Situasi semakin tak kondusif. Zara diam-diam tersenyum penuh kemenangan sambil memeluk Lea dengan erat sedari tadi. Sedangkan Katherine menghampiri para bangsawan tiba-tiba sambil melempar senyum tipis. Melihat Katherine mendekat. Para bangsawan mendadak bungkam.Katherine tahu para bangsawan hanya berani mengumpatnya dari kejauhan. Dan sekarang, dia ingin melihat keberanian para bangsawan tersebut ketika berhadapan langsung dengannya. Terlebih sekarang dia melihat Flo berada di kerumunan para bangsawan dan tadi sempat mencelanya juga. "Ulangi sekali lagi," kata Katherine mengedarkan pandangan di sekitar. "Apa kalian punya bukti kalau aku yang menganiaya Lea?"Tak ada tanggapan, mereka saling lempar pandangan. Memandang Katherine dengan bibir terkatup rapat. Para bangsawan tak berkutik dan mulai ketakutan tatkala merasakan atmosfer di sekitar terasa tak sangat nyaman. Katherine menyeringai tipis lalu memandang ke arah Flo dengan sangat dingin. "Flo, tadi kau mengatakan aku pantas
Katherine menyeringai tatkala Zara melototkan matanya sekarang. Tidak hanya itu Lea pun akhirnya berhenti menangis, sinar matanya dipenuhi ketakutan sekarang. Zara tiba-tiba bangkit berdiri lalu menghampiri. "Tidak usah Nak, mama minta maaf karena terlalu emosional tadi, mama akan bertanya pada Lea nanti dan semoga saja orang yang memperkosanya mau bertanggungjawab," kata Zara, air mata masih mengalir perlahan di kedua pipinya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri, di mana para bangsawan kembali saling berbisik satu sama lain, tampak penasaran siapa yang menghamili Lea. Katherine masih tersenyum, begitu senang melihat Zara mulai ketakutan dan cemas saat ini. "Apa Mama tidak penasaran dengan pelaku yang hampir memperkosaku?" Zara mengangguk kaku. Masih memainkan perannya sebagai ibu yang perhatian di hadapan semua orang lain. Namun, di dalam hati dia mengutuki Katherine saat ini. "Iya Nak, mama sangat penasaran, untuk saat ini mari kita masuk ke dalam, lihatlah orang mulai
Di situasi genting seperti ini, William masih sempat memanggil nama putri kandungnya. Katherine, pelabuhan cinta pertama dan jantung hatinya itu. Tembakan masih terdengar di sekitar. Dia berhasil menghindar meski satu peluru kembali menembus kulitnya barusan.William berlari dengan sekuat tenaga, menerobos hutan belantara. Ketiga pria di belakang, masih menembak William sambil tertawa terbahak-bahak."Berhentilah Tuan, buatlah pekerjaan kami kali ini lebih mudah!" teriak salah seorang pria. Menarik pelatuk lagi. Tetapi, William berhasil mengelak.William berdecak sedikit. "Sial, oh come on William, mana kemampuanmu dulu," gumamnya pelan. Sambil berlari dia melirik sekilas kemudian mengarahkan pistol ke belakang dan menembak ke tiga pelaku tersebut. Dulu, ketika masih muda kemampuan menembak William di atas rata-rata. Namun, sekarang karena usianya kian bertambah, kemampuannya dalam menembak agak lambat. Dor!"Argh!" Satu pria langsung tumbang. Peluru menembus di bagian kening. Wil
"Siapa itu?" Katherine memperhatikan dengan seksama sosok di hadapannya saat ini. Sosok tersebut tiba-tiba memutar badan. "Iya, ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut kuat.Rupanya sangat asing, pemuda yang umurnya sepantaran dengan Grace. Akan tetapi, dalam sekian detik rahang Katherine mengetat seketika. "Apa kau yang membunuh supir Papaku hah?!" pekik Katherine melototkan mata. Membuat Frederick dan Logan yang baru saja sampai, melebarkan pupil mata mereka pula. Keduanya memindai penampilan pemuda itu dari atas ke bawah. Wajahnya terlihat hitam dan berantakan, kalau dipikir-pikir secara logika mana ada pembunuh yang hanya diam ketika dituduh. Terlebih, penampilan pemuda ini tak sesuai dengan citra seorang pembunuh. Pemuda itu malah mengerutkan dahi. "Apa Anda sedang berhalusinasi, kenal saja tidak, ada-ada saja," ujarnya sambil menggelengkan pelan sejenak. "Kau!" Katherine mulai geram, terlebih sikap pemuda di hadapannya tak ada sopan santunnya. Dia hendak memukul namun Fr
Kerutan di dahi William semakin terlihat jelas. Dia menggerakkan mata ke arah pintu tiba-tiba. Di mana Zara dan Lea diseret paksa oleh kedua orang pengawal. Lalu menyembul juga raja, ratu dan Frederick serta Logan. "Papa, para pengawal ini menyakitiku!" Lea menjerit histeris sambil meneteskan air mata. Tentu saja air mata buaya. "Sayang, tolong aku, istri dan anakmu ini disakiti!" seru Zara, tak kalah dramatis. Dari tadi dia berusaha memberontak. Namun, tenaganya tak mampu menandingi pengawal istana tersebut.William bertambah bingung, secepat kilat menatap raja dan ratu, meminta penjelasan apa yang telah terjadi saat ini. Meskipun masih duduk di atas ranjang, lelaki bertubuh gemuk itu perlahan membungkukkan badan. "Raja, Ratu, apa yang terjadi? Mengapa istri dan putri keduaku ditahan?" tanyanya amat penasaran. James dan Celine tak langsung menanggapi. Melempar pandang pada Frederick, putra tunggalnya itu. Berbicara, melalui sorot mata. William tampak mulai panik tatkala Lea da
Mendengar hal itu, wajah William merah padam. Dalam kesadaran penuh melayangkan tamparan yang sangat kuat di pipi Zara seketika. Plak!!!Zara cepat-cepat memegang pipi kirinya yang terasa sangat pedas sekarang. Dia tercengang, kumpulan manusia yang berada di ruangan pun sama, amat terkejut dengan reaksi William.Zara baru saja sadar akan perbuatannya. Karena bertindak di luar kendalinya barusan. Wajah Zara mendadak panik dan mulai ketakutan sekarang. Dia tatap dalam pria yang masih menjadi suaminya itu kembali. "Ternyata aku salah sangka selama ini, ya kau benar, aku memang masih mencintai Sonya. Mau ada seribu wanita cantik pun di depan mataku, Sonya tetaplah pemenangnya. Selama ini aku pikir kau wanita baik-baik. Tapi nyatanya kau tak lebih dari seekor ular berbisa!" kata William dengan napas kian memburu. "Aku kecewa padamu, aku mengangkatmu dari jalanan karena kasihan padamu dan Lea. Kau tidak pantas menyandang gelar bangsawan, maka dari itu mari kita bercerai!" lanjutnya kemb
Muka Frederick bertambah merah. Dia tidak mungkin salah melihat, yakin bila ada seseorang mengintip di balik pohon. Dengan cepat melangkah menuju pohon. "Aku bilang–"Perkataannya seketika terjeda tatkala seekor kelinci menyembul dari balik pohon. Langkah kaki Frederick otomatis terhenti."Astaga, lucu sekali," celetuk Logan tanpa sadar melihat kelinci putih lumayan besar itu menghampiri mereka sambil melompat-lompat. Hewan mamalia itu terlihat kegirangan dengan kedatangan para manusia di hutan tersebut. Ia masih melompat, mengira manusia mengajaknya bermain.Logan mengulum senyum melihat tingkah binatang tersebut. Berbeda dengan Frederick mendengus dingin."Berhentilah bermain Logan, tugas kalian belum selesai cepat bawa mayat itu ke istana sekarang!" perintah Frederick kembali.Para pengawal mengangguk serempak kemudian mulai melaksanakan tugas mereka. Mengangkat Karl ke tandu. "Cepatlah, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi." Frederick mendongak sekilas, melihat matahari mer
"Tidak, tolong!" pekik Grace, menahan sakit. Xavier mendekat dengan sangat cepat manakala Grace meraung kesakitan sambil menutup mata dan memegang kepalanya sedari tadi.Xavier diserang kepanikan mendadak. Dia belum menyadari jika bagian belakang Grace berdarah. "Hei kau sadarlah!" Xavier menahan tubuh Grace dan menepuk pelan pipi Grace. "Xavier cepat tahan bagian belakang kepalanya, lihatlah ada darah!" Wanita yang selalu dipanggil Xavier dengan sebutan 'nona' ikutan panik. Pupil mata Xavier spontan melebar. Secepat kilat memegang kepala Grace. Detik selanjutnya gadis muda itu pingsan di tempat.Xavier dan wanita itu kian panik. Xavier guncang-guncang tubuh Grace sejenak. Namun, tak ada tanda-tanda adanya pergerakkan. "Xavier sebaiknya kita bawa dia ke kota sekarang!" teriak wanita bermata abu-abu itu seketika. Xavier tak langsung mengiyakan. Ekspresi wajahnya berubah dan kini tak enak dipandang. "Tapi Nona banyak orang jahat di sana, sebaiknya kita dia ke rumah saja sekarang
Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha
"Kenapa kalian ingin keluar istana? Apa ada seseorang yang menyakiti kalian?" Dengan sorot mata merah menyala, Katherine lantas beranjak dari kursi. Riak mukanya pun berubah tak enak pandang sekarang. Mendengar tanggapan Katherine, Xavier dan Grace saling lempar sesaat dengan dahi mengerut samar. "Tidak ada Putri, ini kulakukan karena kami ingin hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk,"jawab Xavier. Tadi malam Xavier dan Grace telah mempertimbangkan rencana dengan matang. Keduanya ingin hidup tenang dan menetap di desa terpencil, hanya berdua dan suatu saat nanti tinggal bersama buah hati mereka. Bukan hanya alasan itu, Xavier juga tak enak hati dengan kedatangan Robert dan Sisilia akhir-akhir ini. "Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan kalian keluar istana!" seru Katherine kemudian. Xavier melebarkan mata, tampak terkejut dengan respons Katherine. "Tapi Putri, kami—""Aku bilang tidak, ya tidak–""Sayang, tenangkan dirimu dulu, hei duduklah." Frederick langsung menyela saat kondisi d
"Fred." Katherine merasa ada yang tidak beres lantas mendorong pelan dada Frederick. Frederick pun merasakan hal yang sama. Sungguh aneh, malam-malam begini malah terdengar bunyi pecahan kaca. Katherine dan Frederick serempak melirik jendela, memastikan apa jendelanya yang rusak. Akan tetapi, setelah diamati, jendela kamar dalam keadaan aman. Kerutan di kening Katherine dan Frederick makin bertambah. Pasangan suami istri tersebut menyudahi kegiatan panasnya lalu beringsut dari kasur dan memakai pakaian dengan tergesa-gesa. Begitu pula dengan Xavier dan Grace menghentikan kegiatannya, memilih keluar hendak memeriksa apa yang telah terjadi. Keduanya tanpa sengaja berpapasan dengan Frederick dan Katherine di lantai satu. "Ada apa ini Pangeran?" tanya Xavier dengan kening mengerut kuat. "Entahlah, aku juga tidak tahu, aku pikir dari jendela kamar kalian?" Frederick pun bertanya. Jika bukan berasal dari kamarnya bisa jadi bunyi pecahan dari kamar Grace. Sebab kamar Grace tepat berada
Katherine dan Frederick saling melirik satu sama lain, tengah menahan senyum sekaligus merasa bersalah atas perbuatan mereka tempo lalu. "Untuk apa meminta maaf Xavier?" Frederick memberi tanggapan terlebih dahulu, perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya. Sebab demi egonya dia menjebak Xavier dengan obat perangsang kala itu. "Sudah seharusnya kami meminta maaf pada Pangeran dan Putri karena telah berbohong selama ini, aku juga minta maaf." Grace ikut menimpali. "Kalian tidak salah Grace, Xavier. Itu masalah kalian, dan setidaknya buah dari kebohongan kalian menghasilkan sebuah rasa, 'kan?" ujar Katherine, ikut berkomentar. Grace malah cengengesan. Merasa pasangan suami istri di hadapannya ini, terlampau baik. Hal yang wajar jika Katherine dan Frederick marah. Namun, reaksi keduanya di luar perkiraan. Xavier pun memiliki pikiran yang sama dengan Grace. Secara perlahan menatap kembali pasangan tersebut."Iy—a Putri, tapi terimalah permohonan maaf dari kami, hatiku rasanya mengganj