[Kamu temui saya sekarang atau saya yang menemui kamu!]Setelah panggilan dari nomor asing itu tiba-tiba terputus secara sepihak. Tiba-tiba muncul notifikasi pesan dari nomor yang sama. Suara familiar yang sempat Naomi dengar tadi membuatnya tahu jika sang penelpon adalah ibu dari Alister yang entah pantas disebut mertuanya atau tidak. Sepertinya orang-orang kaya itu begitu mudah mendapat nomor teleponnya. Dulu, orang-orang yang menghubunginya adalah orang-orang penuh ketenangan. Namun, sekarang bertambah juga dengan orang yang suka mengancam. Anehnya, Miranda juga dengan mudah mengetahui tempatnya berada. Naomi pikir tidak akan mendapat gangguan lagi dari Miranda. Namun, ternyata ia salah besar. Sebenarnya ia malas menemui Miranda yang pastinya hanya akan memperlakukannya sebagai pembantu. Namun, jika dirinya tidak patuh, wanita paruh baya itu pasti benar-benar mendatanginya. “Attar, maaf sekali sepertinya Kakak tidak bisa lama-lama di sini,” tutur Naomi pada sang adik. “Tadi bos
“Selamat, Tuan. Istri Anda sedang mengandung.”Dokter yang menangani Naomi tiba-tiba menjabat tangan Raga dan mengucap selamat atas kehamilan wanita itu. Raga yang belum mencerna keadaan spontan membalas uluran tangan dokter itu dengan ekspresi terkejut bukan main. Ternyata, wanita yang ia targetkan sudah menikah?Setelah tersadar dari keterkejutannya, Raga hendak meralat, “Tapi, Dok. Saya bukan—”“Aku suaminya.”Raga dan sang dokter spontan menoleh ke sumber suara. Menatap seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian kasual serba hitam lengkap dengan masker hitam yang baru datang. Raga menyipitkan matanya melihat sosok itu. Meski berpakaian misterius, ia tahu siapa yang berdiri di sana. Alister Hardikusuma. Tumbuh bersama sejak kecil membuat Raga dapat mengenali Alister dengan mudah. Penyamaran seperti ini tidak membuat lelaki itu sulit dikenali olehnya. Ekspresi Raga kontan berubah ketika bertemu pandang dengan Alister yang juga menatapnya tak kalah tajam. Mengabaikan tatapan Raga,
“Uhuk! Uhuk!” Kalimat yang Alister ucapkan membuat Naomi tersedak. Ia terbatuk hebat hingga air matanya keluar. Alister langsung berdiri dan mengambilkan segelas air untuknya. Setelah batuknya mereda, Alister membantunya minum perlahan-lahan. “Ck! Sudah kubilang hati-hati!” sembur Alister sembari meletakkan gelas air mineral yang isinya tinggal setengah di tempat semula. “Kenapa Tuan ingin aku berhenti bekerja? Bukannya sejak awal kita sudah sepakat kalau aku boleh tetap bekerja asal tidak ada yang tahu hubungan kita? Aku tidak mau berhenti bekerja!” protes Naomi yang menolak mentah-mentah keinginan Alister. Meskipun kebutuhannya sudah dipenuhi oleh Alister, tetap saja berhenti bekerja tidak semudah itu. Selain untuk menabung, bekerja juga dapat menghilangkan kejenuhannya. Ia terbiasa bekerja bahkan sejak masih bersekolah karena itu untuk menutupi biaya sekolahnya juga. “Kamu sedang hamil dan tidak boleh kelelahan. Memangnya apa lagi yang kamu butuhkan? Aku sudah memenuhi semua k
“Maksudku, tidur di kursi pasti tidak nyaman. Kemarin malam Tuan sudah tidur di kursi semalaman. Kalau Tuan tidak mau, mungkin lebih baik Tuan tidur di sofa saja.” Tatapan ambigu Alister membuat Naomi cepat-cepat meralat permintaannya. “Atau Tuan pulang saja. Aku sudah membaik dan ada banyak perawat yang bisa membantuku kalau aku memerlukan sesuatu,” imbuh Naomi lagi. Alister yang selalu marah-marah selama berada di sini menunjukkan jika lelaki itu keberatan menemaninya. Naomi tak ingin membebani orang lain. Apalagi jika orang itu merasa keberatan. Lebih baik ia mengurus dirinya sendiri. Lagipula dirinya tidak selemah itu. “Siapa kamu berani mengaturku?” sahut Alister dengan tangan terlipat di depan dada. Naomi berdeham pelan. “Aku hanya menawarkan saja. Kalau Tuan tidak mau juga tidak apa-apa.” Naomi kembali memejamkan mata. Seharusnya, ia tak perlu menawarkan apa pun pada lelaki itu. Toh, Alister tidak mungkin menerima tawarannya. Sebelum suasana hatinya semakin memburuk, le
Naomi spontan menarik tangannya ketika Attar hendak menyentuh tangannya. Gerakannya yang mendadak pasti membuat adiknya semakin curiga. Ia pun berdeham pelan, menutupi kegugupannya sekaligus menyembunyikan tangannya. “Bukan. Ini bukan karena infus. Aku sedikit terluka saat bekerja. Tapi, hanya luka kecil dan sudah hampir sembuh. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan,” elak Naomi sembari tertawa kecil. “Kamu mau mencoba ini? Ini enak sekali. Kamu pasti menyukainya.”Naomi berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menawari Attar makanan yang dibawanya. Ia tidak mau adiknya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ekspresi sang adik seakan menunjukkan jika pemuda itu tidak percaya padanya. “Benarkah?” tanya Attar lagi. Ia merasa luka itu mirip dengan bekas jarum infus, seperti yang ada di tangannya. “Iya. Mana mungkin Kakak diinfus? Kamu ada-ada saja. Ini hanya luka kecil. Sebentar lagi juga hilang,” balas Naomi sembari berpura-pura sibuk dengan makanan di depannya. Jika ia menatap adi
Naomi hanya ingin bergurau. Namun, melihat ekspresi Alister yang semakin menggelap membuatnya sadar telah salah bicara. Ia lupa kalau suaminya ini bukanlah orang yang bisa diajak bercanda. Ia pun berdeham pelan. “Emm ... lupakan saja. Aku hanya asal bicara.”“Apa maksudmu bertanya seperti itu?” Alister yang tadinya hendak menggendong Naomi ke ranjang mengurungkan niatnya. Ia membungkuk di depan Naomi dengan kedua tangan yang mencengkram kursi roda wanita itu. “Kamu merasa dia lebih baik dariku?!”Naomi mengerjapkan mata. Berjarak sedekat ini dengan Alister membuatnya kesulitan bernapas. Ia tak menyangka lelaki itu akan mempermasalahkan hal yang tidak penting seperti ini. “Emm ... itu ... aku hanya bercanda. Tidak usah dipikirkan, oke?”Alister semakin memangkas jarak dengan ekspresi tak bersahabat sama sekali. Kemudian, lelaki itu berbisik rendah di depan wajah istrinya. “Jangan pernah membandingkanku dengan siapa pun.”“I-iya,” jawab Naomi terbata. Naomi spontan menahan napas ketika
Senyum yang tersungging di bibir Naomi perlahan pudar karena bentakan Alister yang mengejutkannya. Ia spontan bergerak mundur tanpa sadar. Bentakan itu membuatnya sedih. Namun, ia berusaha terlihat baik-baik saja meskipun rasanya ingin menangis. Naomi meletakkan kue buatannya pada meja di sampingnya. Kemudian, menatap Alister dengan sorot datar. “Aku belum memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Tuan. Anggap saja ini sebagai balasan karena Tuan sudah menemaniku selama berada di rumah sakit.”Melihat respon Alister yang tidak sesuai ekspektasinya, Naomi agak menyesal telah membuatkan kue untuk lelaki itu. Tahu begini, lebih baik ia membuat kue untuk dirinya sendiri saja. Bisa-bisa lelaki itu akan menganggapnya ‘sangat perhatian’ sampai repot-repot membuat kue. Naomi pun tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia ingin membuatkan kue untuk Alister. Padahal ia tahu seberapa menyebalkannya lelaki itu. Atau mungkin ini karena pengaruh kehamilannya? Anaknya ingin membuatnya lebih perhatian pada
Entah mimpi apa dirinya semalam sampai mendapat kiriman uang sebanyak ini. Berulang kali Naomi menghitung jumlah angka nol di belakang angka lima. Ia pun sampai mengucek matanya, khawatir salah lihat. Namun, nominal yang tertera tetap tidak berubah. 50 juta! Naomi sampai mengecek kembali apakah benda pipih di tangannya ini benar-benar ponselnya atau bukan. Ponsel itu memang miliknya. Namun, entah bagaimana bisa ada yang mengirimnya uang sebanyak ini. Bahkan, gajinya sebulan pun tidak sampai 10% dari nominal yang masuk ke rekeningnya. Bukannya senang karena saldo rekeningnya membengkak, Naomi malah panik. Ia takut ada penjahat yang salah mentransfer uang dan nanti akan membuatnya terseret masalah. Namun, entah bagaimana caranya mengembalikan uang ini. Nama pengirimnya juga tidak jelas. “Atau aku lapor polisi saja ya? Sekarang ‘kan banyak modus kejahatan,” gumam Naomi yang masih panik. Ketika Naomi masih bergelut dengan pikirannya, ia dikejutkan oleh ponselnya yang berdering nyaring
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu