah dua suara dari dua diri yang b
Dear, wonderful Lady. I think you should know this. (Wahai Wanitayang luar biasa. Kupikir kauharus tahu ini)Your existence for your own happinessis above all. Protect itwith your way, I'll protect you with my way. (Keberadaan kebahagiaanmusendiri di atas segalanya. Lindungi dengan caramu, aku akan melindungimu dengan caraku.)I cannot promise you a thing I couldn't do.May it's allowable, but I'll do any measures to keep you away from any harm.... (Akutidakbisamenjanjikan sesuatu yang tidak dapat kulakukan.Semoga diperkenankan, akuakan melakukan apa pun untuk menjauhkanmudari semua bahaya.…)So be confident, be closer to Allah, be patient and be hardy. (Jadi percaya dirilah, lebih dekat dengan Allah, bersabar dan tegar.)You can do
Setelah itulah, ajakan Diani itu terlontar. Menonton.Menonton di bioskop sebenarnyadahulupernahbahkan seringterungkapkan oleh Aliyapada suaminya, Bisma. Tapi Bisma tampaknya tidak pernah menganggap penting setiap permintaan Aliya.Tak hanya soal menonton, tapi juga hal-hal lainnya. Banyak hal-hal yang dulu menjadi aktivitas menyenangkan bagi Aliya, hilang begitu saja setelah ia dinikahi Bisma.Lalu setelah sekian waktuterlewati, Bisma bahkan tidak peduli pada apa yang diinginkan Aliya, Bisma juga telah menelantarkannya. Ia biarkan Aliyamelaksanakan peran sebagai pencari nafkah, sementara Bisma berdiam di rumah.Lalu terakhir, ia menemukan kelainan itu pada Bisma. Rahasia terbesar yang selama ini Bisma tutupi darinya.“Hhh….” Aliyamenghela nafas.Minibus ini berjalan cepat, tapi beberapa kali ia hampir terantuk karena rem mendadak. Hari Minggu cukup lengang, bebas dari
Nuansa coklat tua, dinding abu muda dan paduan latar putih. Pantri. Ya, lagi-lagi Aliya berada di pantri itu. Mimpi yang sama lagi kah? Aliya berdiri di hadapan kitchen sink dengan tangan memegang piring porselen. ‘Apa ini….?’ Aliya menatap seputar kitchen sink itu. Dua mangkuk dan dua piring makan porselen, dua gelas Kristal dan dua pasang sendok beserta garpunya. Benar. “Ini bekas makan kami..” gumam Aliya lirih, lalu menambahkan, “di mimpiku sebelumnya. Ya Tuhan! Mimpiku terus bersambung…” Lalu dengan cepat mata dan kepala Aliya berputar mencari. Pria itu. Pria charming itu tidak ada di sini. ‘Di mana dia?’ Pria itu tak ada di manapun. Ruang makan, ruang tengah, taman. Tidak. Dia tidak ada. Tapi ini masih mimpi yang sama. ‘Kemana dia?’ Aliya mencuci piring yang tengah ia pegang. Tapi kemudian setelah piring itu ia letakkan di tempat pengeringan, ia menuju sofa di ruang yang bersebelahan dengan ruang makan itu. Aliya meraih tasnya dan mencari sesuatu. Dadanya berdetak lebi
Aliyamenghela napas panjang. “Aliya,” panggilnya.Tapi Aliyatak menjawab. Menunduk, itu yang ia lakukan. Entah apa namanya, dorongan untuk menghindari tatap mata pria itu sangatlah kuat.“Aliya,” sekali lagi pria itu memanggil.Mendapati Aliyatetap tak menjawab, ia bangkit dari duduknyakemudian duduk di sebelahAliya,meski tetap memberi jarak yang wajar.Aliya merasakan degup jantungnyakembali berpacu cepat. Tapi ini entah karena apa.“Aliya….”Aliyamemejamkan mata. Sepertisedikit rasa takut. Tidak, bukan takut.Cemas.Ya, cemas.Aliyamerasa tidak mau. Ingin berkata ‘tidak’, tapi ‘tidak’ untuk apa? Ia terus bertanya-tanya dalam hati.“Saifanah..”Deg.‘Bagaimana pria ini tahu nama belakangku? Aku…’Seketika