“Eh? Bagaimana, Pak?” Naomi berbalik bertanya dengan wajah bingung.
“Kamu ini bagaimana? Kamu yang sakit tapi kamu yang lupa?” sahut Rangga sembari berdecak. Lelaki itu membuka lagi meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop putih dari sana. “Kemarin ada yang datang dan memberikan surat doktermu.” Naomi mengambil amplop itu dan membukanya. Manik matanya membola sempurna melihat isi amplop tersebut. Ternyata Rangga tidak mengada-ada. Dalam surat dokter itu tertera namanya dan ada keterangan jika dirinya harus beristirahat selama dua hari. Yaitu kemarin dan hari ini. Entah siapa yang memberikan surat ini pada manajernya. Naomi tidak ke dokter apalagi meminta surat seperti ini. Jelas-jelas seharian kemarin ia sangat sibuk. Ia sampai melupakan keberadaan ponselnya dan tidak ingat untuk memberi kabar jika dirinya tak bisa berangkat bekerja. “Surat itu baru diantar kemarin malam. Untungnya restoran belum tutup dan saya masih ada di sini,” imbuh Rangga lagi. “Kenapa kamu tidak menelepon atau mengirim pesan? Biasanya kamu selalu mengirim pesan kalau tidak masuk kerja.” “Maafkan saya, Pak. Kemarin saya tidak sempat membuka ponsel.” Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya Naomi mengiyakan surat itu. Ia tersenyum canggung sebelum melanjutkan kalimatnya. “Saya ingin menghubungi Pak Rangga tadi malam, tapi takut mengganggu.” Naomi harus berterima kasih pada siapa pun yang berinisiatif membantunya dengan surat palsu ini. Jika bukan karena surat ini, sudah pasti dirinya yang mendapat surat peringatan. Atau lebih buruknya lagi, ia akan mendapat sanksi yang lebih berat. “Tidak apa-apa. Lain kali kamu harus memberi kabar lebih awal. Tapi, apa kamu yakin sudah bisa bekerja lagi hari ini?” Rangga menatap Naomi dengan sorot menilai. “Saya tidak mau dianggap sebagai atasan yang kejam karena mempekerjakan karyawan sakit.” “Saya yakin sudah bisa bekerja lagi hari ini,” jawab Naomi dengan senyum penuh semangat. “Ya sudah. Kerjakan tugasmu dengan baik. Kalau kamu masih merasa sakit, katakan. Jangan memaksakan diri,” tutur Rangga. Kedua sudut bibir Naomi semakin tertarik ke atas. “Terima kasih banyak, Pak. Saya permisi dulu.” Naomi langsung pamit undur diri dan bergegas kembali ke dapur. Sebuah nampan besar yang penuh dengan berbagai menu sudah siap diantar. Ia langsung mengantar pesanan itu sesuai ke meja tamu. Tugasnya terus berulang seperti itu hingga berjam-jam berlalu. Sebenarnya Naomi memang kurang sehat karena pola makan dan tidurnya yang berantakan. Ditambah lagi dengan kemarin. Akan tetapi, Naomi tidak mau bermanja-manja. Selagi ia masih merasa kuat, ia akan tetap bekerja. Namun, ketika mengangkat nampan yang isinya lebih banyak lagi, tiba-tiba keseimbangannya oleng. “Hati-hati,” ucap seorang lelaki berseragam sama dengan Naomi yang membantu memegang nampan itu. Posisinya seperti sedang memeluk Naomi dari belakang. “Sepertinya kamu masih sakit. Harusnya kamu istirahat saja, bukan memaksakan bekerja.” Naomi yang menyadari jika posisi mereka kurang pantas dilihat spontan menegakkan tubuhnya. “Aku baik-baik saja, Vin. Nampannya berat, jadi aku agak kesulitan,” jawabnya. Dengan sengaja ia menyikut perut Kelvin agar mundur dan memberi jarak di antara mereka. “Kalau begitu, biarkan aku yang mengantarnya. Kamu kerjakan yang lain saja. Lain kali, mintalah bantuan kalau kamu kesulitan, jangan menyulitkan dirimu sendiri.” Kelvin langsung mengambil alih nampan dari tangan Naomi dan membawanya keluar dapur. Setelah Kelvin pergi, Naomi baru menyadari jika beberapa orang memperhatikan mereka dengan sorot beragam. Wanita itu langsung kembali menunduk dan berdeham pelan. Kemudian, melanjutkan pekerjaan lainnya yang belum selesai. Hari ini, jam kerja Naomi berakhir sebelum malam tiba. Karena ‘surat sakit' itu, dirinya tidak perlu bekerja sampai closing restoran. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjenguk adiknya di rumah sakit. Sudah dua hari dirinya tidak menjenguk adiknya. “Hei, Naomi! Tunggu!” seru Kelvin yang melangkah cepat menyusul Naomi yang baru saja keluar dari restoran. Lelaki itu juga membawa tas ranselnya. “Kamu mau langsung pulang atau ke rumah sakit dulu? Kudengar adikmu masih dirawat di rumah sakit, bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Kelvin yang sudah berhasil mengejar Naomi dan kini mensejajarkan langkah dengan wanita itu. “Attar masih belum sadar. Aku akan menjenguknya dulu sebelum pulang,” jawab Naomi. “Bolehkah aku ikut? Aku juga ingin menjenguk Attar,” pinta Kelvin. Kelvin dan Attar memang cukup dekat karena beberapa tahun lalu mereka sempat bertetangga sebelum keluarga Kelvin pindah rumah. Sebenarnya ia tak keberatan jika lelaki itu ingin ikut ke rumah sakit bersamanya. Akan tetapi, jika bodyguard Alister masih menunggunya, ia tak mungkin mengajak Kelvin. Naomi spontan menghentikan langkah. Ia celingukan menatap sekitarnya, lebih tepatnya ke area di dekat halte. Tempat di mana bodyguard Alister menunggunya. Namun, mobil yang biasa mengantarnya itu tak terlihat di sekitar sana. “Emm ... oke,” jawab Naomi pada akhirnya. Naomi dan Kelvin berangkat ke rumah sakit menggunakan sepeda motor milik Kelvin. Bodyguard Alister tidak terlihat di mana pun, bahkan ketika Naomi melewati halte tempatnya meminta diturunkan tadi pagi. Mungkin, bodyguard itu memang tidak menunggunya lagi hari ini. Keadaan Attar masih sama seperti ketika terakhir kali Naomi menemui sang adik. Dokter mengatakan belum ada perkembangan yang signifikan dari lelaki itu. Entah apa yang membuat Attar betah dalam tidur panjangnya. Padahal seharusnya adiknya itu sudah sadar. Naomi keluar dari ruang perawatan Attar. Ia ingin mencari Kelvin yang katanya ingin mencari makanan, namun belum kembali sampai sekarang. Ketika hendak berbelok di ujung lorong, ia mendapati keberadaan sosok yang familiar. Suaminya berada di sana juga. Tepat ketika Alister menoleh ke arah Naomi juga, Kelvin datang dan menepuk bahu wanita itu dari belakang. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kelvin pada Naomi. “Eh? Aku mencarimu. Kupikir kamu tersesat,” jawab Naomi kaku. “Itu tidak mungkin. Aku bukan anak kecil. Ya sudah, ayo kita kembali ke ruangan Attar. Aku membeli makanan kesukaanmu. Kamu pasti menyukainya.” Tanpa basa-basi, Kelvin merangkul bahu Naomi dan membimbing wanita itu kembali ke ruang perawatan Attar. Cukup lama Naomi dan Kelvin berada di sana. Mereka bergantian mengajak Attar mengobrol dengan harapan lelaki itu akan segera sadar. Kelvin memaksa ingin mengantar Naomi pulang padahal wanita itu sudah mengatakan bisa pulang sendiri. Akhirnya, Naomi membiarkan Kelvin mengantarnya ke rumah kontrakannya. “Sampai ketemu lagi di restoran,” tutur Kelvin seraya kembali memakai helmnya. “Ya, hati-hati di jalan. Terima kasih sudah mengantar dan menemaniku di rumah sakit,” jawab Naomi dengan senyum tipis. Setelah motor yang Kelvin kendarai menghilang di ujung jalan, barulah Naomi berbalik dan membuka pagar rumahnya. Halaman kecil rumah itu nyaris gelap gulita karena tak satu pun lampu menyala. Setelah agak mendekat ke arah pintu, ia baru menyadari ada seseorang yang berdiri di sana. “Tuan Alister?”Naomi mengerjapkan matanya, khawatir salah mengenali orang. Namun, ia belum menghentikan langkah dan kian dekat jarak mereka, ia semakin yakin jika sosok yang berdiri di hadapannya adalah Alister. Apa yang lelaki itu lakukan di depan rumahnya? “Apa yang Tuan lakukan di sini?” Tanpa sadar Naomi menyuarakan isi kepalanya. Namun, ia tak berniat meralat karena dirinya memang sangat penasaran. Orang sekelas Alister tak mungkin memiliki urusan di tempat seperti ini. Terlebih, sekarang lelaki itu berada di depan rumah kontrakannya. Naomi benar-benar tak menyangka akan bertemu suaminya di sini. Awalnya, Naomi melihat sorot sangat tajam terpancar dari manik mata Alister. Akan tetapi, sepersekian detik kemudian tatapan lelaki itu berubah menjadi datar seperti biasanya. Tanpa menanggapi pertanyaannya, Alister berjalan melewatinya begitu saja. “Aku ada urusan di sini dan itu bukan urusanmu!” balas Alister datar. “Ayo pulang!” Semburat kemerahan muncul di wajah Naomi. Ia malu sendiri k
Dalam tidurnya, Naomi mengerutkan kening ketika merasa ada sesuatu yang menindih perutnya. Ia mencoba bergerak, namun seperti ada yang menahan pergerakannya. Akhirnya, matanya terbuka perlahan. Wanita itu melihat ke bawah untuk mengetahui apa yang menindih perutnya. Ia nyaris memekik kaget, namun untungnya ia dapat segera mengendalikan diri. Sebuah lengan kekar melingkari perutnya. Naomi tahu siapa pemiliknya. Akan tetapi, ia tak pernah tidur dengan lawan jenis sebelumnya. Bahkan, setelah malam pernikahannya dengan Alister, lelaki itu langsung pergi meninggalkannya setelah mendapat telepon dari Amara. Semalam, Alister dan Naomi benar-benar menginap di rumah kontrakan Naomi. Tidur berdua di ranjang sempit wanita itu. Dan mungkin karena terbawa suasana, semalam mereka kembali melakukan ‘itu’. Wajah Naomi terrasa2 memanas saat mengingatnya. “Kenapa pikiranku jadi seperti ini?” gumam Naomi merutuki otaknya yang berpikiran macam-macam. Perlahan-lahan, Naomi menoleh ke belakang. Waja
“Kenapa kamu menatapku seperti melihat hantu?” sindir Alister sinis. Naomi mengerjap pelan seraya kembali menetralkan ekspresinya. Ia sangat terkejut melihat Alister berada di mobil yang biasanya mengantar jemput dirinya. Seingatnya, lelaki itu hanya mampir sebentar ke restoran di siang hari dan setelahnya kembali pergi. “Maaf. Aku hanya terkejut,” jawab Naomi seraya memasuki mobil dan duduk di samping lelaki itu. Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dengan kecepatan normal. Alister tidak merespon lagi dan langsung fokus dengan ponsel di tangannya. Sedangkan Naomi sibuk memilih menatap pemandangan di sekitarnya untuk menghindari kecanggungan. Biasanya Naomi hanya duduk seorang diri di bangku belakang dan itu terasa lebih nyaman. Keberadaan Alister membuatnya merasa diawasi. Padahal sebenarnya sedari tadi lelaki itu masih menatap ponsel tanpa mengalihkan pandangan sama sekali. Naomi yang sudah kebosanan mulai mengantuk. Namun, ketika menyadari jika jalanan yang dilaluinya b
“Aku tidak menyangka ternyata dia mengajakmu.” Amara kembali bersuara sembari menatap Naomi yang diam membisu di hadapannya. Alih-alih menanggapi kata-kata Amara, Naomi malah sibuk menelisik penampilan wanita di hadapannya ini. Riasan tebal menghiasi wajah Amara seperti biasa. Namun ada yang sedikit berbeda. Pakaian wanita itu tampak lebih mewah dari yang pernah ia lihat. Seolah-olah Amara akan menghadiri pesta. Sejak pernikahannya dengan Alister berlangsung, ini adalah kali pertama Naomi berhadapan dengan Amara lagi. Wanita ini mengabaikannya begitu saja setelah dirinya menikah dengan Alister. Berulang kali dirinya berusaha menghubungi Amara namun tak ada respon sama sekali hingga akhirnya ia bosan melakukannya. “Kenapa diam? Alister ada di dalam atau tidak?” Karena Naomi tak kunjung menjawab, Amara kembali membuka suara dengan alis menukik. Wanita bergaun hitam dengan potongan cukup terbuka itu melipat kedua tangan di depan dada. Tampak tak sabar menunggu jawaban Naomi. “Eh? Iya
“Apa?! Kenapa mendadak sekali?” pekik Naomi spontan karena terkejut. “Mohon maaf untuk itu. Tapi, Tuan Alister ingin Nyonya bersiap sekarang. Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Setelah waktu makan siang nanti, saya akan kembali dan menjemput Nyonya. Saya permisi,” jawab Romi seraya pamit undur diri dan pergi dari sana. Naomi menatap kepergian Romi sembari menggerutu kesal. Bukan karena kesal pada lelaki itu, namun pada orang yang memerintah Romi untuk menemuinya. Sepertinya Alister hanya ingin mengerjainya dengan memaksanya ikut namun lebih banyak meninggalkannya. Bukannya kembali ke kamar untuk berkemas, Naomi malah melanjutkan langkah dan pergi keluar kawasan hotel. Kemarin, ia menemukan sebuah kedai makanan yang tidak terlalu mewah di dekat sini. Naomi memutuskan pergi ke sana untuk sarapan. Naomi sengaja memilih meja paling pojok yang berdekatan dengan jendela agar dapat menikmati pemandangan di luar. Ia hanya memesan sepiring sandwich dan secangkir cokelat hangat. Pesananny
Seperti biasanya, Naomi memang tidak terlalu memperhatikan wajah pengunjung restoran ketika mencatat ataupun mengantar pesanan mereka. Ia tidak menyadari jika lelaki di hadapannya adalah orang yang sama dengan orang yang ia temui kemarin di kedai roti itu. Naomi hanya menyunggingkan senyum tipis setelah menetralkam keterkejutannya tanpa menanggapi kata-kata Raga. Kemudian, meletakkan seluruh pesanan Raga di meja dengan hati-hati. Lelaki itu hanya memesan secangkir kopi dan sepotong lemon cake. “Ternyata kita tinggal di kota yang sama? Kebetulan sekali,” tutur Raga yang kembali membuka pembicaraan. “Aku baru tahu kamu bekerja di sini. Padahal sebelumnya aku sering berkunjung ke sini dan sepertinya aku belum pernah melihatmu.” “Mungkin saat Tuan berkunjung, aku sedang berada di tempat lain,” jawab Naomi seraya kembali menegakkan tubuhnya dan memeluk nampan yang ia bawa. “Apa kamu ada waktu luang? Mungkin kamu bersedia menemani salah satu pelanggan setia ini?” balas Raga dengan sen
Naomi pikir Kelvin lah yang mendatanginya. Ia nyaris mengiyakan tawaran tersebut. Namun, ketika ia mengangkat kepala, bukan lelaki itu yang berada di depannya. Melainkan sosok yang belakangan ini seolah selalu berada di sekelilingnya—Raga. Naomi hanya mengenal Raga se lewat. Ia tidak mungkin mengiyakan tawaran lelaki itu sekalipun benar-benar membutuhkan bantuan. “Tidak perlu, terima kasih. Aku sedang menunggu jemputan.”“Aku tahu kamu sedang buru-buru. Aku hanya menawarkan bantuan kalau kamu mau. Tenang saja, aku bukan orang jahat,” jawab Raga yang masih mempertahankan senyuman di wajahnya. “Sekarang sudah larut malam, agak sulit mencari kendaraan umum.”Naomi mulai tertarik dengan tawaran Raga meski hatinya masih ragu. “Bisakah kamu mengantarku ke rumah sakit?” Pada akhirnya, ia memilih menekan keraguannya dan menerima tawaran lelaki itu daripada harus menunggu lebih lama lagi. “Oke, aku ambil mobilku dulu,” jawab Raga seraya berlari kembali ke restoran. Tak berselang lama, lelaki
Manik mata Naomi membola sempurna, tak menyangka Raga akan berkata seperti itu pada Alister. Ia tidak tahu kedua orang itu saling mengenal. Dan lagi, dirinya dan Raga juga baru bertemu beberapa hari lalu. Bagaimana bisa lelaki itu meng-klaim dirinya sebagai calon kekasih? “Hanya calon kekasih? Apa yang perlu dibanggakan?” sahut Alister dengan sebelah alis terangkat. Lelaki itu tersenyum miring dan menatap Raga dengan sorot mencemooh. Namun, ketika bertatapan dengan Naomi, tatapannya berubah tajam. “Tapi, sebentar lagi akan menjadi kekasihku. Aku hanya ingin memperkenalkannya padamu. Bersiaplah, posisimu akan tergeser.” Raga menurunkan intonasi bicaranya saat mengatakan kalimat terakhir. “Ayo, Cantik. Lebih baik kita cari makanan enak.”Naomi semakin dibuat terkejut ketika Raga merangkul pundaknya. Ia pun hendak meralat omongan ngelantur lelaki itu, namun Raga sudah menariknya menjauh dari sana. Setelah sosok Alister tak terlihat lagi, Naomi langsung menyingkirkan tangan Raga dari pu
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali