Sepajang makan pagi, Praba tampak cemberut dan sesekali menatap Sinar dengan tatapan tajam. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan tentang pertemuan istrinya itu dengan Arkana pun belum mendapatkan jawaban. Oleh karena itu, dia terlihat tidak senang.Hal berbeda ditunjukkan oleh Sinar yang begitu santai dan tampak begitu menikmati makannya. Hati Praba ternyata tak sekuat yang dibayangkan. Atau bahkan rasa cemburunya begitu besar.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sinar.” Praba mengekori Sinar yang naik ke lantai dua. Meminta Askara dari suster sebelum menimangnya penuh dengan kasih sayang. Askara sudah tampak setelah mandi, wangi bayi pun menguar dari tubuh putranya.“Coba ulangi lagi pertanyaan Mas tadi apa?” Sinar berpura-pura memancing Praba.Mereka kini tengah duduk di sofa di depan dinding kaca yang menjadi tempat terbaik bagi Sinar di rumahnya tersebut. Askara yang ada di gendongannya terlihat menggemaskan dengan sesekali menutup matanya.Helaan napas Praba itu terdengar, menunjukk
“Arkana itu adalah teman baiknya Talita, bisa saja pertemuan kalian sudah direkayasa.”Sinar yang baru saja keluar dari kamar mandi itu mengernyit aneh pada suaminya yang tiba-tiba. Pembahasan masalah Arkana tampaknya belum berakhir sehingga kini dilanjutkan. Atau mungkin lelaki itu tengah mencurigai sesuatu.“Mas curiga?”“Tentu saja aku curiga. Arkana tiba-tiba datang ke restoran yang sama dengan kita. Bisa jadi Papa dan Mama sudah merencanakan dengan Talita. Semua bisa terjadi, Sin.”Praba menatap istrinya dengan sungguh-sungguh dan dia seolah mempercayai dugaannya. Sinar masih santai mendengar dugaan Praba dan sedikit memikirkan itu. Dugaan itu bisa saja terjadi. Hanya saja, kenapa mereka harus melibatkan Arkana dalam masalah keluarga mereka?“Kalau Mas curiga, Mas hanya perlu cari tahu. Kalau pikiran Mas mereka ingin menjebakku dengan Arkana, aku yakin mereka nggak akan pernah bisa.”Sinar duduk di sofa sambil sesekali menatap Askara yang tengah berbaring di atas ranjang dengan t
Sinar berada di sebuah supermarket untuk berbelanja segala macam kebutuhan rumah selama satu bulan. Diikuti oleh salah satu Bibi dan tentu ‘pengawalnya’ yang selalu mengikutinya ke mana pun. Dua troli supermarket sudah penuh, tetapi Sinar masih sibuk memindai tatapannya pada display barang-barang yang akan dibelinya.“Apa saya perlu ambilkan troli lagi, Bu? Sepertinya masih ada banyak barang yang ingin dibeli.” Tanya Firman, si supir sekaligus pengawal. “Atau, Bibi antri untuk membayar biar Ibu saya temani.”Sinar tampak menimbang. Dia menatap dua troli penuh tersebut. Sudah bisa dipastikan akan membutuhkan waktu panjang untuk menghitung semua barang belanjaan tersebut.“Ya, sudah Bibi antri saja dulu. Masih ada banyak barang yang ingin saya beli.”Bibi mengangguk setuju. Dibantu oleh Firman menuju kasir, lalu Firman kembali dengan troli kosong.Kegiatan seperti ini selalu membuat Sinar merasa bahagia. Bisa keluar di sela-sela kesibukannya mengurus seorang bayi lucuya. Menjadi seorang
“Apa yang kamu bicarakan dengan Cantika?”Sinar baru saja masuk ke dalam ruangan Praba ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut Praba. Meletakkan kopi dan kue di atas meja sofa, Sinar memindai ruangan besar tersebut.Ini adalah pertama kalinya dia datang ke perusahaan Praba dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Dalam mimpi pun dia tak pernah membayangkan hal tersebut akan dirasakan.Berjalan mendekati dinding kaca, Sinar menatap keluar dan melemparkan atensinya ke luar ruangan. Pemandangan gedung-gedung tinggi terangkum di dalam netranya. Jalanan yang menampung kendaraan di bawah sana terlihat seperti sekumpulan semut yang tengah berbaris.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sayang.” Praba mendekati Sinar untuk mengejar jawaban dari sang istri. “Apa yang kamu bicarakan dengan Cantika?”Sinar mengalihkan tatapannya pada Praba dan mengelus dada Praba yang terlapis pakaian. “Nggak banyak yang kami bicarakan. Hanya say hai dan basa-basi.”“Dan kamu pikir aku akan percaya? Firman suda
“Penyakit adikmu sudah dalam tahap parah, Sinar. Akibat komplikasi, penanganan harus segera dilakukan terhadap organ tubuhnya sebelum kita bisa melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Perlu setidaknya 1 sampai 2 miliar untuk menuntaskan segalanya.”Mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi adiknya, mata Sinar terbelalak lebar.Semenjak kematian orang tuanya 7 tahun yang lalu, Sinar terbiasa hidup mandiri selagi merawat adik laki-laki satu-satunya, Surya. Dibantu dengan sejumlah peninggalan orang tua mereka, hidup Surya dan Sinar sangatlah cukup.Namun, setelah Surya didiagnosis memiliki penyakit Thalasemia bawaan, lambat laun uang peninggalan itu habis dan Sinar bahkan harus bekerja paruh waktu sembari kuliah untuk bisa bertahan hidup.Sekarang, dokter berkata penyakit adiknya semakin parah dan memerlukan setidaknya dua miliar untuk bisa ditangani? Sinar mau dapat dari mana uang sebanyak itu?Dengan air mata tertahan dan dada yang sesak, Sinar langsung bertanya, “Apa …
“Melahirkan anak untuk Ibu?” Sinar mengeluarkan suaranya dengan bergetar. Tatapannya tak lepas dari wajah cantik Talita. Otaknya terasa tak bisa diajak bekerja sama untuk mengurai segala macam penawaran Talita. Melahirkan anak untuk orang lain? Bagaimana mungkin? “Menjadi ibu pengganti, sewa rahim, atau apa pun itu sebutannya.” Talita kembali bersuara. “Dengan cara bayi tabung.” Sinar kali ini merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Kerja sama macam apa yang sedang ditawarkan oleh Talita kepadanya? Dia bahkan belum menikah dan belum memiliki anak. Dia belum tahu bagaimana rasanya hamil dan melahirkan. Lalu sekarang tiba-tiba seseorang menawar rahimnya dengan imbalan pengobatan adiknya. Tidak! Sinar tidak bisa melakukannya. Dia tahu kondisinya sekarang ada dalam masa ‘kritis’ dan membutuhkan bantuan, tetapi bukan jenis bantuan dengan harga semahal itu.Sinar menggeleng. “Maaf, Bu. Saya tidak bisa melakukannya.” Sinar menolak cepat. Dia menatap Talita dengan tegas menunjukkan ke
“Mas, ini adalah satu-satunya cara agar kita bisa punya anak.” Talita menarik tangan Praba kemudian digenggamnya. “Aku hanya ingin keluarga kita ….” “Lupakan!” Praba memutus ucapan Talita. “Saya tidak akan melakukannya.” Praba beranjak dari tempat duduknya, melepaskan genggaman tangan Talita dengan kasar sebelum dia pergi dari ruang tamu. Langkah kakinya tegap mengayun dengan pasti. Sinar hanya bisa terpaku di tempatnya dengan menahan napasnya. ‘Jadi, Talita belum mendiskusikan ini kepada suaminya sebelumnya?’ tanya Sinar di dalam hati. Tentu hal wajar ketika suami Talita menolak ide tersebut. Sinar benar-benar merasa hidupnya jungkir balik hanya dalam beberapa jam saja. Talita beranjak dari sofa mengejar sang suami. Meninggalkan Sinar yang masih tenggelam dengan pikirannya sendiri. Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja muncul dengan membawa minuman dan menyuguhkannya di depan Sinar.“Silakan minumannya, Mbak.” Sinar sempat kaget melihat keberadaan perempuan itu sebelum dia
“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya. “Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik. Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat. Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil. Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut. Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya. “Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman