“Ikut campur urusan Mas?” Sinar mengulangi ucapan Praba. Lelaki itu yang selama ini selalu meyakinkan dirinya jika semua hal akan baik-baik saja jika mereka bersama, sekarang justru mengatakan sesuatu yang bertolak belakang. Tentu saja hal itu membuat Sinar merasa tersinggung.“Aku ada banyak pekerjaan yang sedikit merepotkan.” Praba mencoba untuk menjelaskan kepada Sinar agar perempuan itu tidak salah paham. “Jadi, aku nggak mau kamu ikut terlibat dan membuat kamu kepikiran. Tidak ada hal lain selain itu.”Lelaki itu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai meskipun gemuruh di dalam hatinya tidak bisa dilenyapkan. Hal itu tak bisa membuat Sinar lantas percaya karena dia tahu bukan itu alasan yang sebenarnya kenapa Praba tiba-tiba saja berubah.Berbalik tanpa mengatakan apa pun, Sinar mengambil Askara dari box bayinya karena bayi itu sudah bangun. Dia segera mengAsihi putranya tersebut sebelum memandikannya. Gadis itu melakukan semuanya dengan hening tanpa bersuara.“Aku pergi dulu
“Hidup bahagia dengan keluarga kecil kita. Memangnya apalagi yang harus direncanakan?”Sinar menarik napasnya panjang mengingat ucapan Praba tempo hari. Dia berharap Praba tidak mengecewakan dirinya yang sudah memberikan kepercayaan penuh kepada lelaki itu. Sinar sudah lelah dengan segala drama yang pernah diciptakan oleh Talita. Sampai dia harus berubah menjadi ‘orang jahat’ untuk membalas perbuatan Talita kepadanya.Ngomong-ngomong tentang Talita, Sinar tidak lagi mendengar kabar apa pun dari perempuan itu. Praba tidak sekalipun menceritakan tentang Talita, dan Sinar juga tidak pernah bertanya atau membahas tentangnya.“Sin.” Sinar mendongak menatap Gina yang tampak sumringah karena kedatangan sahabatnya itu di restoran tempatnya bekerja. Tempat kerja Sinar juga di masa lalu.“Astaga, Sinar. Beneran kamu. Lama nggak ketemu.”Beberapa mantan rekan kerjanya yang dulu pun mendekat untuk menyapa. Bahkan chef restoran tersebut pun ikut menemui Sinar. Menyapa dengan ramah dan mengobrol se
Praba menatap Sinar yang berbaring di sampingnya dengan napas teratur. Sore sudah menggantikan siang, terik matahari pun sudah tidak sepanas beberapa jam yang lalu. Sesekali tatapan Praba mengarah keluar menatap hamparan langit yang luas dari tempatnya berbaring. Tangannya mengusap surai hitam milik Sinar yang terasa lembut di tangannya.Beberapa saat lalu dia sudah menghubungi suster untuk menanyakan keadaan Askara dan bayinya tidak rewel. Asi sudah tersedia di kulkas sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Kita pulang, Mas.” Masih dengan mata tertutup rapat, Sinar bergumam pelan. Tubuhnya terasa sakit luar biasa dan kaku di sana sini.Praba menarik Sinar dalam pelukannya. “Kita sekalian makan malam di sini. Setelah itu kita pulang.”Sinar tidak memberontak dan menyamankan di pelukan sang suami. Matanya dipenuhi oleh kantuk yang berat. Namun, dia juga teringat dengan Askara yang sudah seharian ini ditinggal. Oleh karena itu dia ingin segera pulang.Praba mengelus punggung polos
Sinar menatap Praba yang berdiri di sampingnya dengan senyum mengembang. Lelaki itu terlihat dalam mood yang baik. Jika Sinar boleh menebak, sepertinya ada sesuatu yang membuat lelaki itu bahagia. Namun, tidak bisa menebak sesuatu tersebut.“Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.” Sinar menghadap Praba dan menatap lelaki itu dengan lekat. “Mas menang tender atau apa?”Merangkul Sinar untuk masuk ke dalam rumah, mereka berjalan beriringan dengan kedua tangan Sinar memegang dua buket hadiah yang baru saja didapatkan dari Praba.Sampai di ruang keluarga, Sinar meletakkan kedua hadianya itu di atas meja sebelum lanjut ke dapur untuk mengambilkan minuman untuk sang suami. Duduk di samping Praba saat lelaki itu menenggak minuman yang dibawa, Sinar mengambil buket uang dan menghitungnya.“Dua puluh juta,” katanya.“Suka nggak? Lina yang merekomendasikan dan aku menerima usulannya.”“Nggak ada perempuan yang nggak suka dikasih uang.” Sinar mengedikkan bahunya tak acuh. “Aku akan menyimpannya.”
Sinar sadar dengan perubahan ekspresi yang ditunjukkan suaminya ketika perempuan yang baru datang ke ruangan tersebut duduk tepat di depan Praba. Sinar juga sadar bagaimana rahang Praba mengetat erat ketika tatapan matanya mengarah lurus pada Cantika.Tidak perlu seorang cenayang untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan ini. Sinar dengan mudah menangkap maksud orang tua Praba mengundangnya untuk makan malam.Ya, perempuan itu akhirnya kembali. Perempuan yang diakui Praba begitu dicintainya mungkin sampai saat itu.“Praba. Lama tidak bertemu.” Cantika mengulurkan tangannya di depan Praba untuk bersalaman. Lama tidak bertemu dan basa-basi seperti itu jelas dibutuhkan.Praba menerima uluran tangan Cantika tanpa berbicara apa pun. Namun, tatapannya masih mengarah lurus pada perempuan tersebut. Sinar tidak akan menginteruksi Praba dan membiarkan lelaki itu bersikap sesukanya. Dia hanya perlu melihat seberapa jauh Praba melangkah. Mempertahankan dia di sisinya, atau bahkan kembali
“Perempuan seperti dirimu tidak akan pernah mengerti perasaan perempuan lain. Karena kamu dengan bangganya mengambil suami orang dan membuat rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian.” Cindy mengatakan itu dengan terang-terangan.“Anggap saja begitu.” Sinar menjawab santai ucapan Cindy. “Bukankah sudah seharusnya hal itu terjadi? Rumah tangga yang tidak bahagia harus diakhiri. Apa Ibu pernah bertanya kepada Mas Praba tentang kebahagiaannya dalam rumah tangga?”Cindy menggeram karena pertanyaan Sinar itu seperti sebuah tikaman benda tajam di hatinya. Dia selama ini tidak pernah peduli dengan perasaan Praba karena yang penting adalah Praba mengikuti perintahnya dan itu sudah cukup.Sinar tersenyum mengejek. “Saya hanya membantu Mas Praba keluar dari perangkap yang tidak pernah menguntungkannya. Tapi, sekarang saya katakan dengan jelas. Saya tahu bagaimana kisah cinta Mas Praba dengan Mbak Cantika. Sebelum kehidupan kami seperti sekarang, Mas Praba sudah mengatakan semua tentang itu
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu sampai kapanpun,” jawab Praba setelah itu dengan atmosfer yang sudah memanas di sekitar mereka. “Kamu istriku dan akan tetap seperti itu.”“Lalu, Mas juga akan tetap bersama dengan Mbak Cantika? Mas pikir aku akan tetap bersedia menjadi istri Mas sedangkan Mas sendiri memasukkan perempuan lain dalam hubungan kita. Sorry, Mas. Aku nggak mau. Kalau Mas memang bahagia dengan Mbak Cantika, maka silakan Mas kembali dengannya.”“Bantu aku untuk bisa melewati ini, Sin.” Praba menggenggam tangan istrinya. “Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan berumah tangga denganmu yang artinya aku akan tetap melakukannya. Aku milih kamu.”Sinar mencari kebohongan dari tatapan Praba, dan dia tak menemukannya sama sekali. Itu artinya, Praba tidak sedang membual. Lalu apa itu artinya, Praba benar-benar serius ingin tetap bersamanya meskipun Cantika sudah kembali?“Aku tahu Cantika memang kembali. Tapi, ucapanmu menyadarkaku.” Praba menatap netra Sinar dengan sungguh-sungg
Sepajang makan pagi, Praba tampak cemberut dan sesekali menatap Sinar dengan tatapan tajam. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan tentang pertemuan istrinya itu dengan Arkana pun belum mendapatkan jawaban. Oleh karena itu, dia terlihat tidak senang.Hal berbeda ditunjukkan oleh Sinar yang begitu santai dan tampak begitu menikmati makannya. Hati Praba ternyata tak sekuat yang dibayangkan. Atau bahkan rasa cemburunya begitu besar.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sinar.” Praba mengekori Sinar yang naik ke lantai dua. Meminta Askara dari suster sebelum menimangnya penuh dengan kasih sayang. Askara sudah tampak setelah mandi, wangi bayi pun menguar dari tubuh putranya.“Coba ulangi lagi pertanyaan Mas tadi apa?” Sinar berpura-pura memancing Praba.Mereka kini tengah duduk di sofa di depan dinding kaca yang menjadi tempat terbaik bagi Sinar di rumahnya tersebut. Askara yang ada di gendongannya terlihat menggemaskan dengan sesekali menutup matanya.Helaan napas Praba itu terdengar, menunjukk