“Apa lagi yang kamu tunggu? Katanya mau buat anak?” Suara bariton itu membuat Naomi tersentak dari lamunannya. Wanita yang sedang duduk di ujung ranjang itu meremas ujung gaun putih sederhana yang melekat di tubuhnya. Ekspresi gugup bercampur panik tampak jelas di wajahnya pucat. Naomi tidak menyadari sejak kapan Alister—lelaki yang beberapa jam lalu resmi menjadi suaminya masuk ke kamar ini. Setelah melaksanakan pernikahan sederhana di sebuah gedung di dekat sini, Naomi langsung dibawa ke penthouse ini. Begitu sampai, pelayan langsung memintanya memasuki kamar ini. Ia tidak tahu Alister datang kemari juga karena mereka menumpangi mobil terpisah. Tetapi, tunggu dulu! Naomi merasa ada yang aneh dari kalimat yang diucapkan oleh lelaki di hadapannya. Yang Naomi tahu, ia hanya perlu menjadi ibu pengganti dari anak Alister dan Amara—istri pertama Alister. “Tu-an, apa maksud Anda? Bukankah aku hanya perlu menjadi ibu pengganti?” Naomi memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan
Naomi membeku di tempatnya berdiri. Manik hazelnya terbelalak mendengar nama familiar yang dilontarkan oleh sang manajer. Bersamaan dengan itu, Alister melenggang masuk ke restoran. Aura dominan menguar sangat pekat dari lelaki berparas bak dewa itu. Tak sengaja Naomi bertemu pandang dengan Alister yang kebetulan menatap dingin ke arahnya. Ia buru-buru mengalihkan pandangan. Naomi sedang berusaha menghindari lelaki itu untuk mengulur waktu, namun mereka malah bertemu di sini. Dan Alister malah menjadi bosnya! “Kuharap kalian bisa diajak bekerja sama dengan baik. Aku tidak mau ada yang tidak becus di sini,” ucap Alister dingin. Selepas perkenalan singkat tersebut, semuanya diminta melanjutkan kegiatan masing-masing. Alister langsung berkeliling dan memeriksa mereka. Beberapa dari mereka langsung mendapat ultimatum dari lelaki itu karena dianggap tidak becus. Suasana restoran pun memanas dalam sekejap. Sebisa mungkin, Naomi memilih mengerjakan sesuatu yang agak jauh dari Alister.
Deringan nyaring dari ponsel Alister sontak mengalihkan atensi Naomi dan Alister yang masih mengatur napas. Alister yang menyembunyikan wajahnya di tengkuk Naomi mengumpat pelan sebelum menarik diri dengan ekspresi terpaksa. Naomi spontan mengalihkan pandangan ketika dengan percaya dirinya Alister beranjak dari ranjang tanpa mengenakan apa pun. Alister bergerak cepat memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali. Alister yang telah selesai berpakaian kembali mendekati ranjang tanpa peduli dengan ponselnya yang masih meraung. Ia membungkuk di samping Naomi, lalu mengulurkan tangannya terulur untuk mengusap rambut wanita itu yang berantakan dan berkata, “Tidurlah.” “Halo, Amara? Ada apa?” sahut Alister sembari menempelkan ponselnya di samping telinga. Tanpa menoleh lagi, Alister melangkah keluar kamar. Lelaki itu fokus berbincang dengan Amara tanpa menyadari jika air muka Naomi sudah berubah drastis. Senyum miris tersungging di bibir Naomi bersamaan
“Ikut ke mana, Nyonya?” tanya Naomi bingung. “Jangan banyak bertanya! Cepat ganti pakaianmu dan ikut dengan saya!” titah Miranda sembari menyeret Naomi kembali ke kamar dan mendorong sang menantu masuk ke sana hingga nyaris terjerembab di lantai. Naomi spontan berpegangan pada tembok untuk menyeimbangkan diri. Sikap Miranda yang sangat kasar membuatnya mengelus dada. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu dari mertuanya sendiri. Jangankan kasih sayang, melihatnya pun seolah enggan. Sebenarnya, Naomi enggan mengikuti keinginan Miranda. Akan tetapi, jika dirinya menolak, wanita paruh baya itu pasti semakin membuat kekacauan. Alhasil, ia terpaksa kembali mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan karena tak ingin mencari masalah. Kepalanya sudah pening dengan masalah yang ada, ia tidak mau memancing masalah baru. Bahkan, sebelum Naomi selesai mengganti pakaian, Miranda sudah menggedor kamar itu dan berteriak tak sabaran. Naomi pun segera mempercepat gera
“Aku tidak mungkin lupa. Lagipula aku tidak terlambat, ‘kan?” sahut Alister menanggapi kalimat sang mama. Lelaki itu sedikit membungkuk dan memeluk mamanya sekilas seraya berucap, “Selamat ulang tahun, Ma. Kadonya tertinggal di mobil, aku sudah meminta pelayan mengambilnya.” “Mama tidak butuh kadonya! Yang penting kamu datang. Mama akan membatalkan pesta ini kalau kamu tidak datang. Ayo duduk, Mama akan menyapa para tamu dulu,” balas Miranda seraya memberi isyarat agar Aliater menempati kursi yang kosong, tepat di samping tempat duduknya. Seharusnya Naomi langsung beranjak pergi saja setelah mengetahui siapa yang datang. Namun, kakinya masih enggan beranjak. Ia spontan menunduk, menatap penampilannya sendiri. Pelayan yang menggunjingnya di dapur tadi benar, perbedaannya dengan Amara sangatlah kontras. Bahkan, di sini dirinya hanya dianggap pelayan dan berseragam sama seperti mereka. Sebelum membantu di dapur tadi, ia diminta mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan. Ketika Al
Mengabaikan kepanikan Naomi, Alister malah membuka jas hitam yang membalut tubuhnya. Melempar jas tersebut ke sisi ranjang yang kosong. Kemudian, mengendurkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Setelah itu, ia kembali menarik Naomi mendekat dan mengambil sesuatu di laci nakas. Semburat kemerahan kontan muncul di wajah Naomi setelah mengetahui apa yang ingin Alister lakukan. Ia segera mengenyahkan pikiran aneh yang sempat terlintas di kepalanya. Ternyata lelaki itu mengeluarkan kotak obat kecil dengan isi lengkap dari laci nakas. Namun, lebih mengejutkannya lagi, Alister malah langsung mengobati lukanya tanpa basa-basi. Naomi meringis pelan ketika luka lecet di kakinya terkena alkohol. Ia tidak tahu telapak kakinya terluka, perihnya pun baru terasa sekarang. Naomi hanya merasa kebas saja sedari tadi. Sepertinya kakinya terluka ketika memaksakan berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh.“Tuan, aku bisa mengobati lukaku sendiri.” Naomi berusaha menarik kakinya, namun Alister ma
“Eh? Bagaimana, Pak?” Naomi berbalik bertanya dengan wajah bingung. “Kamu ini bagaimana? Kamu yang sakit tapi kamu yang lupa?” sahut Rangga sembari berdecak. Lelaki itu membuka lagi meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop putih dari sana. “Kemarin ada yang datang dan memberikan surat doktermu.”Naomi mengambil amplop itu dan membukanya. Manik matanya membola sempurna melihat isi amplop tersebut. Ternyata Rangga tidak mengada-ada. Dalam surat dokter itu tertera namanya dan ada keterangan jika dirinya harus beristirahat selama dua hari. Yaitu kemarin dan hari ini. Entah siapa yang memberikan surat ini pada manajernya. Naomi tidak ke dokter apalagi meminta surat seperti ini. Jelas-jelas seharian kemarin ia sangat sibuk. Ia sampai melupakan keberadaan ponselnya dan tidak ingat untuk memberi kabar jika dirinya tak bisa berangkat bekerja. “Surat itu baru diantar kemarin malam. Untungnya restoran belum tutup dan saya masih ada di sini,” imbuh Rangga lagi. “Kenapa kamu tidak menelepon
Naomi mengerjapkan matanya, khawatir salah mengenali orang. Namun, ia belum menghentikan langkah dan kian dekat jarak mereka, ia semakin yakin jika sosok yang berdiri di hadapannya adalah Alister. Apa yang lelaki itu lakukan di depan rumahnya? “Apa yang Tuan lakukan di sini?” Tanpa sadar Naomi menyuarakan isi kepalanya. Namun, ia tak berniat meralat karena dirinya memang sangat penasaran. Orang sekelas Alister tak mungkin memiliki urusan di tempat seperti ini. Terlebih, sekarang lelaki itu berada di depan rumah kontrakannya. Naomi benar-benar tak menyangka akan bertemu suaminya di sini. Awalnya, Naomi melihat sorot sangat tajam terpancar dari manik mata Alister. Akan tetapi, sepersekian detik kemudian tatapan lelaki itu berubah menjadi datar seperti biasanya. Tanpa menanggapi pertanyaannya, Alister berjalan melewatinya begitu saja. “Aku ada urusan di sini dan itu bukan urusanmu!” balas Alister datar. “Ayo pulang!” Semburat kemerahan muncul di wajah Naomi. Ia malu sendiri k
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu