“Kenapa kamu tidak meminta Kelvin-mu yang membuatkannya?” sahut Alister di luar dugaan Naomi. “Ke-kenapa—”“Kamu mengatakan Kelvin-mu itu sangat baik. Dia pasti bersedia mengabulkan permintaanmu,” jawab Alister dengan sorot datar. Lebih parah dari penolakan, Alister malah berkata demikian. Naomi mengerutkan keningnya heran. Tak mengerti mengapa Alister mendadak aneh seperti ini. Mungkin ini karena permintaannya terlalu berat. Dirinya pun terlalu naif. Berharap Alister akan mengabulkan permintaan anehnya. Naomi menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum kaku. “Maaf, kalau permintaanku terlalu berat. Tuan bisa melanjutkan istirahat lagi. Lupakan yang aku katakan barusan. Besok pagi aku akan meminta Bibi membuatkannya untukku.”Tak ingin merengek meski ada dorongan untuk melakukan itu, Naomi pun kembali berbaring dengan posisi membelakangi Alister. Ia kecewa, namun tidak mungkin juga memaksakan kehendaknya. Dirinya bukan orang penting yang harus dipenuhi keinginannya. Naomi kemba
“Ada apa, Kak?” tanya Attar khawatir. Pemuda itu baru menyadari jika Naomi tampak lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu. Naomi hanya menggeleng sembari menutup mulutnya. Wanita itu bergegas bangkit dan berlari ke toilet karena mual yang dirasakannya tak tertahankan. Saat bangun tidur, ia tidak merasa mual atau pusing sama sekali. Dirinya mengira morning sicknessnya tak akan kambuh hari ini. Sebelum berangkat, Naomi juga sudah memakan permen yang katanya dapat mengurangi mual ibu hamil. Namun, sepertinya permen itu tidak berguna. Kalau tahu morning sicknessnya akan kambuh. Ia tidak akan datang di pagi hari seperti ini. Hanya cairan bening yang Naomi muntahkan, seperti biasa. Namun, itu nyaris merampas separuh tenaganya. Ia berpegangan pada dinding toilet. Tak ingin terlihat lemah di depan Attar yang ia tahu sedang memperhatikannya dari pintu toilet. Setelah membaik, Naomi langsung mencuci mulut dan wajahnya. Kemudian, keluar dari toilet dan menyunggingkan senyum kaku. “Maaf
“Siapa yang bersamanya? Kenapa mereka sangat mesra?” batin Naomi. Ketika kedua insan yang seolah asyik dengan dunia mereka berdua itu bergerak menjauh, Naomi pun mengikuti. Tentu saja dengan jarak aman agar tidak ketahuan. Ia juga berpura-pura memilih beberapa produk sembari memperhatikan mereka dari kejauhan. Naomi yakin sosok wanita yang sedang bergelayut manja dengan pria itu adalah Amara. Ketika sang wanita menoleh ke samping beberapa kali, ia dapat mengenali wajah itu. Namun, tidak dengan sang pria yang menggunakan masker dan topi. Pria itu bukan Alister. Meski lelaki itu juga kerap menggunakan topi dan masker di keramaian, tetapi ia mengenali postur suaminya. Lagipula, Alister sedang menunggunya di mobil, tak mungkin lelaki itu tiba-tiba berada di sini dan malah bersama Amara. “Apa dia itu saudara Nyonya Amara?” Naomi kembali bergumam dalam hati sembari terus membuntuti Amara dan pria misterius itu. Akan tetapi, jika mereka bersaudara, sepertinya tak mungkin semesra itu. Ke
Alister langsung melepas rangkulan di pinggangnya dan itu membuat Naomi ingin kembali menarik kata-katanya. Ia sadar telah salah bicara dan membangunkan macan tidur. Namun, ketika wanita itu hendak mengatur jarak, Alister malah kembali menariknya. “Tempat ini milikku. Tidak ada bedanya aku ingin pulang ke mana,” jawab Alister masih dengan sorot tajam. “Emm ... aku tahu. Tapi, kalau Tuan berada di sini terus, bagaimana dengan Nyonya Amara? Nyonya Amara juga pasti ingin punya waktu lebih banyak bersama Tuan.” Meski takut mendapat amukan, Naomi tetap melanjutkan pembicaraan ini. Sebelah sudut bibir Alister terangkat membentuk senyum sinis. “Kamu tahu apa tentangnya? Kamu yang hamil, anakku lebih membutuhkan keberadaanku.”Alasan itu membuat hati Naomi menghangat. Sayangnya, ia harus menyadarkan diri jika perhatian Alister hanya tertuju pada anak dalam kandungannya. Bukan dirinya. Inilah salah satu alasan Naomi memberanikan untuk membahas persoalan ini. Ia tidak mau terlena akan perhat
Tangan Naomi nyaris terangkat, namun ia kontan menahannya. Jemarinya mengepal di sisi tubuhnya dan agak gemetar. Kedua netra hazelnya berkaca-kaca Naomi sungguh tak menyangka akan mendapat tuduhan seperti itu dari adiknya sendiri. Tuduhan Attar sangat melukai hatinya. Menusuk dalam dan meninggalkan luka menganga lebar. Sesak dan perih, itu yang dirasakannya sekarang. Namun, Naomi bahkan tak bisa menjelaskan apa pun. Tetapi, apa mungkin dirinya memang pantas mendapat tuduhan demikian? Atau malah lebih parah. Naomi menghela napas pelan, berusaha menetralkan sesak yang kini membelenggu dadanya. Ia tak mau terbawa emosi dan membuat permasalahan semakin runyam. Biar bagaimanapun ini salahnya dan Attar tidak tahu apa-apa. Wajar pemuda itu berpikir macam-macam. “Kenapa kamu bicara begitu?” Naomi bertanya dengan suara yang terdengar parau. “Kamu ... tega menuduh Kakak seperti itu?”Sorot mata Attar masih penuh emosi. Pemuda itu pun mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Ia menoleh pad
Naomi terlonjak dengan mata membulat sempurna. Menatap masakan yang susah payah ia buat tadi pagi sembari menahan mual itu, kini berserakan di lantai. Berikut juga dengan piring yang kini telah pecah. Penolakan kasar Attar membuatnya terkejut bukan main dan sedih di saat bersamaan. Naomi pikir, satu hari cukup untuk sedikit meredam amarah Attar. Itulah yang membuatnya semangat datang hari ini, bahkan berencana menginap. Ia ingin memperbaiki hubungan mereka yang kacau. Meski belum bisa menjelaskan. Wanita itu tidak tahan melakukan perang dingin dengan adiknya sendiri. “Pergilah, Kak! Suruh dua perawat itu pergi juga! Aku tidak membutuhkan mereka! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” usir Attar tanpa menatap Naomi. Tak peduli dengan kekacauan yang dibuatnya, pemuda itu hendak langsung beranjak pergi dari sana. Naomi buru-buru menahan kursi roda Attar dan berlutut di depan sang adik dengan sorot penuh permohonan. “Kenapa kamu jadi seperti ini? Apa kamu tidak mau mendengar penjelasan Kak
Wajah Naomi yang sudah pucat kini semakin pucat pasi. Wanita itu spontan menegakkan tubuhnya. Pandangannya yang berkunang-kunang pun seketika membulat sempurna. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat bersamaan dengan keringat dingin yang mulai muncul di pelipisnya. “Ti-tidak. Apa yang kamu bicarakan? Kakak tidak mengerti,” balas Naomi dengan senyum paksa. “Kakak hanya kurang sehat. Jadi, mudah masuk angin. Permisi, Kakak ingin mengambil minyak kayu putih.” Naomi hendak beranjak, namun Attar sengaja menghalanginya. “Masuk angin lagi? Apa sekarang Kakak masuk angin setiap hari? Sejak sebulan lalu, alasan itu yang Kakak pakai,” jawab Attar dingin. Naomi semakin gelagapan. Ia pikir Attar tidak akan seteliti ini karena pemuda itu masih sakit. Dirinya hanya asal beralasan agar tak banyak dicerca pertanyaan dari Attar. Dan sekarang alasan itu menjadi bumerang yang menghantam tepat ke dadanya. “Tubuh Kakak memang kurang fit. Kenapa kamu selalu menuduh Kakak macam-macam? Tolong buang jau
Naomi menatap Alister dengan sorot kosong dan lesu. Seperti kehilangan separuh hidupnya dan nyatanya memang seperti itu. Setelah ini, hubungannya dengan Attar tidak akan pernah sama lagi. Sekalipun sang adik dapat memaafkannya. Penampilan Naomi saat ini sangat berantakan. Mata merah dan membengkak. Wajah yang memucat juga rambut berantakan. Sama seperti hati dan pikirannya yang porak poranda. Dan mungkin baru akan pulih dalam waktu yang lama. “Ya. Aku akan membantumu. Lagipula dia masih marah. Dia tidak akan mau mendengarkan siapa pun,” ucap Alister sembari menangkup wajah Naomi. Alister telah mengganti pakaian formalnya yang basah oleh air mata Naomi dengan pakaian kasual. Sebab, lelaki itu tidak jadi berangkat bekerja. Meski seharusnya hari ini ia mengecek beberapa restorannya untuk mengecek kinerja bulanan. “Oke,” jawab Naomi lirih dan tak bertenaga. “Kamu belum sarapan, ‘kan? Aku akan mengambilkan sarapanmu,” tutur Alister seraya membimbing Naomi kembali berbaring dan menyeli
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu
“Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Apa gaji yang aku tawarkan kurang? Maksudku, kita bisa berdiskusi lagi. Bahkan, kamu belum mendapat gaji pertamamu,” tanya Raga spontan bahkan sebelum membaca surat pengunduran diri yang Naomi berikan. “Bukan. Bukan karena itu. Ini murni karena keputusan pribadiku,” jawab Naomi sembari menggeleng. Belum genap satu bulan bekerja, Naomi memilih mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena sekarang Naomi harus mengasuh Arkana. Jika dirinya masih bekerja, ia tidak mungkin memiliki waktu penuh untuk mengasuh putranya. Sebenarnya Naomi juga tidak mau melepas pekerjaan yang sudah membuatnya nyaman ini. Namun, dengan kondisinya saat ini tak memungkinkan untuk dipaksakan bekerja. Ia tahu penyerahan Arkana padanya juga salah satu cara Alister untuk membuatnya berhenti bekerja. “Sekarang aku harus mengasuh anakku juga. Aku tidak akan bisa membagi waktu untuk bekerja. Aku benar-benar minta maaf karena ini sangat mendadak. Terima kasih sudah memberiku k