Tubuh Barra ambruk di atas Olivia. Keduanya saling berpelukan dengan napas naik turun. Sepasang suami istri itu baru saja sama-sama mencapai pelepasan mereka. Seakan lepas semua beban. Barra membenamkan wajahnya di ceruk leher Olivia, menghirup dalam-dalam aroma harumnya, begitu menentramkan. Olivia ikut mengusap lembut punggung lebar Barra hingga ke pinggang pria itu dengan kedua tangannya, membuat Barra semakin nyaman memeluk gadis yang sekarang sudah menjadi miliknya seutuhnya. “Sayang... Berat...” Rengek Olivia manja, Barra terlalu lama di atasnya. Tubuh pria itu tinggi kekar, Olivia tak kuat lama-lama ditindih meski Barra tetap menumpu badannya dengan siku dan lutut. Barra tertawa kecil, bagaimana bisa dirinya senyaman itu dalam posisi seperti ini? Tetapi justru membuat istrinya merasa keberatan dengan beban tubuhnya. Barra merebahkan diri di samping Olivia, ia ambil kepala istrinya itu dengan penuh kelembutan, kemudian di letakkan di atas lengan berototnya. Olivia
Ada rasa tak suka saat Olivia memintanya untuk melupakan apa yang mereka lakukan tadi, memadu kasih dengan penuh semangat dan perasaan yang tak bisa digambarkan, benar-benar dahsyat. Baru ini Barra merasakan sesuatu yang luar biasa dalam hidupnya, bahkan tidak pernah ia dapatkan dari Azalea dulunya. Bersama seorang Olivia, istri menawannya yang belum sampai hitungan satu jam, berhasil ia ambil mahkota berharganya. Saat akan menyusul Olivia, mata Barra tak sengaja menangkap sesuatu di sprei. Ada bercak-bercak merah sisa penyatuan mereka, pertanda ia telah berhasil memiliki Olivia seutuhnya. Barra semakin bersemangat. Olivia tak boleh menyesali apa yang terjadi tadi. Ia susul keluar kamar, mungkin sekarang istrinya itu berada di kamarnya sendiri, di kolam renang, atau di ruangan lain. Mereka bisa bereksplorasi di setiap sudut ruangan yang ada di penthouse ini, jika harus. ••••• Pukul 21.00 wib. Vincent berjalan dengan wajah tenang, bergabung bersama teman-temannya di markas,
“Aku minta maaf karena udah menjebak Olivia. Tapi aku terpaksa karena Reyhan yang punya ide. Kalau anda mau marah, marahlah padanya karena udah berniat jahat pada kekasih anda...” Angelina menangis ketakutan, berharap Jefri tak memberinya pembalasan. Kini mereka berada entah dimana, terlihat seperti sebuah bangunan terbengkalai yang cukup terpencil, jauh dari keramaian. Sepi tak ada warga yang tinggal disekitarnya. Mau seperti apapun perempuan itu meminta tolong, tak akan ada yang mendengar dan menolong. “Bukan aku... Dia sendiri yang memberi ide agar aku menjual Olivia pada klien. Tadinya dia yang akan aku tawarkan pada klienku, tapi dia ingin Olivia saja karena akan menghasilkan uang yang banyak. Salahkan dia...” Reyhan membela diri. Sepasang kekasih itu saling menyalahkan satu sama lain, membuat Jefri jengah. “Bungkam mulut mereka berdua!” Titah Jefri pada anak buahnya. “Baik Pak!” Anak buah Jefri kembali menyumbat mulut Angelina dengan kain agar tak lagi bersuara. Sedang Reyha
Olivia menangis di bawah guyuran air shower yang membasahi kepala hingga seluruh tubuhnya. Bagaimanapun juga, ia masih belum rela kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Barra merenggut mahkotanya, namun bukan salah pria itu. Dirinya lah yang bersalah atas semua yang terjadi akibat kecerobohannya sendiri. Seandainya saja ia tak bersedia meladeni Angelina, mungkin dirinya tak akan terjebak sampai terminum obat perangsang itu. “Kenapa aku sebodoh ini...” Olivia menjambak rambutnya sendiri, air shower terus mengguyur pelan kepalanya, membasahi wajahnya, bercampur air mata. Reaksi obat itu masih dominan Olivia rasakan, namun ia akan mencoba untuk menahannya. Cukup satu kali saja dirinya dan Barra melakukan kesalahan tadi. Tak boleh terulang lagi meski keinginan untuk mengulangi masih begitu kuat. Air dari shower tiba-tiba berhenti. Olivia terheran, ia lihat ke atas. Memang tak ada lagi air yang keluar. Deg! Sepasang tangan kekar memeluk dadanya dari belakang, m
Olivia sedikit meringis saat aset berharga suaminya itu kembali di satukan pada tubuhnya, masih sangat sakit dan perih bukan main. “Tahan sedikit saja Olivia...” Bisik Barra, paham dengan apa yang dirasakan istrinya. Ini masih begitu sulit diterobos, namun Barra tak menyerah hingga akhirnya sukses melakukannya dengan sedikit hentakan. Olivia mencengkeram kuat lengan Barra, menahan rasa perih, “Pak Barra...” Lirihnya, terdengar menggoda di telinga Barra. Sang CEO tak peduli, tak sedikit pun merasakan sakit atas cengkeraman kuku istrinya yang bisa meninggalkan bekas luka di lengan dan punggungnya. Di sanalah sensasi nikmatnya, ada tanda yang Olivia tinggalkan nantinya di tubuhnya meski sebuah cakaran kecil. Ia suka. Masih tak melepaskan pagutan lidah mereka yang saling bertautan, tubuh Olivia Barra gendong sehingga kedua kaki istrinya melingkar di pinggangnya dengan milik mereka di bawah sana sudah menyatu. Olivia memeluk erat leher Barra sembari masih dimanjakan dengan bertukar sa
Barra bahkan tak sadar jika sekarang sudah hampir pukul sembilan pagi, harus ke kantor untuk menghadiri beberapa jadwal rapat penting, dan... “Jefri!” Barra baru ingat jika dirinya menyuruh Jefri menunggunya di tempat pengeksekusian miliknya. Ada Angelina dan Reyhan yang harus diberi pelajaran. Ia kecup bibir merah muda sang istri, pertanda morning kiss yang mulai sekarang harus selalu dilakukan. Lalu melepaskan tubuh Olivia dari pelukannya perlahan agar tak mengganggu tidur Istrinya itu. Ia kemudian mendudukkan diri untuk mengambil ponsel di atas meja nakas samping ranjang. “Jef menelepon berkali-kali sejak sore kemarin.” Barra menggaruk pelipisnya, asistennya itu pasti menunggu dan menunggu dirinya. Namun karena sudah disibukkan oleh seorang Olivia, tak ada lagi yang Barra ingat. Lupa pada yang lain, lupa waktu, hanya seorang Olivia yang memenuhi hati dan pikirannya. Ia lirik Olivia yang tertidur pulas, istrinya itu sudah benar-benar membuatnya takluk. °°°°° “Bagaimana Jef?” T
“Mommy... Ingin kami punya anak?” Tanya Barra deg-degan. [Tentu saja... Kan sebelum berangkat ke Jerman Mommy udah ngomong kalau Mommy akan menjalankan pengobatan ini dengan serius karena Mommy pengen sehat biar bisa main sama cucu-cucu Mommy. Kamu rajin kan bikinnya sama Oliv?] Barra sedikit salah tingkah mendengar ucapan Syafira yang terlalu blak-blakan. [Bar, kok diam? Kamu malu? Buahahaha...] Syafira menertawakan ekspresi wajah putranya. Ia sangat tahu bagaimana jika seorang Barra sedang malu dan salah tingkah. Sedang Barra berusaha menutupi kegugupannya, tak suka diledek Syafira. [Bar, makasih ya nak karena kamu udah membuktikan sama Mommy kalau kamu serius mau membuka lembaran baru bersama istri kamu Oliv. Mommy gak sia-sia berobat jauh-jauh kesini demi mendapatkan kesembuhan. Mommy benar-benar pengen punya cucu Bar... Cucu dari kamu dan Oliv aja! Kalau udah kayak gini, Mommy janji akan sembuh dan gak ogah-ogahan lagi berobatnya! Nanti kalau Mommy udah kembali ke Ind
Barra Malik Virendra, CEO tampan yang biasanya bersikap dingin dan arogan, kali ini tampak berjalan dengan wajah tenang. Ia melangkah keluar dari lift pribadi yang ada di unitnya lantai teratas, kini berada di lobby menuju pintunya yang megah. Disana, Jefri, asisten pribadi yang selalu mendampingi telah menunggu setia bersama mobil mewah yang akan mengantar mereka ke suatu tempat yang tersembunyi. Tak ada yang tahu bahwa tempat itu adalah lokasi dimana Barra biasa memberi pelajaran kepada orang-orang yang dianggapnya sebagai pengganggu atau ancaman, baik bagi bisnisnya maupun yang dirasa telah mengusik hidupnya. Di tempat itulah, Barra menunjukkan sisi lain dari dirinya yang kejam dan tak kenal ampun. “Pagi Pak.” Sapa Jefri dengan santun. Bisa ia rasakan aura positif yang terpancar di wajah sang Bos. Ini seperti sebuah keajaiban, Jefri sempat melihat Barra tadi tersenyum tipis pada penjaga Lobby. Tak pernah seorang Barra seperti itu sebelumnya. Selama ini senyumnya sangatlah maha
Olivia semakin mendekati Barra, “Jadi selama ini anda sebenarnya _ngefans ya sama aku!” lanjutnya dengan tatapan penuh kecurigaan, wajah Barra terlihat gugup tetapi lucu. “Fans?” Barra yang sempat berdebar-debar menanti apa yang ingin Olivia katakan, spontan terpana. Ternyata istrinya malah berpikir seperti itu. Tadinya ia pikir Olivia sudah tahu sesuatu yang begitu sulit ia ungkapkan dari hati terdalamnya, tepatnya perasaannya yang semakin ia sadari setelah malam pertama mereka. “Hem, kalau ngefans, kenapa gak bilang? Pake alasan mau ambil gambar sunsetnya. Padahal isinya foto aku semua!” Olivia melipat kedua tangannya di dada, menyipitkan mata dengan senyum menggoda Barra. “Siapa bilang saya ngefans sama kamu? Yang benar aja! Tadi sudah saya katakan, saya hanya membantu mengambil foto kamu yang sedang menikmati sunset. Itu foto untuk kamu juga, bukan untuk saya!” Barra meraih ponselnya ditangan Olivia, namun dengan cepat wanita itu tahan. “Tapi aku gak pernah minta difotoin, an
“Anda juga sering ke pantai seperti ini?” Tanya Olivia. Ia yakin jika ini bukan pertama kalinya Barra membawa wanita bersamanya menikmati suasana pantai yang eksotis. Bersama Azalea dulu, pasti Barra sering kesini. “Waktu masih kecil, bersama Mommy dan Daddy. Tapi setelah dewasa, tidak pernah lagi. Baru ini saya ke pantai lagi setelah sekian lamanya, bersama kamu.” Jawab Barra jujur, masih menatap keindahan senja di depan mereka. Olivia terpana, “Benarkah?” tanyanya sulit mempercayai. “Menurut kamu saya punya waktu hanya untuk sekedar menghabiskan waktu sendirian di sini?” Olivia terdiam. Apa itu artinya Barra dan Azalea tidak pernah ke pantai menghabiskan waktu bersama? ‘Mungkin mereka keluar kota, atau keluar negeri kalau mau quality time ya.” batinnya, menerka. “Kenapa diam? Kamu tidak percaya saya baru datang ke pantai lagi setelah seusia ini?” “Hem, ya! Kayaknya gak mungkin. Pasti ada beberapa kali atau satu kali aja anda ke sini menikmati pantai yang cantik bersama Bu Az
Mata Olivia tiba-tiba tak sengaja melihat ke arah pakaian tidur wanita yang dipajang pada manekin, tampak dari kaca besar sebuah toko khusus pakaian tidur wanita dewasa yang ada di lantai mall tempat mereka berada sekarang. Berbagai macam lingerie, terpajang cukup menarik perhatian para pengunjung yang melewati toko itu. Terutama baju dinas malam bertema cosplay anime yang lucu dan gemas. Olivia menyipitkan mata, tak habis pikir. ‘Kenapa toko itu harus memajang pakaian seperti itu di depan? Gimana kalau laki-laki yang otaknya kotor, sampai berpikir yang enggak-enggak?’ ‘Kalau ada istri mah enak, bisa dibeliin dan minta istrinya pake didepan dia. Nah kalau gak punya istri, ya bisa gawat...’ Olivia bermonolog dengan hatinya sendiri. Dirinya saja merasa malu melihat pakaian-pakaian yang seharusnya cukup privasi itu, di pajang dengan mudahnya dibalik kaca besar toko tersebut, sehingga bisa dilihat oleh siapa saja germasuk anak dibawah umur. Ya, namanya juga toko khusus pakaian seper
“Lho, Elgard, Olivnya mana?” Clarissa yang baru saja datang, mencari keberadaan Olivia di dekat Elgard, namun tak ada. Elgard masih diam terpaku, belum bisa menormalkan perasaannya. “Lo kenapa? Berantem sama Oliv? Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang lo nyakitin perasaan dia lagi makanya dia pergi gitu aja!” Clarissa curiga, baru sebentar ia tinggal pergi. Olivia sudah tak ada. “Gue harus tanya papa soal ini kak!” Elgard tak menjawab pertanyaan Clarissa. Ia langsung beranjak pergi dengan perasaan tak menentu, tergesa-gesa, hanya untuk memastikan kebenaran kabar pernikahan Barra dan Olivia yang belum diketahui semua orang. Berharap itu tidak benar. “Dia mau nanya apa ke papa?” gumam Clarissa tak mengerti, Elgard pergi begitu saja meninggalkannya. °°° “Pak Barra...” Olivia menghentikan langkahnya, menahan lengan Barra yang berjalan sambil menggenggam tangannya. Barra ikut berhenti dan menatap Olivia, wajahnya masih tampak dingin. “Maafkan aku... Aku gak bermaksud lancang mendah
“Hai Oliv.” Sapa Elgard lebih mendekat pada Olivia yang mulai resah. Ia lirik Barra di seberang sana. Suami tampan dan posesifnya itu ternyata tengah menatap tajam ke arahnya dan Elgard sembari melangkah menuju tempatnya berada. Olivia tahu Barra tak akan suka melihat dirinya didekati Elgard.“Oh hai Elgard. Aku duluan ya.” Olivia cepat-cepat beranjak dari hadapan mantan suaminya itu, akan mendekati Barra yang berwajah menakutkan di seberang sana.“Olivia sebentar!” Elgard menghadang langkah Olivia, tak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk bicara berdua setelah beberapa kali gagal.“Ada apa?” Tanya Olivia sedikit kaget, namun matanya masih tertuju ke belakang Elgard, tepatnya ke arah Barra disana yang tampak menahan amarah melihat Olivia tak dibiarkan pergi oleh seorang pria yang pernah menjadi masa lalu istrinya itu.“Olivia, aku cuma mau bilang ke kamu. Tolong jauhi Barra Malik Virendra.” Ucap Elgard to the point, mengejutkan Olivia.“Maksudnya?” Olivia menelan ludah. Ia baru inga
“Kamu haus?” Tanya Barra setelah mereka keluar dari arena permainan. Olivia merasa sudah cukup puas bermain dan mengajak suaminya keluar dari tempat itu. “Iya nih. Aku rasanya pengen es krim...” Olivia menunjuk stand es krim yang berada tak jauh dari sana. “Saya akan pergi membelikan es krimnya Pak.” Jefri hendak beranjak. “Tidak perlu Jef. Kamu bawa saja hadiah-hadiah ini ke mobil. Biar aku saya yang kesana membelinya!” Tukas Barra. “Baik Pak.” Jefri mengambil banyaknya hadiah yang diperoleh Olivia dari permainan yang dimenangkan Barra tadi, membawanya ke mobil untuk disimpan agar tak mengganggu gerak dan langkah bebas mereka. “Kamu tunggu disini, duduk saja. Saya belikan dulu es krimnya.” Ucap Barra pada Olivia setelah Jefri pergi. “Aku bisa pergi sendiri membelinya.” Olivia merasa tak enak hati merepotkan Barra. “Tidak Olivia, tunggulah disini! Saya hanya sebentar!” Titah Barra, tak ingin sang istri kelelahan. “Baiklah.” Olivia tersenyum, manut saja pada perintah suaminya.
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny