Sinar merasa aneh dengan tubuhnya selama beberapa hari ini. Ada rasa lelah yang tiba-tiba yang dia rasakan. Sinar tidak tahu kenapa, tetapi setelah dia melihat kalender di ponselnya, matanya terbelalak lebar.Dia seharusnya sudah mendapatkan tamu bulanannya. Namun, dia sudah telat. Dengan gerakan cepat, dia turun ke lantai bawah dan meminta siapa pun yang ada di rumah itu untuk membelikannya tespeck.Setelah dia mendapatkannya, dia kembali ke kamar dan mengeceknya. Garis dua di tespeck itu membuat tubuh Sinar lunglai seketika. Ini benar-benar diluar dugaannya karena dia sudah mewanti-wanti Praba jika dia tidak boleh hamil sebelum Askara dua tahun.“Mas Praba!” Sinar mengeluh sedikit kesal. Dia keluar dari kamar mandi, lalu mengambil ponselnya.Menguhubungi Praba tak peduli jika seandainya suaminya itu tengah meeting. Namun, ternyata panggilan itu diterima lebih cepat dari yang dibayangka oleh Sinar.“Mas harus tanggung jawab. Ini gimana ceritanya jadi begini coba? Aku udah bilang kala
Sinar benar-benar dinyatakan hamil anak kedua oleh seorang dokter. Kabar bahagia ini sungguh membuat Praba merasa kehidupannya begitu lengkap. Dibalik huru-hara masalah yang datang silih berganti, Tuhan memberikan selipan kebahagiaan yang indah.Praba yang menggendong Askara di depan dengan gendongannya itu tak lupa menggandeng tangan Sinar dengan erat. Kebahagiaan itu memancar di wajahnya.“Ingat kata dokter, kamu jangan kecapekan. Jangan juga malam-malam bangun hanya untuk memasak.”Sinar terkekeh mendengar ucapan Praba. Padahal dia tak selalu melakukan itu, tetapi Praba mengatakannya seolah itu rutin dilakukan oleh Sinar.“Aku mau makan di restoran Gina.” Sinar mengambil Askara dari gendongan Praba setelah mereka sampai di parkiran. Masuk ke dalam mobil, mereka segera pergi meninggalkan rumah sakit.“Mau kasih kabar baik kepada Gina?” tanya Praba setelah mereka sudah berada di perjalanan. “Atau jangan dulu. Setelah nanti mau diadakan syukuran aja.”Sinar belum lagi bertemu dengan G
“Ternyata, Mbak Sinar ini cukup serakah, ya? Bagaimana mungkin seorang perempuan menguasai anak dari perempuan lain?” balas Cantika.“Dia bukan serakah. Tapi melakukan hal yang benar.” Praba membalas ucapan Cantika. “Hak asuh Askara ada padaku. Sedangkan sekarang istriku adalah Sinar. Terlebih lagi, seperti yang Sinar bilang tadi, dia yang hamil dan melahirkan Askara, dan Askara tentu saja bergantung dengan Sinar. Kalau kamu tidak paham, lebih baik kamu tidak perlu berpendapat.”Cantika keki setengah mati mendengar ucapan Praba yang dilontarkan kepadanya. Maksud hati ingin membuat Sinar tersudut, tetapi dia salah langkah. Di sana ada Praba dan ternyata lelaki itu benar-benar melindungi istrinya dengan sangat baik.“Sepertinya Tante benar, kamu sudah banyak berubah, Praba.” Cantika kali ini menoleh menatap Praba. Menancapkan pandangannya pada wajah tampan lelaki yang dulu pernah ditinggalkannya. “Kamu tampak begitu mencintai istrimu begitu besar sampai lupa orang-orang di sekitarmu.”“
“Kalau ada apa-apa segera hubungi aku. Ada Firman di ruangan ini yang akan menjaga kalian,” pesan Praba sebelum dia keluar untuk menemui para tamu undangan dalam pestanya. Di belakangnya ada Dante yang menemaninya.“Orang tua Bapak juga datang bersama dengan Ibu Cantika.” Dante memberi tahukan kepada Praba saat mereka memasuki lift.Praba sudah menduga hal itu akan terjadi. Namun, dia hanya akan melihat apa yang akan terjadi nanti. Kalau memang Cantika berbuat ulah, dia tak akan segan untuk mengurusnya sampai akar.Dia sekarang tidak akan memeberikan belas kasihan kepada siapa pun yang akan membuat hidupnya berantakan. Tidak peduli itu adalah Cantika, perempuan yang dulu pernah dicintai setengah mati, tetapi dia tidak akan memberikan maaf jika ulahnya membuat rumah tangganya berantakan.Kedatangan Praba membuat para tamu undangan menatap ke arahnya. Dia segera menyapa mereka dengan formal dan berterima kasih karena sudah bersedia datang di pestanya. Memberikan sambutan di panggung kec
“Sudah. Saya baik-baik saja.” Cantika sedikit mendorong Lina agar perempuan itu menjauh. Dia memasang wajah muram dengan geramam tertahan. Tak hanya itu, Cindy pun tampak begitu kesal.“Kamu boleh pergi.” Cindy mengusir Lina setelah mereka sudah berada di sebuah ruangan. Lina yang hendak memberikan sebuah salep untuk Cantika itu pun urung.“Ibu yakin tidak ingin dibawa ke rumah sakit?” tanya Lina lagi untuk memastikan.“Tidak.” Cantika menolak tegas. Ekspresinya sudah dipenuhi rasa amarah yang seolah ingin meledak detik itu juga.“Lina!” Dimas yang baru masuk ke ruangan tersebut pun menghentikan Lina yang akan pergi dari ruangan.“Saya, Pak.” Lina menegakkan tubuhnya kembali dan menatap ke arah Dimas yang sekarang sudah duduk di sofa.“Saya tahu kamu tahu banyak tentang kehidupan Praba mengingat kamu sudah bekerja dengannya lama.” Dimas mengawali. Menumpukan kaki kanannya di kaki kirinya. Tatapanya mengarah lurus pada sosok Lina yang diam di tempatnya. “Apa yang kamu tahu tentang kehi
“Kita bisa nolak kalau memang kamu belum siap.” Praba tidak akan membujuk Sinar untuk membawa Askara menemui Talita kalau memang Sinar tidak siap.Bertemu dengan Talita, tentu saja akan mengusik ketenangan yang sudah mereka rajut sejak lama. Namun, mau tak mau Sinar memang harus mengakui jika Askara adalah darah daging Talita. Perempuan itu punya hak untuk bertemu dengan anaknya.Sejak tadi, Sinar hanya diam seolah ada kekhawatiran yang dirasakan di dalam hatinya. Padahal, dia sudah sah secara hukum jika dia analah ibunya. Nama ibu dalam akta lahir Askara pun atas nama dirinya.“Siap nggak siap kita tetap harus mempertemukan Talita dengan Askara, Mas.” Sinar menarik napas panjang. “Hubungi saja dia dan kita bisa bertemu denganya.”Mau ditutupi seberapa kerasnya, hal itu tetap tidak bisa. Baik Sinar dan Talita, keduanya memiliki peran yang kuat menjadi ibu Askara. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hanya saja, jika Talita ingin bertemu dengan Askara, Sinar berharap tidak be
Dalam bayangan Sinar, saat Askara sudah paham akan statusnya, entah itu lima atau bahkan enam tahun lagi, dia akan bergantian tinggal di rumahnya dan Talita. Mereka akan bergantian menjaga bocah itu. Ada kekhawatiran tentang banyak hal yang masuk ke dalam jiwa Sinar tentang hal tersebut.Tidak bisa dipungkiri, ketakutan Sinar kehilangan Askara jauh lebih besar dibandingkan ketakutan Sinar kehilangan Surya. Jika dia dulu begitu takut Surya meninggalkannya, sudah bisa dibayangkan betapa sekarang ketakutan itu berkali lipat banyaknya.“Aku lihat sejak tadi kamu melamun.” Praba mendekati Sinar yang tengah duduk di ruang baca. Di tangannya ada benang rajut yang sama sekali tidak diolah oleh Sinar karena si empunya sibuk berpikir jauh ke depan sana.“Mas udah selesai kerja?” tanya Sinar. Meletakkan rajutannya di atas meja dan fokus pada sang suami.“Kamu masih mengkhawatirkan tentang Talita?” Praba mengelus pipi Sinar yang terasa begitu lembut di tangan Praba. Satu tangannya yang bebas meny
“Dia Bima. Dia adalah sepupu Talita.” Tanpa diminta, Praba memberi tahu Sinar sosok yang tengah duduk berdampingan dengan Talita di salah satu meja.Pertemuan ini bukan kedua kalinya atau ketiga kalinya antara Askara dengan Talita. Ini sudah berjalan beberapa bulan bahkan perut Sinar sudah mulai terlihat membuncit dan Talita terkejut luar biasa. Untuk pertama kalinya, Talita menemui Sinar dengan membawa sepupunya yang tempo hari bertemu dengan Praba.Sinar mengangguk dan tidak berkomentar apa pun. Baginya, siapapun orang itu tidak ada hubungannya dengannya.“Firasatku benar. Sinar, kamu hamil?” Talita menatap Sinar dengan tatapan kecemburuan yang luar biasa.Jantungnya berdegup dengan kencang seolah baru saja melihat sesuatu yang menakutkan. Selama ini Sinar selalu mengenakan pakaian besar dan perutnya tidak terlihat membuncit. Sekarang, pakaian besar pun tidak lagi bisa menutupi perutnya.“Ya, saya hamil.” Sinar mengangguk dengan yakin.Jarak antara kehamilan Sinar dengan Askara hany
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k