Mengabaikan kepanikan Naomi, Alister malah membuka jas hitam yang membalut tubuhnya. Melempar jas tersebut ke sisi ranjang yang kosong. Kemudian, mengendurkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Setelah itu, ia kembali menarik Naomi mendekat dan mengambil sesuatu di laci nakas.
Semburat kemerahan kontan muncul di wajah Naomi setelah mengetahui apa yang ingin Alister lakukan. Ia segera mengenyahkan pikiran aneh yang sempat terlintas di kepalanya. Ternyata lelaki itu mengeluarkan kotak obat kecil dengan isi lengkap dari laci nakas. Namun, lebih mengejutkannya lagi, Alister malah langsung mengobati lukanya tanpa basa-basi. Naomi meringis pelan ketika luka lecet di kakinya terkena alkohol. Ia tidak tahu telapak kakinya terluka, perihnya pun baru terasa sekarang. Naomi hanya merasa kebas saja sedari tadi. Sepertinya kakinya terluka ketika memaksakan berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh. “Tuan, aku bisa mengobati lukaku sendiri.” Naomi berusaha menarik kakinya, namun Alister malah mengeratkan pegangan pada kakinya. Posisi seperti ini membuat Naomi tidak nyaman, belum lagi debaran jantungnya juga tak dapat dikontrol. Lebih baik ia mengobati lukanya sendiri daripada Alister yang melakukannya. Terlebih, ini hanya luka kecil. Biasanya juga ia akan mengabaikan luka seperti itu hingga akhirnya mengering dan sembuh dengan sendirinya. “Oh ya? Bahkan, kamu tidak sadar kakimu terluka,” balas Alister setengah menyindir. Lelaki itu masih fokus mengobati luka Naomi tanpa menatap lawan bicaranya sama sekali. Naomi berdeham canggung setelah Alister mengobati lukanya. “Terima kasih sudah mengobatiku, Tuan.” “Selama bersamaku, kamu tidak boleh terluka,” peringat Alister yang sudah mengembalikan kotak obatnya ke tempat semula. Naomi yang sedari tadi menunduk spontan mengangkat kepala. Ia yakin tidak ada yang salah dengan indra pendengarannya. Setelah menutup laci dengan sempurna, Alister mengalihkan pandangan dan menatap Naomi dengan sorot tak terbaca. “Kamu akan mengandung anakku. Jika kecerobohan itu masih melekat padamu, kamu bisa saja mencelakai anakku! Mengerti?” “Me-mengerti, Tuan,” jawab Naomi sembari mengangguk. Alister menondongkan tubuhnya ke arah Naomi dan berkata, “Sekarang tidur! Atau kamu ingin—” “Aku akan tidur sekarang!” balas Naomi cepat. Naomi berguling ke samping dan langsung menempati sisi ranjang yang kosong. Kemudian, menarik selimut hingga menutupi dadanya dan bergegas memejamkan mata. Hingga Naomi menyelami alam mimpi, ia tidak merasakan pergerakan Alister sama sekali. Entah lelaki itu sudah pergi atau belum. Ketika Naomi terbangun karena alarm dari ponselnya sudah berbunyi nyaring, ia tidak menemukan Alister di kamar itu. Ranjang di sampingnya juga tampak rapi dan dingin, sepertinya Alister memang tidak tidur di sini. Semalam ia terlalu lelah hingga langsung terlelap setelah Alister mengancamnya. Naomi bergegas bangkit dari ranjang dan membersihkan diri di toilet. Seharian kemarin ia banyak beraktivitas, tetapi tidak sempat membersihkan diri sebelum tidur. Setelah mandi, Naomi langsung mematut diri di depan cermin, mempersiapkan diri untuk bekerja. “Semoga tidak ada gangguan lagi hari ini,” gumam Naomi sembari merapikan penampilannya. Manik mata Naomi berpendar menatap sekelilingnya setelah keluar kamar. Hanya beberapa pelayan dan bodyguard yang berlalu lalang di sana. Helaan napas lega lolos dari bibirnya karena tidak mendapati Aljster atau Miranda berada di sana. Saat melewati meja makan, Naomi mendapati meja sudah penuh dengan berbagai menu makanan lezat. Menu-menu yang selalu menjadi menu andalan di restoran tempatnya bekerja. Namun, ia belum pernah memiliki kesempatan untuk mencicipinya. “Silakan sarapan dulu, Nyonya. Atau jika Nyonya tidak menyukai menu makanan yang ada di sini, kamu bisa menggantinya,” tutur seorang pelayan yang kini berdiri di samping Naomi. “Tidak perlu, aku menyukainya,” jawab Naomi sembari menatap satu per satu menu yang tersedia di sana. Perutnya semakin keroncongan karena aroma lezat yang menguar dari makanan-makanan itu. “Apa kamu sudah sarapan? Kalau belum, ayo makan bersamaku!” “Eh? Apa Nyonya tidak salah?” tanya sang pelayan spontan. “Apanya yang salah?” sahut Naomi dengan kening berkerut. “Makanan yang kalian sajikan sangat banyak. Aku tidak mungkin bisa menghabiskan semuanya sendiri. Ayo kita makan bersama, ajak yang lainnya juga. Kalian yang memasak, yakin tidak mau mencobanya?” Naomi tidak bisa makan jika hanya makan seorang diri dan ditonton oleh orang lain. Lebih baik ia mengajak yang lainnya makan bersama. Setidaknya para pelayan di penthouse ini tidak bersikap kurang ajar seperti pelayan di rumah mertuanya. Jadi, ia juga akan bersikap baik. “Tapi, tidak sepatutnya kami satu meja dengan Nyonya. Kami bisa makan di dapur. Kalau Nyonya tidak nyaman karena keberadaan kami, kami tidak akan mengganggu Nyonya,” tolak pelayan itu dengan kepala tertunduk, tak berani membalas tatapan sang nyonya. “Siapa yang membuat aturan seperti itu?” sahut Naomi sembari berdecak pelan. “Ayolah, aku yakin kalian juga belum sarapan. Temani aku makan, oke?” Akhirnya, Naomi berhasil membujuk para pelayan untuk sarapan bersamanya di meja makan. Setelah itu, ia bergegas berangkat ke tempat kerjanya, tentunya masih diantar oleh bodyguard yang pernah mengantarnya. Seperti dua hari lalu, ia meminta sang bodyguard menurunkannya di halte di dekat restoran tempatnya bekerja. Begitu sampai di restoran, Naomi langsung menemui manajernya. Ia harus memberi penjelasan pada sang manajer karena kemarin membolos tanpa kabar. Padahal di hari sebelumnya dirinya sudah mendapat teguran karena tidak fokus bekerja. Manajernya sedang kedatangan tamu ketika Naomi hendak menemui. Akhirnya, ia memilih memulai pekerjaannya sembari menunggu urusan manajernya selesai. Naomi benar-benar takut terkena masalah karena belakangan ini performanya menurun. “Semoga Pak Rangga masih memberiku keringanan,” gumam Naomi dalam hati sebelum mengetuk ruang kerja sang manajer. Barusan, ia melihat tamu manajernya sudah pergi dan inilah waktu yang tepat untuk berbicara dengan manajernya. “Masuk!” sahut Rangga dari dalam sana. Naomi membuka pintu perlahan-lahan. Kemudian, langsung menyunggingkan senyum ketika bertemu pandang dengan sang manajer. Ia berdeham pelan sembari menyusun kata untuk meminta kemurahan hati manajernya. “Pak, saya minta maaf—” “Kenapa kamu sudah masuk kerja? Memangnya kamu sudah sembuh? Bukannya surat sakitmu sampai hari ini?”“Eh? Bagaimana, Pak?” Naomi berbalik bertanya dengan wajah bingung. “Kamu ini bagaimana? Kamu yang sakit tapi kamu yang lupa?” sahut Rangga sembari berdecak. Lelaki itu membuka lagi meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop putih dari sana. “Kemarin ada yang datang dan memberikan surat doktermu.”Naomi mengambil amplop itu dan membukanya. Manik matanya membola sempurna melihat isi amplop tersebut. Ternyata Rangga tidak mengada-ada. Dalam surat dokter itu tertera namanya dan ada keterangan jika dirinya harus beristirahat selama dua hari. Yaitu kemarin dan hari ini. Entah siapa yang memberikan surat ini pada manajernya. Naomi tidak ke dokter apalagi meminta surat seperti ini. Jelas-jelas seharian kemarin ia sangat sibuk. Ia sampai melupakan keberadaan ponselnya dan tidak ingat untuk memberi kabar jika dirinya tak bisa berangkat bekerja. “Surat itu baru diantar kemarin malam. Untungnya restoran belum tutup dan saya masih ada di sini,” imbuh Rangga lagi. “Kenapa kamu tidak menelepon
Naomi mengerjapkan matanya, khawatir salah mengenali orang. Namun, ia belum menghentikan langkah dan kian dekat jarak mereka, ia semakin yakin jika sosok yang berdiri di hadapannya adalah Alister. Apa yang lelaki itu lakukan di depan rumahnya? “Apa yang Tuan lakukan di sini?” Tanpa sadar Naomi menyuarakan isi kepalanya. Namun, ia tak berniat meralat karena dirinya memang sangat penasaran. Orang sekelas Alister tak mungkin memiliki urusan di tempat seperti ini. Terlebih, sekarang lelaki itu berada di depan rumah kontrakannya. Naomi benar-benar tak menyangka akan bertemu suaminya di sini. Awalnya, Naomi melihat sorot sangat tajam terpancar dari manik mata Alister. Akan tetapi, sepersekian detik kemudian tatapan lelaki itu berubah menjadi datar seperti biasanya. Tanpa menanggapi pertanyaannya, Alister berjalan melewatinya begitu saja. “Aku ada urusan di sini dan itu bukan urusanmu!” balas Alister datar. “Ayo pulang!” Semburat kemerahan muncul di wajah Naomi. Ia malu sendiri k
Dalam tidurnya, Naomi mengerutkan kening ketika merasa ada sesuatu yang menindih perutnya. Ia mencoba bergerak, namun seperti ada yang menahan pergerakannya. Akhirnya, matanya terbuka perlahan. Wanita itu melihat ke bawah untuk mengetahui apa yang menindih perutnya. Ia nyaris memekik kaget, namun untungnya ia dapat segera mengendalikan diri. Sebuah lengan kekar melingkari perutnya. Naomi tahu siapa pemiliknya. Akan tetapi, ia tak pernah tidur dengan lawan jenis sebelumnya. Bahkan, setelah malam pernikahannya dengan Alister, lelaki itu langsung pergi meninggalkannya setelah mendapat telepon dari Amara. Semalam, Alister dan Naomi benar-benar menginap di rumah kontrakan Naomi. Tidur berdua di ranjang sempit wanita itu. Dan mungkin karena terbawa suasana, semalam mereka kembali melakukan ‘itu’. Wajah Naomi terrasa2 memanas saat mengingatnya. “Kenapa pikiranku jadi seperti ini?” gumam Naomi merutuki otaknya yang berpikiran macam-macam. Perlahan-lahan, Naomi menoleh ke belakang. Waja
“Kenapa kamu menatapku seperti melihat hantu?” sindir Alister sinis. Naomi mengerjap pelan seraya kembali menetralkan ekspresinya. Ia sangat terkejut melihat Alister berada di mobil yang biasanya mengantar jemput dirinya. Seingatnya, lelaki itu hanya mampir sebentar ke restoran di siang hari dan setelahnya kembali pergi. “Maaf. Aku hanya terkejut,” jawab Naomi seraya memasuki mobil dan duduk di samping lelaki itu. Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dengan kecepatan normal. Alister tidak merespon lagi dan langsung fokus dengan ponsel di tangannya. Sedangkan Naomi sibuk memilih menatap pemandangan di sekitarnya untuk menghindari kecanggungan. Biasanya Naomi hanya duduk seorang diri di bangku belakang dan itu terasa lebih nyaman. Keberadaan Alister membuatnya merasa diawasi. Padahal sebenarnya sedari tadi lelaki itu masih menatap ponsel tanpa mengalihkan pandangan sama sekali. Naomi yang sudah kebosanan mulai mengantuk. Namun, ketika menyadari jika jalanan yang dilaluinya b
“Aku tidak menyangka ternyata dia mengajakmu.” Amara kembali bersuara sembari menatap Naomi yang diam membisu di hadapannya. Alih-alih menanggapi kata-kata Amara, Naomi malah sibuk menelisik penampilan wanita di hadapannya ini. Riasan tebal menghiasi wajah Amara seperti biasa. Namun ada yang sedikit berbeda. Pakaian wanita itu tampak lebih mewah dari yang pernah ia lihat. Seolah-olah Amara akan menghadiri pesta. Sejak pernikahannya dengan Alister berlangsung, ini adalah kali pertama Naomi berhadapan dengan Amara lagi. Wanita ini mengabaikannya begitu saja setelah dirinya menikah dengan Alister. Berulang kali dirinya berusaha menghubungi Amara namun tak ada respon sama sekali hingga akhirnya ia bosan melakukannya. “Kenapa diam? Alister ada di dalam atau tidak?” Karena Naomi tak kunjung menjawab, Amara kembali membuka suara dengan alis menukik. Wanita bergaun hitam dengan potongan cukup terbuka itu melipat kedua tangan di depan dada. Tampak tak sabar menunggu jawaban Naomi. “Eh? Iya
“Apa?! Kenapa mendadak sekali?” pekik Naomi spontan karena terkejut. “Mohon maaf untuk itu. Tapi, Tuan Alister ingin Nyonya bersiap sekarang. Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Setelah waktu makan siang nanti, saya akan kembali dan menjemput Nyonya. Saya permisi,” jawab Romi seraya pamit undur diri dan pergi dari sana. Naomi menatap kepergian Romi sembari menggerutu kesal. Bukan karena kesal pada lelaki itu, namun pada orang yang memerintah Romi untuk menemuinya. Sepertinya Alister hanya ingin mengerjainya dengan memaksanya ikut namun lebih banyak meninggalkannya. Bukannya kembali ke kamar untuk berkemas, Naomi malah melanjutkan langkah dan pergi keluar kawasan hotel. Kemarin, ia menemukan sebuah kedai makanan yang tidak terlalu mewah di dekat sini. Naomi memutuskan pergi ke sana untuk sarapan. Naomi sengaja memilih meja paling pojok yang berdekatan dengan jendela agar dapat menikmati pemandangan di luar. Ia hanya memesan sepiring sandwich dan secangkir cokelat hangat. Pesananny
Seperti biasanya, Naomi memang tidak terlalu memperhatikan wajah pengunjung restoran ketika mencatat ataupun mengantar pesanan mereka. Ia tidak menyadari jika lelaki di hadapannya adalah orang yang sama dengan orang yang ia temui kemarin di kedai roti itu. Naomi hanya menyunggingkan senyum tipis setelah menetralkam keterkejutannya tanpa menanggapi kata-kata Raga. Kemudian, meletakkan seluruh pesanan Raga di meja dengan hati-hati. Lelaki itu hanya memesan secangkir kopi dan sepotong lemon cake. “Ternyata kita tinggal di kota yang sama? Kebetulan sekali,” tutur Raga yang kembali membuka pembicaraan. “Aku baru tahu kamu bekerja di sini. Padahal sebelumnya aku sering berkunjung ke sini dan sepertinya aku belum pernah melihatmu.” “Mungkin saat Tuan berkunjung, aku sedang berada di tempat lain,” jawab Naomi seraya kembali menegakkan tubuhnya dan memeluk nampan yang ia bawa. “Apa kamu ada waktu luang? Mungkin kamu bersedia menemani salah satu pelanggan setia ini?” balas Raga dengan sen
Naomi pikir Kelvin lah yang mendatanginya. Ia nyaris mengiyakan tawaran tersebut. Namun, ketika ia mengangkat kepala, bukan lelaki itu yang berada di depannya. Melainkan sosok yang belakangan ini seolah selalu berada di sekelilingnya—Raga. Naomi hanya mengenal Raga se lewat. Ia tidak mungkin mengiyakan tawaran lelaki itu sekalipun benar-benar membutuhkan bantuan. “Tidak perlu, terima kasih. Aku sedang menunggu jemputan.”“Aku tahu kamu sedang buru-buru. Aku hanya menawarkan bantuan kalau kamu mau. Tenang saja, aku bukan orang jahat,” jawab Raga yang masih mempertahankan senyuman di wajahnya. “Sekarang sudah larut malam, agak sulit mencari kendaraan umum.”Naomi mulai tertarik dengan tawaran Raga meski hatinya masih ragu. “Bisakah kamu mengantarku ke rumah sakit?” Pada akhirnya, ia memilih menekan keraguannya dan menerima tawaran lelaki itu daripada harus menunggu lebih lama lagi. “Oke, aku ambil mobilku dulu,” jawab Raga seraya berlari kembali ke restoran. Tak berselang lama, lelaki
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali