“Tolong jangan laporkan saya ke polisi ...!” erang Camelina dengan isak tangis di wajahnya.
Namun, wanita dengan rambut agak bergelombang itu tidak memberi ampun. Ia terus menyeret Camelina keluar dari rumah seraya sesekali menampar wajah asisten rumah tangganya.
“Argh!” Ia memekik kesakitan dan refleks tangannya memegang pipi yang baru saja menerima tamparan itu. Urai air netra yang tiada habisnya, tetapi demi hidupnya ia tidak menyerah sekalipun sesak dalam dada serta mata yang mulai perih karena banyaknya air netra yang mengaliri pipi tanpa henti. ”Saya berjanji akan melakukan apapun!” rengek Camelina.
Amarah yang mengeraskan hati, membuat wanita itu tidak peduli atas segala kepedihan yang dirasakan Camelina, sekalipun air netra terus bercucur membasahi lantai dengan pipi yang sudah memerah agak lebam akibat berkali-kali ditampar oleh Sarah.
Perkataan Camelina saat itu rupanya malah berdampak besar pada hidupnya dan kini Berliana merasa senang sebab dirinya bisa mengambil keuntungan atas kejadian tersebut. “Sudah kuduga dia akan mengatakannya,” batin Berliana menyeringai sambil tangannya tampak tengah mengetikkan sesuatu di layar ponsel miliknya.
Tanpa berpikir panjang, Berliana segera menghampiri Camelina untuk menuntut janjinya itu. “Apa kamu yakin akan melakukan apapun?” balas Berliana dengan satu pertanyaan yang sungguh membuat Camelina berhenti terisak untuk beberapa saat.
Camelina memalingkan wajahnya ke arah Berliana. “Iya, Nyonya,” sahutnya dengan nada lirih. Setelah melihat keyakinan dalam mata Camelina, Berliana seolah langsung yakin pula untuk menjalankan rencana berikutnya.
“Sudah, lepaskan tangannya, biar aku yang urus!” perintah Berliana memberi peringatan keras terhadap menantunya itu. Lalu, Berliana menarik tangan Camelina pergi dari dekat pintu menuju Aderson. Camelina menoleh sebentar ke arah Sarah, dan langsung pergi.
Di hadapan Aderson, Berliana berkata lagi. “Kalau begitu, menikahlah dengan Anakku sekarang!”
Sontak, semua orang yang berada di sana langsung terhenyak kaget dibuatnya. Entah itu Camelina, Aderson bahkan Sarah yang masih berstatus sebagai istri Aderson itu sendiri.
Camelina menggelengkan kepala tidak percaya dengan apa yang dikatakan Berliana ketika itu. “Tidak, Nyonya! Saya memang berjanji akan melakukan apapun, tapi tidak dengan pernikahan mendadak begini. Terlebih lagi sa–...!” sanggah Camelina masih berusaha menahan tangis sampai bibirnya gemetar.
“Oh, jadi kamu menolak. Baik. Berarti kamu siap dengan konsekuensinya,” potong Berliana.
Camelina tersungkur di lantai dengan tangan memohon. “Apakah tidak ada pilihan lain lagi selain menikah dengan Tuan Aderson, Nyonya?” tawar Camelina.
“Tidak ada! Uang, jabatan, menantu sudah aku miliki! Kecuali cucu. Bertahun-tahun aku mendambakan seorang cucu, tapi menantuku tak kunjung mengandung dan kini aku sudah tidak bisa bersabar lagi. Tapi itu terserah padamu, jika ingin selamat, maka turutilah perintahku!” desaknya.
Camelina terdiam dengan mulut tergagap. Mulutnya sudah terbuka kecil, tetapi sang majikan dan kebingungan sekaligus ketakutan dalam dirinya seolah telah merenggut kesempatan bicaranya saat itu. Ia tidak bisa menyergah atau hanya sekadar berkata “Tidak.” Menolak seperti sebuah larangan bagi wanita lemah dan miskin seperti Camelina, layaknya robot yang diprogram untuk menuruti keinginan pemiilik, ia hanya diperbolehkan berkata “Ya” saja.
Hatinya bagai teriris pisau, ia merasa terluka ketika tak ada kesempatan untuk bicara. Hanya air mata kepedihan yang mampu menjelaskan semua yang dirasakannya kini.
Melihat suaminya sedari tadi diam, membuat Sarah langsung angkat bicara. Ia menghampiri Berliana sambil berucap. “Ma, kenapa membuat aku dimadu? Waktu itu Mama sudah berjanji untuk menjadikan aku sebagai menantu Mama satu-satunya, kenapa keputusannya sekarang malah begini!” tuntut Sarah dengan mata memerah – berkaca-kaca.
Berliana tersenyum tipis seraya menghampirinya sedikit, lalu memegang pipi Sarah berusaha memberikan pengertian kepada menantunya itu, bibirnya mulai menyalurkan apa yang isi kepala pikirkan sejak tadi. “Iya, Mama tahu. Tapi kita juga butuh penerus keluarga ini. Tenang saja, Mama lakukan semua ini untuk kebaikan kamu juga,” tuturnya. Kemudian Berliana mendekatkan mulutnya ke telinga Sarah, “Kita harus memanfaatkan keadaan ini, Nak. Setelah dia melahirkan, Mama akan membuat Aderson menceraikan Camelina sehingga kamu bisa mengakui anak itu sebagai anak kamu sekaligus cucu Mama juga. Kamu akan memiliki anak tanpa perlu bersusah payah untuk mengandung dan melahirkan. Bagaimanapun juga menantu Mama tetap kamu, sedangkan Camelina hanya alat saja buat kita,” bisiknya dengan penuh tipu muslihat yang tampak jelas dari sorot matanya, tetapi sayangnya Sarah tidak menyadari itu.
Kalimat penenang itu ternyata berhasil membuat Sarah luluh dalam rayuan mertuanya. Air netra yang sudah terbendung di sudut mata pun surut lenyap seketika. Sarah kembali merasakan hal menyenangkan di hati kala memikirkan keuntungan yang ditawarkan Berliana padanya. Ia coba percaya dengan itu.
Tak sampai di situ, Berliana juga merayu Anaknya agar mau menikah dengan Camelina. “Mama harap kamu juga setuju. Ingatlah kalau keturunan keluarga ini tidak boleh berhenti pada dirimu saja. Mama sudah tua begini .... Kamu tidak mau `kan kalau Mama jatuh sakit karena gak kesampaian memiliki cucu? Lagi pula, istri kamu juga sudah setuju untuk dimadu,” lirihnya dengan raut wajah memelas.
Usai berkata demikian, Aderson pun melihat ke arah Sarah seketika. “Baiklah. Saya ikuti mau Mama demi penerus keluarga!” sahut Aderson.
Jawaban Aderson cukup membuat Berliana merasa tenang karena berhasil menaklukkan tiga orang dalam rumah itu, sekaligus ia telah membuat Camelina begitu bersedih atas paksaan yang sangat merugikan dirinya.
Firhan yang merupakan ajudan pribadi Aderson, yang mana sejak tadi berdiri di sana dan menyaksikan kejadian itu pun langsung dipanggil oleh pria itu. “Firhan, kemarilah!”
Ajudan pribadinya langsung menghadap padanya saat itu juga. “Ya, Tuan. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda kali ini?”
“Kamu panggil penghulu ke sini sekarang!”
“Eittt ... tidak usah. Biar Mama saja yang melakukannya!” tungkas Berliana. Ia melangkah pergi dengan ponsel di tangannya yang seakan-akan hendak menghubungi penghulu. Padahal, pada kenyataan setelah Camelina menjanjikan sesuatu, ia langsung menghubungi pesuruhnya untuk memanggil penghulu lebih dulu.
Selang dua menit setelah Berliana kembali, tiga menit setelahnya penghulu itu datang.
“Itu dia!” tunjuk Berliana ke arah pintu.
Semuanya berkumpul pada satu tempat yang sama. Mereka duduk di lantai yang hanya beralaskan karpet tebal. Dengan hanya mengenakan rok plisket selutut dan kaos pendek, Camelina harus menikah dalam keadaan seperti itu. Pernikahan impiannya seolah langsung hancur begitu saja. Harapannya musnah untuk apa yang ia inginkan selama ini.
“Sudah siap?” tanya penghulu. Aderson pun mengangguk. Keduanya saling berjabatan tangan dan penghulu itu menuntun Aderson mengucap ijab kobul agar diikutinya.
Ketika akad pernikahan berlangsung pun air mata terus merembes keluar dari sepasang mata indahnya, namun tidak ada orang yang peduli.
“Kenapa aku malah menikah dengan pria ini? Kapan aku mendapat kebahagiaan? Mana kebahagiaan yang katanya datang selepas mengalami kesedihan yang panjang?” batin Camelina. Ada perasaan kecewa, sedih bahkan marah, semuanya menyatu padu membentuk dendam kecil dalam hatinya.
Usai akad, penghulu itu pergi dengan membawa amplop coklat tebal yang diberikan Berliana sebagai imbalan. Sedangkan Camelina, ia hanya bisa diam dengan segala rasa sakit menghantam dada yang begitu menyesakkan.
“Akad telah usai. Kamu sekarang telah sah menjadi istriku!’’
Setelah semuanya bubar dan hanya ia sendiri di tempat itu, Camelina yang sudah tak kuasa menahan rasa tersiksa dalam batinnya membuat dirinya kembali menguraikan air netra. Setiap tetesan kesedihan itu bahkan sampai membasahi bagian depannya.
Tak lama dari itu, Firhan datang menghampiri. Camelina menoleh, ia melihat sebuah berkas berwarna biru muda yang ada di tangan Ajudan pribadi Aderson, yang kemudian diletakkan di hadapan Camelina.
“Sekarang tanda tangani itu dan Tuan Aderson memintamu agar pergi ke kamarnya pukul delapan malam!” pinta Firhan.
Seketika tubuhnya terasa lemas, seolah tak ada lagi tenaga. Ia berjalan sedikit dan terduduk di lantai seraya melihat pantulan dirinya di lantai marmer yang bening mengkilat.
“Tolong tanda tangani ini dulu, Nona, jika anda ingin aman!” pinta ajudan pribadi Aderson dengan nada memaksa.
Camelina yang masih merasa sedih itu pun dengan tangan gemetar mengambil pulpen yang terdapat di atas berkas. Tanpa membacanya, ia langsung menandatangani kertas itu begitu saja. Pulpen itu segera ditaruhnya kembali, dan Firhan mengambil berkas itu. “Terima kasih untuk kerja samanya!” Kemudian Firhan pergi dari hadapan Camelina.
Tak lama setelah ajudan pribadi Aderson pergi, secara mendadak Camelina langsung dikagetkan dengan kedatangan istri pertama Aderson yang menghampirinya. Ia kembali harus merasakan jantung yang berdetak kencang gelisah tak karuan – intuisinya seolah memberitahu akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dan benar saja, Sarah langsung menarik rambut bagian belakangnya begitu saja tanpa alasan yang jelas. ”Setelah berhasil mencuri perhiasan, sekarang malah beraninya mencuri suamiku juga! Apa jangan-jangan kamu memang sengaja merencanakan hal ini sejak awal, wanita jalang!” tuduh istri pertama Aderson dengan ketus.Sekalipun di depan Berliana tamp
Dari tadi, ia terus mendengar Berliana yang tidak menyerah merayunya demi kepentingan dirinya sendiri, sedangkan dirinya hanya diam. Kini giliran Camelina yang dirasa perlu mengutarakan ketidaknyamanan mengenai situasi yang dirasakannya.“Ma, kalau tujuannya untuk memiliki anak dan merasa malu mengakui menantu seperti saya yang hanya orang miskin, kenapa tidak menikahkan Mas Aderson dengan wanita yang setara?” tanya Camelina dengan pandangan intens ke arah mertuanya.Berliana tersenyum. “Hal semacam itu tidak penting untuk dibahas. Yang terpenting kita bisa mendapat keuntungan masing-masing. Kamu terbebas dari hukuman itu dan saya bisa memiliki cucu.”Lagi-lagi, Camelina merasa menyesal dengan bibirnya yang sudah ia gunakan untuk bertanya pada orang yang sudah jelas-jelas pasti akan menyudutkan dirinya. Meskipun begitu dan apapun alasannya, tetap saja ia tidak bisa menolak.“Baiklah, kalau memang itu mau Mama.” Camelina beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Sed
Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini bersamanya – ia menggagahinya malam ini.Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya."Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa lagi diam dalam kesakitan."Kamu akan kulepaskan set
Beberapa wanita memasuki ruangan khusus yang telah disediakan dengan berbagai macam sajian yang terdapat di meja tamu. Tentu di tempat itu seperti biasa mereka saling memamerkan diri, saling menyanjung satu sama lain dengan segala kepalsuan yang terlontar keluar dari mulut manis mereka, bahkan terkadang membicarakan rumor yang beredar.Tetapi begitu Camelina memasuki ruangan itu dengan membawa buah semangka di piring lonjong yang telah dipotong-potong kecil berbentuk segitiga, suasana mendadak hening. Ini sungguh aneh bagi Berliana sekaligus Camelina itu sendiri, karena tidak biasanya teman-teman arisan Berliana begini. Pandangan mereka langsung terfokus pada penampilan Camelina saat itu. Lalu, tampak sedikit berbisik satu sama lain.”Hei, kalian lihat wanita itu? Apa kamu tidak salah informasi mengenainya?””Tidak. Selama ini aku tidak pernah salah kan dalam menyampaikan gosip terbaru.”Mereka yang menunjukkan jelas dengan saling berbisik satu sama lain membuat Camelina tidak nyaman
“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.“Baiklah kalau memang itu maumu.”Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hat
Malam tiba, saat ia hanyut dalam lamunannya. Namun itu tak bertahan lama, sebab berisik pintu dibuka dari arah luar membuatnya seketika tersentak, lalu menoleh dengan wajah datar. Raut mukanya seolah menyimpan sedikit tanya. `Siapa itu?` pikirnya, menelan ludah tegang.“Kamu ikut saya sekarang!” ajak Aderson, memasang wajah dingin.Camelina sudah tidak aneh lagi dengan ajakan itu. `Apa malam itu belum cukup menyiksaku sampai badanku sakit semua?` batinnya menerka sembari menghela nafas. Begitu Aderson ada di dekatnya, ia langsung bertanya, “Sampai kapan kita akan melakukan itu?” tanya Camelina.Sudah kedua kalinya Aderson mendapat pertanyaan yang serupa dari Camelina dan ia pun ingat pernah menjawabnya, menurutnya kali ini tidak perlu ia jawab lagi.“Gak usah banyak tanya!” jawab Aderson dengan ketus.`Padahal aku cuma tanya, kenapa jawabannya harus seketus itu? Memangnya pertanyaanku tadi itu salah?” umpatnya, pelan.Walaupun tampak tidak peduli, rupanya Aderson mendengarkan setia
Langkah kaki yang nyaris ambruk membuat Aderson antusias langsung menahan tubuh seorang pria tinggi dengan sedikit uban di bagian pinggir kepalanya. Pria itu menjatuhkan tentengan tas kecilnya dan berdalih memegang dadanya yang tampak menahan sesak. Orang-orang memanggilnya Fredy, walau nama sebenarnya adalah Frederick.“Ayo, Pa, biar aku bantu!” ujarnya dengan antusias.Uhuk, Uhuk!Berliana yang saat itu tak sengaja melihat ke arah luar karena ada suara orang batuk, yang setelah diperhatikan ternyata itu suaminya, membuat ia antusias menghampiri. “Papa kamu kenapa, Son?”Selama ini Frederick – suami Berliana selalu menyembunyikan penyakitnya, ia tak pernah mengatakan apapun pada keluarganya. Ia melakukan aktivitas seperti biasa, tanpa memperlihatkan sedikitpun mengenai gangguan kesehatan yang dialaminya.“Pa, darah.” Sedikit darah yang ada di telapak tangan Frederick membuat Aderson langsung cepat-cepat membawanya ke kamar. Ia memapah Ayahnya tanpa menggubris pertanyaan yang dilonta
Malam ini, di dalam kamar, Camelina termenung. Ia belum pergi keluar dari kamar mertuanya itu karena pikirnya bahwa ia pasti akan diperlukan untuk merawat Frederick. Saat itu Aderson dan Sarah sudah keluar dari kamar itu. Kini, hanya tinggal Camelina, Berliana dan Frederick.“Apa tujuannya sekarang? Kenapa mendadak baik dan membelaku?" pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala. Berliana menarik sedikit tangan Camelina untuk berbicara. Saat ini, Berliana merasa belum saatnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di rumah ini. Sebab, ia tidak mau membebani pikiran suaminya yang terbaring sakit."Ikut aku sebentar!" ucap Berliana dengan suara pelan. Ia menarik tangan menantunya yang ada di sana.“Beruntung kamu punya suami seperti putraku. Tapi jangan besar kepala dulu, tetap saja aku tidak akan membebaskan hutangmu itu padaku. Sampai kapanpun, selama bukan kamu yang menggantinya langsung dengan uangmu sendiri, kesalahan yang belum tertebus itu masih akan aku anggap utang!” ucap B
Seketika Aderson langsung menoleh ke arah Camelina dengan mata membelalak.Reaksi Aderson yang demikian pun membuat Camelina bertanya, "Kenapa, Mas?" "Tidak apa-apa. Kamu aneh!" celetuk Aderson. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain dengan wajah yang tampak tegang. Ekhem! Aderson mendeham."Kamu sudah makan?" tanyanya. Camelina menggelengkan kepala. "Saya tidak berniat untuk makan siang bersama. Kita bicara sebentar!" pinta Camelina. "Sambil makan saja."Aderson memarkirkan mobilnya di salah satu restoran yang ia miliki. "Ayo keluar! Saya sudah lapar. Kalau kamu bawa makan siang, saya gak bakal ajak kamu ke sini!""Kalau gak ikhlas, jangan saja. Saya 'kan datang ke kantor karena ada kepentingan," ungkap Camelina yang terus diam di dalam mobil sekalipun Aderson sudah membukakan pintu mobil untuknya."Cepatan!" sentak Aderson kepada Camelina.Aderson menarik tangan Camelina hingga membuat wanita itu mau tidak mau harus keluar dari mobil. "Tidak perlu menarik tangan saya.""Kamu beba
Resepsionis itu terus memperhatikan wajah Camelina yang bersembunyi di balik topi abu tua yang dipakainya. Sejak tadi Camelina juga terus menunduk karena tidak mau jika wajahnya sampai tersekspos ke media.“Maaf, tapi berdasarkan ketentuan yang ada di sini, yang belum ada janji dilarang bertemu Pak Aderson!” ucap resepsionis itu.Camelina terdiam sejenak mendengar jawaban itu. Isi kepalanya bekerja keras bagaimana agar dirinya bisa menemui Aderson.Saat resepsionis itu agak lengah, Camelina mencoba mengendap-endap pergi dari sana untuk menuju tangga mencari keberadaan Aderson. Namun, begitu resepsionis itu menyadarinya, Camelina langsung diberhentikan. “Kamu mau ke mana? Siapa yang mengizinkanmu masuk?!” ujar resepsionis itu menarik bagian belakang baju Camelina.Camelina berbalik dan kemudian berkata, "Kalau begitu izinkan saya bertemu Pak Aderson sebentar saja ...!" pinta Camelina. Ia bersikukuh dengan keinginannya tersebut. Setelah menyempatkan waktunya untuk datang ke tempat
Camelina yang merasa bahwa berbicara dengan Sarah tidak ada gunanya dan ini hanya membuang-buang waktunya.“Sarah, selama ini saya tidak ada urusan apapun sama kamu, jadi sebaiknya kamu diam!” tegas Camelina, ia memasang wajah serius.Tentu saja Sarah langsung mendengus kesal, karena posisinya yang jauh lebih penting di rumah itu seperti tidak dihargai. Ia merasa bahwa dirinya seperti direndahkan. “Heh! Semua yang berhubungan denganmu, urusannya denganku juga, karena tanpa ada izin dariku kamu tidak akan bisa menikah dengan suamiku!”“Sudah, Sarah. Kali ini biarkan kamu mundur selangkah. Yang membuat perjanjian itu bukan kamu melainkan aku!” pinta Berliana kepada Sarah.Sarah langsung menoleh dengan ternganga tak percaya. “Sungguh! Bagaimana bisa Ibu metuaku mendadak berkata begitu!” umpat Sarah dalam benaknya, bibirnya mengerucut dan matanya melirik ke arah Berliana.Berliana memejamkan matanya sejenak. “Ya sudah, kamu boleh keluar. Asal jangan lama-lama dan jangan keseringan ju
Dugaan Aderson langsung ke arah sana karena sebelumnya ia sempat melihat Camelina yang agak menekan perutnya dengan wajah yang tampak kesakitan. Melihat usia kandungan Camelina yang masih sangat muda dan pertama kalinya pula Camelina hamil, membuatnya khawatir terjadi sesuatu kepada janin yang di kandung istri keduanya.[Begini, Nak. Demi kebaikan calon cucu Mama. Bagaimana kalau kita carikan perawat pribadi yang bisa menjaga semua asupan gizi untuk janin itu?][Aku setuju sama Mama, tapi apa itu berbahaya bagi keluarga kita? Karena jika berani menghadirkan orang baru di lingkungan rumah kita, orang itu lama kelamaan pasti akan mengetahui apa yang selama ini disembunyikan. Sebaiknya sesekali panggil Dokter Ikhsan saja untuk memastikan kesehatan sekaligus mengatur pola makanannya!]Pada saat yang sama, Firhan mendatangi Aderson dan memberitahu. "Tuan, ada yang datang," ucap Firhan. Sontak, Aderson langsung menoleh ke arah pintu.Berliana terdiam sejenak mencerna perlahan apa yang di
“Sebelum kamu lanjut makan. Mama mau bicarakan sesuatu dulu sama kamu!”Saat Camelina tengah mengunyah, ia pun kemudian menaruh sendok dan garpu yang ada di tangannya. Ia mengambil air putih dan menenggaknya sedikit.“Masalah apa lagi yang dibuat Sarah kali ini? Kenapa dia tidak pernah bosan mengganggu kenyamananku?” batinnya.Antara siap dan tidak siap, ia mengambil nafas lalu membuangnya perlahan. Barulah ia bicara – menyahut permintaan Berliana sebelumnya.“Mau bicarakan soal apa, ya, Ma? Apa Mama mau saya masakkan buat sarapan juga?” tanya Camelina. Sekalipun intuisinya mengatakan bahwa Berliana tengah mencurigai sesuatu terhadapnya, tetapi ia malah mengusulkan pertanyaan lain yang menurutnya perlu ia katakan dibanding fokus pada apa yang ia pikirkan. Dibanding balas mencurigai, Camelina memancing Berliana agar segera mengatakan yang seharusnya.“Tadi kamu mendatangi Aderson? Buat apa? Apa kamu mau minta transfer padanya karena kamu belum mampu mengganti piring yang pecah?”
Camelina berjalan menuju samping rumah. Sengaja ia menggunakan jalan belakang karena menurutnya jika menggunakan jalan depan rumah maka tentu Sarah ataupun Berliana akan melihat dirinya.“Itu dia. Kamu pikir bisa lepas dari mataku? Tidak akan pernah aku biarkan kamu menjalankan rencana sendirian tanpa aku ketahui!” gumam Sarah seraya pergi.Saat itu, Camelina sama sekali tidak menyadari bahwa ada yang memantaunya sejak tadi. Ia hanya terfokus pada rencananya dan melihat ke depan rumah sekilas tanpa memperhatikan lebih jelas mengenai keberadaan istri pertama suaminya yang terus memata-matai.“Lebih baik sekarang aku langsung pergi ke kamar!” gumam Camelina seraya terburu-buru.Begitu Camelina membuka pintu belakang. Di sana ia langsung terhenyak kaget dan refleks menghentikan langkah kakinya saat melihat Sarah yang sudah berdiri di hadapannya dekat pintu dengan kedua tangan menyilang di dada. Sarah tersenyum sinis ke arahnya.Namun, Camelina menghiraukan Sarah dan kemudian melanjutka
“Tunggu, Tuan!” pinta Camelina. Aderson saat itu sungguh tidak menyangka jika ternyata Camelina sampai berani menyusulnya keluar rumah hanya untuk menemuinya. Sejak tadi – tepatnya ketika tengah berbicara dengan istri pertamanya, Camelina terus membuntuti karena ada hal yang menurutnya penting.“Mulai sekarang dan secara pribadi kamu tidak perlu memanggil saya `Tuan`, panggil saja sebagaimana seharusnya! Walaupun kontrak, tapi kita sudah menikah!” tegasnya.“Iya, Mas!” sahutnya seraya memejamkan matanya sejenak.Camelina celingak-celinguk untuk memastikan bahwa tidak ada Sarah atau bahkan Berliana yang memata-matai dirinya. Sebab ia tidak mau jika setelahnya malah dihujani dengan banyak pertanyaan yang bahkan tidak ada hubungannya dengan mereka sama sekali.“Kamu lihat-lihat apa?” Aderson yang menduga bahwa mungkin saja pembicaraan itu dengannya bersifat rahasia membuatnya langsung membuka pintu mobil dan kemudian menarik tangan Camelina sampai wanita itu jatuh tersungkur di paha
“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Berliana yang tampak sangat perhatian. Dokter pun sampai heran dibuatnya. Hanya saja, Camelina tak sedikitpun merasa senang, karena ia tahu bahwa Berliana bukan peduli padanya melainkan pada janin yang ada dalam kandungannya.Ia bisa merasakan, mana yang memang peduli dan mana yang memang hanya memanfaatkan dirinya saja demi kepentingan pribadi dengan dan bersikap di balik topeng kepura-puraan.“Dia tidak kenapa-kenapa. Hanya keram biasa saja, ini hanyalah hal normal yang biasa dirasakan oleh wanita hamil, Bu!” jelasnya dengan santai, memberi pengertian.Aderson yang mendengar hal itu pun tampak lega. Ia menoleh ke arah Camelina, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi bibirnya kelu hingga akhirnya memilih diam tanpa berkata apapun.Dokter Merry segera beranjak dari duduknya. Ia segera membereskan peralatan yang dikeluarkannya tadi. Melihat Dokter Merry yang beranjak pergi, membuat Berliana langsung menghampiri. Ia berdiri di d
Usai mencelupkan testpack itu ke dalam urin dalam wadah kecil. Lantas, ia pun mencoba melihat hasilnya.Bukan hanya Camelina yang awalnya merasa penasaran dengan hasilnya, tetapi semua orang yang ada di kamar itu. Mereka tampak tidak sabar, bahkan Berliana sudah mondar mandir di depan kamar mandi – terus menanti hasil yang diharapkannya tersebut.”Camelina, kamu sudah belum? Tahu `kan cara menggunakannya bagaimana?” seru Berliana dari arah luar.Pertanyaan yang terlontar keluar dari mulut Berliana saat itu membuatnya sontak menoleh ke arah pintu. Ia tidak menyahut tetapi bergegas keluar dari dalam kamar mandi.Begitu keluar, pandangan mereka langsung tertuju pada wajah Camelina. Saat itu Camelina hanya berjalan santai dengan wajah penuh keraguan.Ketika itu, bukan hanya Berliana, tetapi juga Sarah yang sangat penasaran dengan hasilnya. Sebab baginya, semakin cepat Camelina hamil semakin cepat pula melahirkan dan ia tidak akan merasa diduakan lagi. Meski sebelumnya Sarah teramat