“Aku tidak menyangka ternyata dia mengajakmu.” Amara kembali bersuara sembari menatap Naomi yang diam membisu di hadapannya. Alih-alih menanggapi kata-kata Amara, Naomi malah sibuk menelisik penampilan wanita di hadapannya ini. Riasan tebal menghiasi wajah Amara seperti biasa. Namun ada yang sedikit berbeda. Pakaian wanita itu tampak lebih mewah dari yang pernah ia lihat. Seolah-olah Amara akan menghadiri pesta. Sejak pernikahannya dengan Alister berlangsung, ini adalah kali pertama Naomi berhadapan dengan Amara lagi. Wanita ini mengabaikannya begitu saja setelah dirinya menikah dengan Alister. Berulang kali dirinya berusaha menghubungi Amara namun tak ada respon sama sekali hingga akhirnya ia bosan melakukannya. “Kenapa diam? Alister ada di dalam atau tidak?” Karena Naomi tak kunjung menjawab, Amara kembali membuka suara dengan alis menukik. Wanita bergaun hitam dengan potongan cukup terbuka itu melipat kedua tangan di depan dada. Tampak tak sabar menunggu jawaban Naomi. “Eh? Iya
“Apa?! Kenapa mendadak sekali?” pekik Naomi spontan karena terkejut. “Mohon maaf untuk itu. Tapi, Tuan Alister ingin Nyonya bersiap sekarang. Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Setelah waktu makan siang nanti, saya akan kembali dan menjemput Nyonya. Saya permisi,” jawab Romi seraya pamit undur diri dan pergi dari sana. Naomi menatap kepergian Romi sembari menggerutu kesal. Bukan karena kesal pada lelaki itu, namun pada orang yang memerintah Romi untuk menemuinya. Sepertinya Alister hanya ingin mengerjainya dengan memaksanya ikut namun lebih banyak meninggalkannya. Bukannya kembali ke kamar untuk berkemas, Naomi malah melanjutkan langkah dan pergi keluar kawasan hotel. Kemarin, ia menemukan sebuah kedai makanan yang tidak terlalu mewah di dekat sini. Naomi memutuskan pergi ke sana untuk sarapan. Naomi sengaja memilih meja paling pojok yang berdekatan dengan jendela agar dapat menikmati pemandangan di luar. Ia hanya memesan sepiring sandwich dan secangkir cokelat hangat. Pesananny
Seperti biasanya, Naomi memang tidak terlalu memperhatikan wajah pengunjung restoran ketika mencatat ataupun mengantar pesanan mereka. Ia tidak menyadari jika lelaki di hadapannya adalah orang yang sama dengan orang yang ia temui kemarin di kedai roti itu. Naomi hanya menyunggingkan senyum tipis setelah menetralkam keterkejutannya tanpa menanggapi kata-kata Raga. Kemudian, meletakkan seluruh pesanan Raga di meja dengan hati-hati. Lelaki itu hanya memesan secangkir kopi dan sepotong lemon cake. “Ternyata kita tinggal di kota yang sama? Kebetulan sekali,” tutur Raga yang kembali membuka pembicaraan. “Aku baru tahu kamu bekerja di sini. Padahal sebelumnya aku sering berkunjung ke sini dan sepertinya aku belum pernah melihatmu.” “Mungkin saat Tuan berkunjung, aku sedang berada di tempat lain,” jawab Naomi seraya kembali menegakkan tubuhnya dan memeluk nampan yang ia bawa. “Apa kamu ada waktu luang? Mungkin kamu bersedia menemani salah satu pelanggan setia ini?” balas Raga dengan sen
Naomi pikir Kelvin lah yang mendatanginya. Ia nyaris mengiyakan tawaran tersebut. Namun, ketika ia mengangkat kepala, bukan lelaki itu yang berada di depannya. Melainkan sosok yang belakangan ini seolah selalu berada di sekelilingnya—Raga. Naomi hanya mengenal Raga se lewat. Ia tidak mungkin mengiyakan tawaran lelaki itu sekalipun benar-benar membutuhkan bantuan. “Tidak perlu, terima kasih. Aku sedang menunggu jemputan.”“Aku tahu kamu sedang buru-buru. Aku hanya menawarkan bantuan kalau kamu mau. Tenang saja, aku bukan orang jahat,” jawab Raga yang masih mempertahankan senyuman di wajahnya. “Sekarang sudah larut malam, agak sulit mencari kendaraan umum.”Naomi mulai tertarik dengan tawaran Raga meski hatinya masih ragu. “Bisakah kamu mengantarku ke rumah sakit?” Pada akhirnya, ia memilih menekan keraguannya dan menerima tawaran lelaki itu daripada harus menunggu lebih lama lagi. “Oke, aku ambil mobilku dulu,” jawab Raga seraya berlari kembali ke restoran. Tak berselang lama, lelaki
Manik mata Naomi membola sempurna, tak menyangka Raga akan berkata seperti itu pada Alister. Ia tidak tahu kedua orang itu saling mengenal. Dan lagi, dirinya dan Raga juga baru bertemu beberapa hari lalu. Bagaimana bisa lelaki itu meng-klaim dirinya sebagai calon kekasih? “Hanya calon kekasih? Apa yang perlu dibanggakan?” sahut Alister dengan sebelah alis terangkat. Lelaki itu tersenyum miring dan menatap Raga dengan sorot mencemooh. Namun, ketika bertatapan dengan Naomi, tatapannya berubah tajam. “Tapi, sebentar lagi akan menjadi kekasihku. Aku hanya ingin memperkenalkannya padamu. Bersiaplah, posisimu akan tergeser.” Raga menurunkan intonasi bicaranya saat mengatakan kalimat terakhir. “Ayo, Cantik. Lebih baik kita cari makanan enak.”Naomi semakin dibuat terkejut ketika Raga merangkul pundaknya. Ia pun hendak meralat omongan ngelantur lelaki itu, namun Raga sudah menariknya menjauh dari sana. Setelah sosok Alister tak terlihat lagi, Naomi langsung menyingkirkan tangan Raga dari pu
Sembari menggerutu, Naomi berusaha memindahkan tubuh besar Alister ke samping agar dirinya bisa bergerak. Dalam keadaan normal, ia tidak akan berani melakukan ini. Namun, sekarang Alister sedang setengah sadar dan tidak akan mengingat gerutuannya. Setelah berhasil memindahkan Alister ke sampingnya, Naomi langsung membuka selimut dan beranjak dari ranjang. Sekali lagi ia mengecek suhu tubuh Alister dengan menyentuh kening lelaki itu. Panas membara yang dirinya rasakan sebelumnya semakin terasa. Alister juga berkeringat sangat banyak hingga membasahi pakaiannya. “Kamu mau ke mana? Tidurlah!” titah Alister dengan suara serak, namun matanya tetap terpejam. “Aku tidak bisa membiarkan orang sakit di dekatku. Kalau terjadi sesuatu, aku pasti disalahkan!” jawab Naomi sebelum memutar langkah dan beranjak dari kamar. Bisa saja Naomi melanjutkan tidur tanpa memedulikan Alister. Namun, ia terbiasa merawat adiknya saat sakit dan itu membuatnya tak bisa mengacuhkan orang sakit. Terlebih Alis
Sebelum Naomi sempat bertanya, Alister sudah menariknya memasuki salah satu mobil lelaki itu. Romi sudah berada di bangku kemudi dan bersiap mengantarkan sang tuan ke tempat tujuan. Dan Naomi tak tahu mereka akan pergi ke mana. “Aku sudah baik-baik saja, kalau itu yang ingin kamu tahu,” tutur Alister memecah keheningan di mobilnya. Sedangkan matanya masih fokus menatap ponsel di tangannya. “Syukurlah kalau begitu,” jawab Naomi. Keheningan kembali tercipta setelah itu. Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat membelah jalanan. Naomi tidak mempertanyakan ke mana mereka akan pergi. Lagi pula bisa dipastikan jika Alister tidak akan menjawab dan dirinya pun memilih diam. Naomi pikir Alister akan mengajaknya ke luar kota lagi seperti waktu itu. Namun, ternyata mobil itu bergerak memasuki area rumah sakit dan berhenti di depan lobi rumah sakit itu. Rumah sakit ini adalah tempat adiknya dirawat, tempat di mana dirinya beberapa bertemu dengan Alister juga. Lamunan Naomi buyar ketika menyad
Terbangun seorang diri dengan ranjang dan penampilan yang berantakan bukanlah hal yang aneh lagi bagi Naomi. Tidak ada sapaan selamat pagi apalagi pelukan hangat. Pernikahannya ini sebatas simbiosis mutualisme, tidak lebih dari itu. Meskipun masih ingin melanjutkan tidurnya, ia memaksakan bangun agar tidak terus berkhayal memiliki kehidupan rumah tangga yang manis. Sebenarnya Naomi bekerja di shift 2 hari ini, namun Attar akan melakukan terapi pertamanya pagi ini. Setelah Naomi dan Alister pulang semalam, Romi mendatangi Naomi dan mengatakan sudah mendaftarkan Attar untuk menjalani terapi. Bahkan, agenda terapi untuk pemuda itu juga sudah tersedia. Padahal ia belum sempat mengatakan terkait terapi itu pada siapa pun. “Tuan Alister berpesan kalau Nyonya boleh menemani adik Nyonya di rumah sakit. Karena selama beberapa hari ke depan Tuan Alister berada di luar kota,” tutur supir yang biasa mengantar Naomi sembari membukakan pintu mobil untuk wanita itu. “Eh?” gumam Naomi yang
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu
“Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Apa gaji yang aku tawarkan kurang? Maksudku, kita bisa berdiskusi lagi. Bahkan, kamu belum mendapat gaji pertamamu,” tanya Raga spontan bahkan sebelum membaca surat pengunduran diri yang Naomi berikan. “Bukan. Bukan karena itu. Ini murni karena keputusan pribadiku,” jawab Naomi sembari menggeleng. Belum genap satu bulan bekerja, Naomi memilih mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena sekarang Naomi harus mengasuh Arkana. Jika dirinya masih bekerja, ia tidak mungkin memiliki waktu penuh untuk mengasuh putranya. Sebenarnya Naomi juga tidak mau melepas pekerjaan yang sudah membuatnya nyaman ini. Namun, dengan kondisinya saat ini tak memungkinkan untuk dipaksakan bekerja. Ia tahu penyerahan Arkana padanya juga salah satu cara Alister untuk membuatnya berhenti bekerja. “Sekarang aku harus mengasuh anakku juga. Aku tidak akan bisa membagi waktu untuk bekerja. Aku benar-benar minta maaf karena ini sangat mendadak. Terima kasih sudah memberiku k
Alister melangkah mendekati Naomi yang telah mengubah posisi menjadi duduk. “Aku tidak akan mengurus perceraian kita.”“Apa? Jangan gila, Tuan!” sahut Naomi spontan. Ekspresi santainya menghilang dan berganti dengan mimik kesal disertai tatapan tajam. Ucapan Alister membuat kantuk yang dirasakannya menghilang seketika. Matanya melotot tajam, benar-benar terkejut dengan kata-kata suaminya. Sedangkan sang tersangka yang berbicara seenak jidat kini memasang ekspresi datar tanpa beban. Naomi tak membahas persoalan itu lagi karena masih sibuk dengan Arkana. Namun, bukan berarti dirinya melupakan masalah tersebut. Bahkan, Naomi juga telah memikirkan jika dirinya harus mengajukan gugatan lebih dulu. Dan Alister malah berkata seperti ini padanya. “Tuan, kita sudah sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Hanya tinggal meresmikannya saja. Sekarang urusan Arkana sudah selesai, kurasa tidak ada alasan lagi untuk menunda. Kalau Tuan tidak sempat mengurusnya, biar aku saja yang mengajukannya,”