Sinar menatap Praba yang berdiri di sampingnya dengan senyum mengembang. Lelaki itu terlihat dalam mood yang baik. Jika Sinar boleh menebak, sepertinya ada sesuatu yang membuat lelaki itu bahagia. Namun, tidak bisa menebak sesuatu tersebut.“Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.” Sinar menghadap Praba dan menatap lelaki itu dengan lekat. “Mas menang tender atau apa?”Merangkul Sinar untuk masuk ke dalam rumah, mereka berjalan beriringan dengan kedua tangan Sinar memegang dua buket hadiah yang baru saja didapatkan dari Praba.Sampai di ruang keluarga, Sinar meletakkan kedua hadianya itu di atas meja sebelum lanjut ke dapur untuk mengambilkan minuman untuk sang suami. Duduk di samping Praba saat lelaki itu menenggak minuman yang dibawa, Sinar mengambil buket uang dan menghitungnya.“Dua puluh juta,” katanya.“Suka nggak? Lina yang merekomendasikan dan aku menerima usulannya.”“Nggak ada perempuan yang nggak suka dikasih uang.” Sinar mengedikkan bahunya tak acuh. “Aku akan menyimpannya.”
Sinar sadar dengan perubahan ekspresi yang ditunjukkan suaminya ketika perempuan yang baru datang ke ruangan tersebut duduk tepat di depan Praba. Sinar juga sadar bagaimana rahang Praba mengetat erat ketika tatapan matanya mengarah lurus pada Cantika.Tidak perlu seorang cenayang untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan ini. Sinar dengan mudah menangkap maksud orang tua Praba mengundangnya untuk makan malam.Ya, perempuan itu akhirnya kembali. Perempuan yang diakui Praba begitu dicintainya mungkin sampai saat itu.“Praba. Lama tidak bertemu.” Cantika mengulurkan tangannya di depan Praba untuk bersalaman. Lama tidak bertemu dan basa-basi seperti itu jelas dibutuhkan.Praba menerima uluran tangan Cantika tanpa berbicara apa pun. Namun, tatapannya masih mengarah lurus pada perempuan tersebut. Sinar tidak akan menginteruksi Praba dan membiarkan lelaki itu bersikap sesukanya. Dia hanya perlu melihat seberapa jauh Praba melangkah. Mempertahankan dia di sisinya, atau bahkan kembali
“Perempuan seperti dirimu tidak akan pernah mengerti perasaan perempuan lain. Karena kamu dengan bangganya mengambil suami orang dan membuat rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian.” Cindy mengatakan itu dengan terang-terangan.“Anggap saja begitu.” Sinar menjawab santai ucapan Cindy. “Bukankah sudah seharusnya hal itu terjadi? Rumah tangga yang tidak bahagia harus diakhiri. Apa Ibu pernah bertanya kepada Mas Praba tentang kebahagiaannya dalam rumah tangga?”Cindy menggeram karena pertanyaan Sinar itu seperti sebuah tikaman benda tajam di hatinya. Dia selama ini tidak pernah peduli dengan perasaan Praba karena yang penting adalah Praba mengikuti perintahnya dan itu sudah cukup.Sinar tersenyum mengejek. “Saya hanya membantu Mas Praba keluar dari perangkap yang tidak pernah menguntungkannya. Tapi, sekarang saya katakan dengan jelas. Saya tahu bagaimana kisah cinta Mas Praba dengan Mbak Cantika. Sebelum kehidupan kami seperti sekarang, Mas Praba sudah mengatakan semua tentang itu
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu sampai kapanpun,” jawab Praba setelah itu dengan atmosfer yang sudah memanas di sekitar mereka. “Kamu istriku dan akan tetap seperti itu.”“Lalu, Mas juga akan tetap bersama dengan Mbak Cantika? Mas pikir aku akan tetap bersedia menjadi istri Mas sedangkan Mas sendiri memasukkan perempuan lain dalam hubungan kita. Sorry, Mas. Aku nggak mau. Kalau Mas memang bahagia dengan Mbak Cantika, maka silakan Mas kembali dengannya.”“Bantu aku untuk bisa melewati ini, Sin.” Praba menggenggam tangan istrinya. “Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan berumah tangga denganmu yang artinya aku akan tetap melakukannya. Aku milih kamu.”Sinar mencari kebohongan dari tatapan Praba, dan dia tak menemukannya sama sekali. Itu artinya, Praba tidak sedang membual. Lalu apa itu artinya, Praba benar-benar serius ingin tetap bersamanya meskipun Cantika sudah kembali?“Aku tahu Cantika memang kembali. Tapi, ucapanmu menyadarkaku.” Praba menatap netra Sinar dengan sungguh-sungg
Sepajang makan pagi, Praba tampak cemberut dan sesekali menatap Sinar dengan tatapan tajam. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan tentang pertemuan istrinya itu dengan Arkana pun belum mendapatkan jawaban. Oleh karena itu, dia terlihat tidak senang.Hal berbeda ditunjukkan oleh Sinar yang begitu santai dan tampak begitu menikmati makannya. Hati Praba ternyata tak sekuat yang dibayangkan. Atau bahkan rasa cemburunya begitu besar.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sinar.” Praba mengekori Sinar yang naik ke lantai dua. Meminta Askara dari suster sebelum menimangnya penuh dengan kasih sayang. Askara sudah tampak setelah mandi, wangi bayi pun menguar dari tubuh putranya.“Coba ulangi lagi pertanyaan Mas tadi apa?” Sinar berpura-pura memancing Praba.Mereka kini tengah duduk di sofa di depan dinding kaca yang menjadi tempat terbaik bagi Sinar di rumahnya tersebut. Askara yang ada di gendongannya terlihat menggemaskan dengan sesekali menutup matanya.Helaan napas Praba itu terdengar, menunjukk
“Arkana itu adalah teman baiknya Talita, bisa saja pertemuan kalian sudah direkayasa.”Sinar yang baru saja keluar dari kamar mandi itu mengernyit aneh pada suaminya yang tiba-tiba. Pembahasan masalah Arkana tampaknya belum berakhir sehingga kini dilanjutkan. Atau mungkin lelaki itu tengah mencurigai sesuatu.“Mas curiga?”“Tentu saja aku curiga. Arkana tiba-tiba datang ke restoran yang sama dengan kita. Bisa jadi Papa dan Mama sudah merencanakan dengan Talita. Semua bisa terjadi, Sin.”Praba menatap istrinya dengan sungguh-sungguh dan dia seolah mempercayai dugaannya. Sinar masih santai mendengar dugaan Praba dan sedikit memikirkan itu. Dugaan itu bisa saja terjadi. Hanya saja, kenapa mereka harus melibatkan Arkana dalam masalah keluarga mereka?“Kalau Mas curiga, Mas hanya perlu cari tahu. Kalau pikiran Mas mereka ingin menjebakku dengan Arkana, aku yakin mereka nggak akan pernah bisa.”Sinar duduk di sofa sambil sesekali menatap Askara yang tengah berbaring di atas ranjang dengan t
Sinar berada di sebuah supermarket untuk berbelanja segala macam kebutuhan rumah selama satu bulan. Diikuti oleh salah satu Bibi dan tentu ‘pengawalnya’ yang selalu mengikutinya ke mana pun. Dua troli supermarket sudah penuh, tetapi Sinar masih sibuk memindai tatapannya pada display barang-barang yang akan dibelinya.“Apa saya perlu ambilkan troli lagi, Bu? Sepertinya masih ada banyak barang yang ingin dibeli.” Tanya Firman, si supir sekaligus pengawal. “Atau, Bibi antri untuk membayar biar Ibu saya temani.”Sinar tampak menimbang. Dia menatap dua troli penuh tersebut. Sudah bisa dipastikan akan membutuhkan waktu panjang untuk menghitung semua barang belanjaan tersebut.“Ya, sudah Bibi antri saja dulu. Masih ada banyak barang yang ingin saya beli.”Bibi mengangguk setuju. Dibantu oleh Firman menuju kasir, lalu Firman kembali dengan troli kosong.Kegiatan seperti ini selalu membuat Sinar merasa bahagia. Bisa keluar di sela-sela kesibukannya mengurus seorang bayi lucuya. Menjadi seorang
“Apa yang kamu bicarakan dengan Cantika?”Sinar baru saja masuk ke dalam ruangan Praba ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut Praba. Meletakkan kopi dan kue di atas meja sofa, Sinar memindai ruangan besar tersebut.Ini adalah pertama kalinya dia datang ke perusahaan Praba dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Dalam mimpi pun dia tak pernah membayangkan hal tersebut akan dirasakan.Berjalan mendekati dinding kaca, Sinar menatap keluar dan melemparkan atensinya ke luar ruangan. Pemandangan gedung-gedung tinggi terangkum di dalam netranya. Jalanan yang menampung kendaraan di bawah sana terlihat seperti sekumpulan semut yang tengah berbaris.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sayang.” Praba mendekati Sinar untuk mengejar jawaban dari sang istri. “Apa yang kamu bicarakan dengan Cantika?”Sinar mengalihkan tatapannya pada Praba dan mengelus dada Praba yang terlapis pakaian. “Nggak banyak yang kami bicarakan. Hanya say hai dan basa-basi.”“Dan kamu pikir aku akan percaya? Firman suda