Naomi spontan menarik tangannya ketika Attar hendak menyentuh tangannya. Gerakannya yang mendadak pasti membuat adiknya semakin curiga. Ia pun berdeham pelan, menutupi kegugupannya sekaligus menyembunyikan tangannya. “Bukan. Ini bukan karena infus. Aku sedikit terluka saat bekerja. Tapi, hanya luka kecil dan sudah hampir sembuh. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan,” elak Naomi sembari tertawa kecil. “Kamu mau mencoba ini? Ini enak sekali. Kamu pasti menyukainya.”Naomi berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menawari Attar makanan yang dibawanya. Ia tidak mau adiknya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ekspresi sang adik seakan menunjukkan jika pemuda itu tidak percaya padanya. “Benarkah?” tanya Attar lagi. Ia merasa luka itu mirip dengan bekas jarum infus, seperti yang ada di tangannya. “Iya. Mana mungkin Kakak diinfus? Kamu ada-ada saja. Ini hanya luka kecil. Sebentar lagi juga hilang,” balas Naomi sembari berpura-pura sibuk dengan makanan di depannya. Jika ia menatap adi
Naomi hanya ingin bergurau. Namun, melihat ekspresi Alister yang semakin menggelap membuatnya sadar telah salah bicara. Ia lupa kalau suaminya ini bukanlah orang yang bisa diajak bercanda. Ia pun berdeham pelan. “Emm ... lupakan saja. Aku hanya asal bicara.”“Apa maksudmu bertanya seperti itu?” Alister yang tadinya hendak menggendong Naomi ke ranjang mengurungkan niatnya. Ia membungkuk di depan Naomi dengan kedua tangan yang mencengkram kursi roda wanita itu. “Kamu merasa dia lebih baik dariku?!”Naomi mengerjapkan mata. Berjarak sedekat ini dengan Alister membuatnya kesulitan bernapas. Ia tak menyangka lelaki itu akan mempermasalahkan hal yang tidak penting seperti ini. “Emm ... itu ... aku hanya bercanda. Tidak usah dipikirkan, oke?”Alister semakin memangkas jarak dengan ekspresi tak bersahabat sama sekali. Kemudian, lelaki itu berbisik rendah di depan wajah istrinya. “Jangan pernah membandingkanku dengan siapa pun.”“I-iya,” jawab Naomi terbata. Naomi spontan menahan napas ketika
Senyum yang tersungging di bibir Naomi perlahan pudar karena bentakan Alister yang mengejutkannya. Ia spontan bergerak mundur tanpa sadar. Bentakan itu membuatnya sedih. Namun, ia berusaha terlihat baik-baik saja meskipun rasanya ingin menangis. Naomi meletakkan kue buatannya pada meja di sampingnya. Kemudian, menatap Alister dengan sorot datar. “Aku belum memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Tuan. Anggap saja ini sebagai balasan karena Tuan sudah menemaniku selama berada di rumah sakit.”Melihat respon Alister yang tidak sesuai ekspektasinya, Naomi agak menyesal telah membuatkan kue untuk lelaki itu. Tahu begini, lebih baik ia membuat kue untuk dirinya sendiri saja. Bisa-bisa lelaki itu akan menganggapnya ‘sangat perhatian’ sampai repot-repot membuat kue. Naomi pun tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia ingin membuatkan kue untuk Alister. Padahal ia tahu seberapa menyebalkannya lelaki itu. Atau mungkin ini karena pengaruh kehamilannya? Anaknya ingin membuatnya lebih perhatian pada
Entah mimpi apa dirinya semalam sampai mendapat kiriman uang sebanyak ini. Berulang kali Naomi menghitung jumlah angka nol di belakang angka lima. Ia pun sampai mengucek matanya, khawatir salah lihat. Namun, nominal yang tertera tetap tidak berubah. 50 juta! Naomi sampai mengecek kembali apakah benda pipih di tangannya ini benar-benar ponselnya atau bukan. Ponsel itu memang miliknya. Namun, entah bagaimana bisa ada yang mengirimnya uang sebanyak ini. Bahkan, gajinya sebulan pun tidak sampai 10% dari nominal yang masuk ke rekeningnya. Bukannya senang karena saldo rekeningnya membengkak, Naomi malah panik. Ia takut ada penjahat yang salah mentransfer uang dan nanti akan membuatnya terseret masalah. Namun, entah bagaimana caranya mengembalikan uang ini. Nama pengirimnya juga tidak jelas. “Atau aku lapor polisi saja ya? Sekarang ‘kan banyak modus kejahatan,” gumam Naomi yang masih panik. Ketika Naomi masih bergelut dengan pikirannya, ia dikejutkan oleh ponselnya yang berdering nyaring
“Kebetulan kamu ada di sini, bisa kita bicara sebentar?” tutur Amara yang hanya melirik Naomi sekilas sebelum melangkah melewati wanita itu. “Aku—oke.”Tadinya Naomi hendak menolak karena ia harus segera pergi. Akan tetapi, sebelum ada izin dari Alister dirinya tidak akan diizinkan pergi ke mana pun. Akhirnya, ia memutuskan berbalik dan mengikuti langkah Amara yang kini sudah masuk ke kamarnya. Ketika Naomi menyusul masuk, Amara sedang memperhatikan isi kamar tersebut. Seolah baru pertama kali memasuki kamar ini. Atau mungkin, terakhir kali Amara datang, tatanan tempat ini tidak seperti yang sekarang. Tidak mungkin juga Amara belum pernah datang kemari. Setelah puas menelisik sekitarnya, Amara melangkah ke arah meja rias Naomi dan meletakkan tas mahalnya di atas meja. Kemudian, wanita itu duduk di bangku yang tersedia di depan meja rias. Sedangkan Naomi masih berdiri di depan pintu. “Kenapa masih berdiri di sana? Bukannya kamu baru keluar dari rumah sakit? Alister akan marah besa
Naomi yang sedang menutup pintu berjingkat kaget mendengar suara Attar. Ia sudah berusaha tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tahu begini, ia tidak akan masuk ke kamar adiknya lagi. “Kakak mau berangkat kerja. Kebetulan hari ini masuk shift malam.”Naomi tidak menemukan alasan lain yang lebih masuk akal dari ini. Meski alasan ini pasti menimbulkan banyak pertanyaan di benak Attar. Apalagi sekarang sudah nyaris tengah malam dan dirinya tidak pernah keluar rumah selarut ini sebelumnya. “Shift malam? Sejak kapan? Memangnya restoran itu buka 24 jam sekarang?” Attar mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. “Bukan di sana. Kakak bekerja di tempat lain juga.” Naomi kembali menambah kebohongannya. Ini baru awal. Entah bagaimana ke depannya. Naomi tidak bisa memprediksi akan sebanyak apa kebohongan yang dirinya lakukan di depan adiknya. Kebohongan yang membuatnya merasa bersalah setiap detiknya. Namun, tidak ada pilihan lain. “Kakak bekerja double demi pengobatanku?” Raut bersalah b
“Aku tahu kamu sudah bangun. Jangan pura-pura tidur.” Alister kembali berbisik di samping telinga Naomi seraya mengeratkan rengkuhannya. Naomi berdeham pelan. “Aku tidak pura-pura tidur kok. Tadi Tuan tanya apa?”Amara memintanya tidak mengatakan kedatangan wanita itu kemarin. Naomi pun tak berniat menceritakan kedatangan Amara sama sekali. Bukan karena ancaman yang wanita itu berikan padanya. Namun, menurutnya itu memang tidak penting. “Pura-pura tidak dengar, hm? Amara mengancammu?” tebak Alister tepat sasaran. Untuk kesekian kalinya, tebakan Alister sangat tepat sasaran. Lelaki itu mungkin mengetahui kedatangan Amara dari anak buahnya. Namun, tentang ancaman itu. Tidak ada yang tahu selain dirinya. Karena mereka berbicara di kamar dengan pintu tertutup rapat. “Mengancam apa? Tidak—huek!” Naomi langsung melepaskan diri dari rengkuhan Alister dan berlari ke toilet. Seperti biasa, morning sicknessnya kembali datang. Namun, sekarang waktunya sangat pas. Anaknya seolah ingin menyel
Pintu kamar Naomi terbuka dan muncullah Alister dari sana. Naomi terlonjak dan terdiam selama beberapa saat sebelum kembali menetralkan ekspresinya. [“Naomi, kamu sedang bersama siapa? Sepertinya barusan aku mendengar suara pria.”]Naomi kembali dikejutkan oleh suara Kelvin dari sebrang sana. Kedatangan Alister membuatnya hampir lupa jika sedang bertelepon dengan lelaki itu. Ia berdeham pelan sebelum menyahut. “Emm ... aku bersama Attar. Dia baru pulang dari rumah sakit.”Alister menutup pintu. Kemudian, berjalan mendekati Naomi dengan tatapan penuh makna yang terhunus pada wanita itu. Naomi yang salah tingkah karena tatapan Alister spontan mengalihkan pandangan untuk menutupi kegugupannya [“Oh, ternyata suara Attar. Kupikir kamu sedang bersama orang lain. Attar sudah pulang dari rumah sakit? Boleh aku bicara sebentar dengannya? Sudah lama kami tidak berbincang.”]Naomi merutuk dalam hati. Alasannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Ia berkata seperti itu agar Kelvin t
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu