“Aku minta maaf karena udah menjebak Olivia. Tapi aku terpaksa karena Reyhan yang punya ide. Kalau anda mau marah, marahlah padanya karena udah berniat jahat pada kekasih anda...” Angelina menangis ketakutan, berharap Jefri tak memberinya pembalasan. Kini mereka berada entah dimana, terlihat seperti sebuah bangunan terbengkalai yang cukup terpencil, jauh dari keramaian. Sepi tak ada warga yang tinggal disekitarnya. Mau seperti apapun perempuan itu meminta tolong, tak akan ada yang mendengar dan menolong. “Bukan aku... Dia sendiri yang memberi ide agar aku menjual Olivia pada klien. Tadinya dia yang akan aku tawarkan pada klienku, tapi dia ingin Olivia saja karena akan menghasilkan uang yang banyak. Salahkan dia...” Reyhan membela diri. Sepasang kekasih itu saling menyalahkan satu sama lain, membuat Jefri jengah. “Bungkam mulut mereka berdua!” Titah Jefri pada anak buahnya. “Baik Pak!” Anak buah Jefri kembali menyumbat mulut Angelina dengan kain agar tak lagi bersuara. Sedang Reyha
Olivia menangis di bawah guyuran air shower yang membasahi kepala hingga seluruh tubuhnya. Bagaimanapun juga, ia masih belum rela kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Barra merenggut mahkotanya, namun bukan salah pria itu. Dirinya lah yang bersalah atas semua yang terjadi akibat kecerobohannya sendiri. Seandainya saja ia tak bersedia meladeni Angelina, mungkin dirinya tak akan terjebak sampai terminum obat perangsang itu. “Kenapa aku sebodoh ini...” Olivia menjambak rambutnya sendiri, air shower terus mengguyur pelan kepalanya, membasahi wajahnya, bercampur air mata. Reaksi obat itu masih dominan Olivia rasakan, namun ia akan mencoba untuk menahannya. Cukup satu kali saja dirinya dan Barra melakukan kesalahan tadi. Tak boleh terulang lagi meski keinginan untuk mengulangi masih begitu kuat. Air dari shower tiba-tiba berhenti. Olivia terheran, ia lihat ke atas. Memang tak ada lagi air yang keluar. Deg! Sepasang tangan kekar memeluk dadanya dari belakang, m
Olivia sedikit meringis saat aset berharga suaminya itu kembali di satukan pada tubuhnya, masih sangat sakit dan perih bukan main. “Tahan sedikit saja Olivia...” Bisik Barra, paham dengan apa yang dirasakan istrinya. Ini masih begitu sulit diterobos, namun Barra tak menyerah hingga akhirnya sukses melakukannya dengan sedikit hentakan. Olivia mencengkeram kuat lengan Barra, menahan rasa perih, “Pak Barra...” Lirihnya, terdengar menggoda di telinga Barra. Sang CEO tak peduli, tak sedikit pun merasakan sakit atas cengkeraman kuku istrinya yang bisa meninggalkan bekas luka di lengan dan punggungnya. Di sanalah sensasi nikmatnya, ada tanda yang Olivia tinggalkan nantinya di tubuhnya meski sebuah cakaran kecil. Ia suka. Masih tak melepaskan pagutan lidah mereka yang saling bertautan, tubuh Olivia Barra gendong sehingga kedua kaki istrinya melingkar di pinggangnya dengan milik mereka di bawah sana sudah menyatu. Olivia memeluk erat leher Barra sembari masih dimanjakan dengan bertukar sa
Barra bahkan tak sadar jika sekarang sudah hampir pukul sembilan pagi, harus ke kantor untuk menghadiri beberapa jadwal rapat penting, dan... “Jefri!” Barra baru ingat jika dirinya menyuruh Jefri menunggunya di tempat pengeksekusian miliknya. Ada Angelina dan Reyhan yang harus diberi pelajaran. Ia kecup bibir merah muda sang istri, pertanda morning kiss yang mulai sekarang harus selalu dilakukan. Lalu melepaskan tubuh Olivia dari pelukannya perlahan agar tak mengganggu tidur Istrinya itu. Ia kemudian mendudukkan diri untuk mengambil ponsel di atas meja nakas samping ranjang. “Jef menelepon berkali-kali sejak sore kemarin.” Barra menggaruk pelipisnya, asistennya itu pasti menunggu dan menunggu dirinya. Namun karena sudah disibukkan oleh seorang Olivia, tak ada lagi yang Barra ingat. Lupa pada yang lain, lupa waktu, hanya seorang Olivia yang memenuhi hati dan pikirannya. Ia lirik Olivia yang tertidur pulas, istrinya itu sudah benar-benar membuatnya takluk. °°°°° “Bagaimana Jef?” T
“Mommy... Ingin kami punya anak?” Tanya Barra deg-degan. [Tentu saja... Kan sebelum berangkat ke Jerman Mommy udah ngomong kalau Mommy akan menjalankan pengobatan ini dengan serius karena Mommy pengen sehat biar bisa main sama cucu-cucu Mommy. Kamu rajin kan bikinnya sama Oliv?] Barra sedikit salah tingkah mendengar ucapan Syafira yang terlalu blak-blakan. [Bar, kok diam? Kamu malu? Buahahaha...] Syafira menertawakan ekspresi wajah putranya. Ia sangat tahu bagaimana jika seorang Barra sedang malu dan salah tingkah. Sedang Barra berusaha menutupi kegugupannya, tak suka diledek Syafira. [Bar, makasih ya nak karena kamu udah membuktikan sama Mommy kalau kamu serius mau membuka lembaran baru bersama istri kamu Oliv. Mommy gak sia-sia berobat jauh-jauh kesini demi mendapatkan kesembuhan. Mommy benar-benar pengen punya cucu Bar... Cucu dari kamu dan Oliv aja! Kalau udah kayak gini, Mommy janji akan sembuh dan gak ogah-ogahan lagi berobatnya! Nanti kalau Mommy udah kembali ke Ind
Barra Malik Virendra, CEO tampan yang biasanya bersikap dingin dan arogan, kali ini tampak berjalan dengan wajah tenang. Ia melangkah keluar dari lift pribadi yang ada di unitnya lantai teratas, kini berada di lobby menuju pintunya yang megah. Disana, Jefri, asisten pribadi yang selalu mendampingi telah menunggu setia bersama mobil mewah yang akan mengantar mereka ke suatu tempat yang tersembunyi. Tak ada yang tahu bahwa tempat itu adalah lokasi dimana Barra biasa memberi pelajaran kepada orang-orang yang dianggapnya sebagai pengganggu atau ancaman, baik bagi bisnisnya maupun yang dirasa telah mengusik hidupnya. Di tempat itulah, Barra menunjukkan sisi lain dari dirinya yang kejam dan tak kenal ampun. “Pagi Pak.” Sapa Jefri dengan santun. Bisa ia rasakan aura positif yang terpancar di wajah sang Bos. Ini seperti sebuah keajaiban, Jefri sempat melihat Barra tadi tersenyum tipis pada penjaga Lobby. Tak pernah seorang Barra seperti itu sebelumnya. Selama ini senyumnya sangatlah maha
“Laksmana tidak tau kalau Nyonya sudah anda nikahi. Kalau dia tau, mungkin diapun tidak akan berani macam-macam lagi pada Nyonya karena akan berurusan langsung dengan anda, Pak Barra. Justru malah dia akan ketar-ketir terhadap seorang Barra Malik Virendra.” Lanjut Jefri ikut geram. “Jadi begitu?” Barra dengan tatapan tajam, mengangkat dagunya, tak ingin Laksmana semakin merajalela, “Kalau begitu, dia harus tau bahwa Barra Malik Virendra adalah suami dari keponakannya!” Tegas Barra, mengejutkan Jefri. “A-Anda akan terang-terangan menunjukkan pada Laksmana bahwa andalah yang sekarang melindungi Nyonya?” “Bukan hanya pada Laksmana, tetapi pada semua orang sehingga mulai sekarang tidak akan ada yang berani berbuat macam-macam pada istriku, karena akan berhadapan langsung denganku dan dengan keluarga besar Virendra!” Barra semakin mempertegas. Hatinya panas, ingin rasanya menghabisi Laksmana jika saja bisa saat ini juga. Namun nasib Ibu mertuanya masih di tangan pria kemaruk itu. Bar
Mobil Olivia diparkirkan khusus di parkiran pasien. Ia yang telah turun dari mobil, dengan napas berat dan tubuh berkeringat dingin, segera memasuki area lobby untuk mendaftarkan diri ke bagian administrasi. Satpam mempersilahkan Olivia menuju bagian pendaftaran. “Terimakasih Pak.” Ucapnya memaksakan senyum dengan wajah sudah pucat. Saat berjalan ke bagian pendaftaran, pandangan mata Olivia menggelap. Langkahnya seketika terhenti, seakan ada suara berdenging di telinganya yang membuat suara orang-orang yang beraktivitas di sekitar lobby tersebut lenyap, tak terdengar lagi “Mbak?” Satpam yang berdiri di pintu lobby hendak mendekati Olivia yang mencari pegangan pada tangannya, kakinya sudah tak kuasa menopang tubuh untuk tetap berdiri. Brugh! Tubuh Olivia terjatuh ke lantai lobby, seketika tak sadarkan diri sebelum sampai di meja pendaftaran. “Mbak...” Satpam berlari menuju posisi Olivia yang pingsan, begitu pun petugas pendaftaran yang sontak siaga akan membantu. “Baw
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang
Barra kembali mendekati Dokter Andrew, sedang Olivia duduk dengan dijaga bodyguard yang siaga. “Bagaimana kabar Dokter? anda terlihat luar biasa,” Ungkapnya. “Alhamdulillah, namanya juga udah berkeluarga, udah ada istri yang menemani dan mengurus semua kebutuhan saya. Ditambah sudah punya dua orang jagoan. Hati jadi selalu senang, hidup penuh semangat,” Dokter Andrew berseri-seri. “Jadi anak anda sudah dua, keduanya laki-laki?” Barra lagi-lagi takjub. “Ya, Muhammad Azzam Daniel, dan Muhammad Izzam Daniel. Dua jagoan kebanggaan saya!” Dokter Andrew begitu bangga. Anak-anaknya adalah cucu kebanggaan Sultan Daniel. “Hem, luar biasa. Berapa umur mereka sekarang?” Barra cukup antusias sebagai seorang calon ayah, dirinya ikut senang mendengar kebahagiaan Dokter Andrew. Akan merasakan hal seperti itu juga tak lama lagi. “Alhamdulillah sekarang Azzam sudah tujuh tahun. Sudah SD kelas satu. Kalau Izzam, masih tiga tahun. Lagi lucu-lucunya,” Dokter Andrew begitu bangga menceritakan ke
“Sebenarnya berhubungan suami istri juga memberikan manfaat. Ada yang namanya Hormon Oksitosin yang dilepaskan secara alami saat berhubungan intim, dimana dapat merangsang ikatan dan keintiman yang baik antara ibu hamil dan suami. Lebih tepatnya mempererat bonding selama kehamilan.” Tambah Dokter Anita Iagi, semakin membuat Barra bersemangat. ‘Harus dengan cara yang tepat, hem.’ Gumamnya dalam hati. la lirik Olivia yang masih mengobrol dengan Dokter Anita, senyum samar terbit di wajahnya yang biasanya selalu tampak datar. ‘Bersiaplah, Sayang!’ Barra membatin, sudah tak sabar untuk segera menagih jatah dari istrinya itu. Terlebih Olivia belum sempat ia beri pelajaran yang tak terlupakan karena telah pergi meninggalkan dirinya selama satu bulan lebih. Hari ini istri cantiknya itu tak akan bisa lepas lagi. °°° “Duh, Mas, foto USG-nya diliatin mulu...” Goda Olivia mengulum senyum. Barra sejak keluar dari ruang Dokter tadi, seakan tak mau berhenti menatapi gambar janin dari print-an
~ROYAL HOSPITAL~ Mobil mewah berwarna hitam yang membawa Barra dan Olivia, melaju pelan hingga berhenti tepat di depan rumah sakit. Di belakangnya, beberapa mobil bodyguard telah lebih dulu parkir dan membentuk formasi ketat. Barra dan Olivia turun dari mobil, diiringi oleh tatapan tajam para bodyguard yang siap mengawal mereka. “Tuan, Nyonya, kami akan mendampingi Anda selama berada di rumah sakit,” Ujar salah satu bodyguard dengan sikap hormat. “Ya, dua tiga orang saja yang ikut masuk. Selebihnya tetap siaga di luar. Kita juga tidak boleh menimbulkan ketidaknyamanan pengunjung rumah sakit lainnya,” Titah Barra. “Baik, Tuan!” Ketua bodyguard tersebut menginstruksikan pada rekannya yang lain untuk melakukan apa yang diperintahkan sang Bos. Olivia menoleh ke Barra, heran dengan kehadiran penjaga yang begitu banyak. “Mas, apa ini? Kenapa banyak penjaga? Apa ada bahaya?” Tanyanya, wajahnya tampak cemas. Barra menatap Olivia dengan tatapan lembut, lalu menggenggam tangan i