“Apa yang kamu bicarakan dengan Cantika?”Sinar baru saja masuk ke dalam ruangan Praba ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut Praba. Meletakkan kopi dan kue di atas meja sofa, Sinar memindai ruangan besar tersebut.Ini adalah pertama kalinya dia datang ke perusahaan Praba dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Dalam mimpi pun dia tak pernah membayangkan hal tersebut akan dirasakan.Berjalan mendekati dinding kaca, Sinar menatap keluar dan melemparkan atensinya ke luar ruangan. Pemandangan gedung-gedung tinggi terangkum di dalam netranya. Jalanan yang menampung kendaraan di bawah sana terlihat seperti sekumpulan semut yang tengah berbaris.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sayang.” Praba mendekati Sinar untuk mengejar jawaban dari sang istri. “Apa yang kamu bicarakan dengan Cantika?”Sinar mengalihkan tatapannya pada Praba dan mengelus dada Praba yang terlapis pakaian. “Nggak banyak yang kami bicarakan. Hanya say hai dan basa-basi.”“Dan kamu pikir aku akan percaya? Firman suda
“Penyakit adikmu sudah dalam tahap parah, Sinar. Akibat komplikasi, penanganan harus segera dilakukan terhadap organ tubuhnya sebelum kita bisa melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Perlu setidaknya 1 sampai 2 miliar untuk menuntaskan segalanya.”Mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi adiknya, mata Sinar terbelalak lebar.Semenjak kematian orang tuanya 7 tahun yang lalu, Sinar terbiasa hidup mandiri selagi merawat adik laki-laki satu-satunya, Surya. Dibantu dengan sejumlah peninggalan orang tua mereka, hidup Surya dan Sinar sangatlah cukup.Namun, setelah Surya didiagnosis memiliki penyakit Thalasemia bawaan, lambat laun uang peninggalan itu habis dan Sinar bahkan harus bekerja paruh waktu sembari kuliah untuk bisa bertahan hidup.Sekarang, dokter berkata penyakit adiknya semakin parah dan memerlukan setidaknya dua miliar untuk bisa ditangani? Sinar mau dapat dari mana uang sebanyak itu?Dengan air mata tertahan dan dada yang sesak, Sinar langsung bertanya, “Apa …
“Melahirkan anak untuk Ibu?” Sinar mengeluarkan suaranya dengan bergetar. Tatapannya tak lepas dari wajah cantik Talita. Otaknya terasa tak bisa diajak bekerja sama untuk mengurai segala macam penawaran Talita. Melahirkan anak untuk orang lain? Bagaimana mungkin? “Menjadi ibu pengganti, sewa rahim, atau apa pun itu sebutannya.” Talita kembali bersuara. “Dengan cara bayi tabung.” Sinar kali ini merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Kerja sama macam apa yang sedang ditawarkan oleh Talita kepadanya? Dia bahkan belum menikah dan belum memiliki anak. Dia belum tahu bagaimana rasanya hamil dan melahirkan. Lalu sekarang tiba-tiba seseorang menawar rahimnya dengan imbalan pengobatan adiknya. Tidak! Sinar tidak bisa melakukannya. Dia tahu kondisinya sekarang ada dalam masa ‘kritis’ dan membutuhkan bantuan, tetapi bukan jenis bantuan dengan harga semahal itu.Sinar menggeleng. “Maaf, Bu. Saya tidak bisa melakukannya.” Sinar menolak cepat. Dia menatap Talita dengan tegas menunjukkan ke
“Mas, ini adalah satu-satunya cara agar kita bisa punya anak.” Talita menarik tangan Praba kemudian digenggamnya. “Aku hanya ingin keluarga kita ….” “Lupakan!” Praba memutus ucapan Talita. “Saya tidak akan melakukannya.” Praba beranjak dari tempat duduknya, melepaskan genggaman tangan Talita dengan kasar sebelum dia pergi dari ruang tamu. Langkah kakinya tegap mengayun dengan pasti. Sinar hanya bisa terpaku di tempatnya dengan menahan napasnya. ‘Jadi, Talita belum mendiskusikan ini kepada suaminya sebelumnya?’ tanya Sinar di dalam hati. Tentu hal wajar ketika suami Talita menolak ide tersebut. Sinar benar-benar merasa hidupnya jungkir balik hanya dalam beberapa jam saja. Talita beranjak dari sofa mengejar sang suami. Meninggalkan Sinar yang masih tenggelam dengan pikirannya sendiri. Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja muncul dengan membawa minuman dan menyuguhkannya di depan Sinar.“Silakan minumannya, Mbak.” Sinar sempat kaget melihat keberadaan perempuan itu sebelum dia
“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya. “Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik. Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat. Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil. Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut. Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya. “Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman
“Kamu ini bicara apa sih, Mas?” Talita mencoba menahan garis wajahnya agar tidak terlihat terganggu. “Aku memberimu izin menikah hanya untuk formalitas. Jadi, mari kita kerja sama.”Sinar kali ini sepertinya sudah tidak bisa lagi mengelak. Ya, keputusan memang ada padanya. Dia bisa menolak dan mengurungkan semua ide gila dan dia terbebas. Lantas apakah akan cukup sampai di sana? Tentu saja tidak. Talita bisa saja memilih orang lain untuk menganggantikannya.Lalu dia? Sinar justru yang akan kelimpungan mencari uang untuk sang adik. Sinar memantapkan pilihan dan keputusannya. Apa pun yang terjadi kedepannya nanti, dia sudah siap. Ini adalah keputusan yang akan diambil.Praba berdiri. Menjejalkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kalian atur saja kapan saya bisa menikah dengan Sinar.” Kali ini lelaki itu menatap Sinar penuh arti. “Dan saya harap kalian tidak pernah menyesalinya.”Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja meninggalkan dua perempuan tersebut di sana. Tidak lagi meno
“Bu Talita bilang, Ibu tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Memasak juga tidak boleh.” Setelah semalaman Sinar hanya sanggup tertidur sebentar, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan memulai masak. Sebagai cook helper yang sudah lama digelutinya, memasak adalah salah satu keahlian Sinar. Sinar bahkan memiliki keinginan suatu saat nanti dia mampu memiliki bisnisnya sendiri berupa rumah makan kecil-kecilan. Namun, dia harus menunda segala keinginan itu dan memfokuskan dirinya pada kehidupannya yang tengah dihadapinya. “Bibi nggak perlu khawatir. Masak itu bukan pekerjaan yang sulit.” Sinar tersenyum kecil menatap Bibi. “Bibi di sini saja, dan Bibi bisa bantu saya.” “Tapi, Bu. Saya takut kalau Bu Talita tahu dan marah. Biar saya saja yang masak.” “Tolong buatkan saya kopi.” Suara berat milik Praba itu menghentikan perdebatan Sinar dan Bibi. Mereka menatap secara serentak ke arah yang sama di mana Praba berada. Lelaki itu tampak segar dengan rambut basahnya. Praba dudu
“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. “Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. “Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebu