Malam ini, di dalam kamar, Camelina termenung. Ia belum pergi keluar dari kamar mertuanya itu karena pikirnya bahwa ia pasti akan diperlukan untuk merawat Frederick. Saat itu Aderson dan Sarah sudah keluar dari kamar itu. Kini, hanya tinggal Camelina, Berliana dan Frederick.“Apa tujuannya sekarang? Kenapa mendadak baik dan membelaku?" pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala. Berliana menarik sedikit tangan Camelina untuk berbicara. Saat ini, Berliana merasa belum saatnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di rumah ini. Sebab, ia tidak mau membebani pikiran suaminya yang terbaring sakit."Ikut aku sebentar!" ucap Berliana dengan suara pelan. Ia menarik tangan menantunya yang ada di sana.“Beruntung kamu punya suami seperti putraku. Tapi jangan besar kepala dulu, tetap saja aku tidak akan membebaskan hutangmu itu padaku. Sampai kapanpun, selama bukan kamu yang menggantinya langsung dengan uangmu sendiri, kesalahan yang belum tertebus itu masih akan aku anggap utang!” ucap B
“Aku harus mencarinya. Di mana dia sekarang?” gumamnya seraya melangkah lebih cepat.Camelina berjalan keluar dari rumah itu pagi-pagi sekali. Sarah yang melihat hal itu menyimpan pertanyaan singkat dalam benaknya. “Kenapa dia berjalan keluar terburu-buru begitu? Ada apa dengannya?” gumam Sarah seraya mengernyitkan dahi. Ia berjalan keluar rumah untuk mengikuti, tetapi Berliana datang dan memanggilnya. Hal itu membuat dirinya kehilangan jejak Camelina.Camelina memang sengaja berjalan begitu cepat. Ia tidak mau jika ada banyak orang yang bertanya ke mana dirinya melangkah pergi.“Bisa luangkan waktu sebentar?” tanya Camelina. Ia berdiri di depan sebuah pavilliun ketika melihat Firhan – Ajudan pribadi Aderson yang baru keluar dari sana dengan pakaian rapi.“Ada apa datang kemari?””Mengenai kontrak yang ditandatangani waktu itu, bolehkan aku melihatnya lagi?” tanya Camelina.Firhan malah terdiam sejenak dan memperhatikan raut muka Camelina yang tampak sangat penasaran dan ingin
“Ada apa, Ma?” tanya Camelina kepada Berliana yang tampak tengah menunggu dirinya. Berliana berbalik ke arah suara itu berasal. ”Kamu ini pergi ke mana saja? Bukannya menyiapkan sarapan malah tidak ada.” “Segera, Ma. Saya akan segera menyiapkan semuanya.” Camelina tidak menunggu apapun lagi, ia pun kemudian berlari kecil menuju dapur dan langsung memasak untuk memasak sarapan pagi ini. Sesaat setelah Camelina melangkah pergi, Sarah pun kemudian berjalan menghampiri yang saat itu masih dalam keadaan berdiri di tempat yang sama. “Ma, sabar ya .... Dia itu memang sangat tidak berguna. Oh ya, ada yang mau aku bicarakan sama Mama.” “Soal apa?” “Bagaimana kalau nanti agak siangan aku ajak Mama ke cafe, biar aku yang traktir?” Sarah sengaja melakukan hal itu demi bisa mengambil hati Berliana yang mana baginya mertuanya tidak boleh sampai merasa bersimpati kepada Camelina. “Boleh, deh, kebetulan Mama sedang tidak ada jadwal dengan siapapun.” Perlahan-lahan, Sarah yang diotaknya hanya
Sarah pergi ke kamar untuk mengajak suaminya sarapan pagi ini.“Mas, kamu belum sarapan, kan? Kita sarapan dulu, yuk!” ajak Sarah kepada suaminya yang saat itu tengah mengenakan dasi.“Baju ini kamu yang menyiapkannya?” tanya Aderson kepada Sarah.Sarah mendekat dengan nada merayu. “Iya dong, Mas. Aku ini kan istri kamu. Sini aku bantu betulkan dasi kamu yang miring.”Setelah itu, mereka pun kemudian turun ke lantai bawah untuk sarapan. “Pagi ini aku lihat dia masak ayam goreng. Kayaknya enak, ya, Mas."“Iya.”Sampai di ruang makan, semuanya menempati kursi mereka masing-masing, kecuali Camelina yang kemudian melangkah pergi dari sana. Tetapi Frederick memanggilnya.“Camelina duduklah! Kamu juga sudah menjadi bagian dari keluarga ini!”Sontak saja Camelina langsung menghentikan langkah kakinya dan berbalik ke arah meja makan. Ia memandangi semuanya yang ada di sana, terutama raut muka Sarah. Namun anehnya, Sarah sama sekali tidak menampakkan raut muka kesal sama sekali.Lantas, Came
“Sarah ...!” seru Berliana.Sarah yang sudah mengangkat tangannya itu refleks menurunkan tangannya kembali dengan mata membelalak syok dengan kehadiran Ibu mertuanya yang mendadak ada di sana.“Ma? Ngapain Mama di sini?”“Kamu kan mau ajak Mama ke cafe.”“Aku ajaknya 'kan nanti siang, Ma ....”“Jangan siang-siang banget, ini kan musim hujan juga.”Sarah menghampiri Berliana. ”Ya sudah, deh, Ma. Tapi kita kan baru selesai sarapan juga.”“Mama bosan, Nak. Kita jalan-jalan ke mall sebentar saja, ya!”Senyum palsu Sarah seketika memudar begitu mendengar ajakan tersebut, karena ia tahu bagaimana Berliana jika sudah berada di tempat perbelanjaan. “Kenapa dia malah minta lebih? Kalau begini, uang bulananku bisa tekor. Ya sudahlah, yang penting rencanaku berjalan mulus,” batin Sarah dalam heningnya.Sementara itu, Camelina yang sudah kembali sendiri tanpa ada seseorang yang mengganggunya pun membuatnya merasa tenang. Ia menghela nafas lega, lalu terdiam sejenak dengan tangan penuh busa sab
Sekalipun kesal, Sarah berusaha menahan dirinya untuk tampak senang demi tujuannya tersebut.“Terima kasih ya, Nak, kamu memang menantuku yang baik,” ucap Berliana sambil tersenyum.Sarah hanya tersenyum. “Oh ya, ada yang mau aku bicarakan. Bisa kita bicara sekarang saja?” tanya Sarah dengan wajah serius.“Boleh. Kalu begitu sekarang saja. Memangnya soal apa yang mau kamu bicarakan itu?”Mereka pun akhirnya membicarakan ajakan Sarah sebelumnya. Wanita itu terus berusaha merayu Berliana – Ibu mertuanya agar setuju jika dirinya mengenalkan Camelina kepada seseorang.“Lagi pula, pernikahan antara Mas Erson dan Camelina itu hanya berjalan sampai melahirkan bayi, kan? Setelah itu akan kembali seperti semula, keduanya tidak akan dekat atau berhubungan lagi. Menurut aku itu suatu hal yang bagus!”“Untuk masalah itu nanti lebih baik dipikirkan lagi. Menurut Mama, kalau Camelina sudah mendapatkan pasangan, lalu siapa yang akan menyusui cucuku nanti? Tidak mungkin kamu juga, kan? Tunggulah s
Pernikahan terus berjalan, sekalipun keterpaksaan terus terlibat dalam benaknya yang tidak bisa terus diabaikan. Namun pagi ini, ia merasakan sesuatu yang teramat sangat tidak nyaman pada tenggorokan hingga mulutnya.Mual. Ia terus bolak-balik kamar mandi sampai nafsu makannya seakan hilang seketika. Padahal saat itu ia baru akan menyiapkan sarapan pagi untuk sekeluarga.”Kamu kenapa?” tanya Aderson ketika melihat Camelina yang terus muntah.Camelina menoleh, lalu menyahutnya dengan nada lirih. ”Tidak tahu, Tuan. Sejak tadi saya merasa mual dan tidak nyaman.”“Pagi ini kamu sudah makan?” tanya Aderson.Camelina menggelengkan kepala. “Belum. Saya juga belum memasak apa-apa.”Aderson melihat meja makan yang masih kosong, sejak tadi belum mencium aroma masakan apapun.Bersamaan dengan itu, semuanya memasuki area ruang makan. Mereka kaget sekaligus heran karena baru pagi ini saja meja kosong.“Lho, mana sarapannya? Camelina, kenapa kamu belum memasak?”Alih-alih menjawab pertanyaan itu
Usai mencelupkan testpack itu ke dalam urin dalam wadah kecil. Lantas, ia pun mencoba melihat hasilnya.Bukan hanya Camelina yang awalnya merasa penasaran dengan hasilnya, tetapi semua orang yang ada di kamar itu. Mereka tampak tidak sabar, bahkan Berliana sudah mondar mandir di depan kamar mandi – terus menanti hasil yang diharapkannya tersebut.”Camelina, kamu sudah belum? Tahu `kan cara menggunakannya bagaimana?” seru Berliana dari arah luar.Pertanyaan yang terlontar keluar dari mulut Berliana saat itu membuatnya sontak menoleh ke arah pintu. Ia tidak menyahut tetapi bergegas keluar dari dalam kamar mandi.Begitu keluar, pandangan mereka langsung tertuju pada wajah Camelina. Saat itu Camelina hanya berjalan santai dengan wajah penuh keraguan.Ketika itu, bukan hanya Berliana, tetapi juga Sarah yang sangat penasaran dengan hasilnya. Sebab baginya, semakin cepat Camelina hamil semakin cepat pula melahirkan dan ia tidak akan merasa diduakan lagi. Meski sebelumnya Sarah teramat
Camelina tidak membalas perkataan Ibu mertuanya. Dirinya memilih diam sampai waktu yang tepat ia melontarkan kalimat dari mulutnya.Ia merasa bahwa tidak penting jika asal bicara. Kalaupun ia mengatakan sesuatu, tentu itu harus sesuatu hal yang penting agar tidak membuang-buang energinya dalam perdebatan yang tidak penting. "Kamu dengar yang saya bilang, tidak?!" sentak Berliana sambil berkacak pinggang.Frederick yang tidak ada di rumah itu membuat Ibu mertuanya kembali merasa berkuasa dan tanpa menerima bantahan siapapun."Iya, Ma, saya dengar, kok."Berliana melirik ke bawah -- tepatnya ke arah barang belanjaan yang ada di tangan Camelina. "Itu apa? Kamu mencoba memeras keponakan saya?"Camelina menggelengkan kepala cepat, ia mengangkat kepalanya cepat sambil berkata, "Tidak, kok, tidak! Ini semua dikasih. Tapi kalau memang Mama mau, silakan ambil saja!" sergah Camelina. Ia menyodorkan barang belanjaannya kepada Berliana.Berliana memalingkan wajahnya ke arah lain dengan angkuh. "
"Kita pulang saja, ya, maaf kalau kesannya ini terburu-buru. Tapi tadi aku mendapat kabar kalau aku harus segera ke kantor karena ada pekerjaan mendesak yang perlu aku urus hari ini juga," tutur Tio menjelaskan, walau penjelasan itu sebetulmya hanya sebuah alasan ringan agar Camelina tidak mencurigai dirinya dan berpikir yang tidak-tidak.Camelina mengangguk. "Kalau begitu kamu langsung pulang saja, biar aku naik taksi," sahut Camelina.Saat itu, Camelina tidak mempertanyakan apapun lagi. Lagi pula, ia sudah berpikir bahwa memang sebaiknya pulang saja karena aroma makanan yang ada di hadapannya tadi membuat ia mual. Apa mungkin ini bawaan hamil?"Jangan. Kamu aku antar saja. Kan aku juga yang ngajak, jadi sudah seharusnya aku berkewajiban antar kamu pulang apal rumah dalam keadaan selamat. Oh ya, tadi kamu mual-mual, jangan-jangan kamu juga masuk angin."Camelina menoleh ke arah Tio. "Untung saja dia mengira aku masuk angin," batin Camelina. Ia memalingkan pandangannya ke perut, memp
Camelina yang berada di cafe tampak banyak diam menyantap sedikit demi sedikit menu sarapan yang ada di hadapannya. Ia merasa mual ketika mencium makanan yang ada di hadapannya tersebut."Kamu tidak suka menunya? Kalau tidak suka, biar pesan yang lain," kata Tio sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.Refleks Camelina pun berkata, "Tidak, kok. Saya suka, tapi tadi pagi saya sudah makan. Mungkin kalau belum sarapan, pasti ini semua habis," seloroh Camelina.Tio yang mendengar hal itu langsung tertawa kecil. Ia memperhatikan Camelina dengan intens. "Ternyata wanita ini lucu juga, dia sangat unik dan jauh berbeda dibanding wanita lain yang aku kenal selama ini," batin Tio sambil menyuap sedikit makanan ke mulut.Pada saat yang sama, Camelina mendadak mual-mual, sehingga dengan cepat ia langsung beranjak dari duduknya."Sepertinya harus ke toilet dulu!" ungkap Camelina. Ia melangkah pergi mencari toilet umum yang ada di sana. Ketika menoleh ke sebelah kanan, Tio sepasang matanya lang
Camelina yang baru memasuki mobil dengan Tio membuat Firhan langsung memasuki mobilnya. Ia tidak mau kehilangan jejak mereka demi bisa berjalannya tugas dengan baik.Sampai kini mereka belum menyadari bahwa sebetulnya ada yang menguntit mereka berdua. Camelina sempat menoleh ke arah di mana hatinya merasa seperti ada sesuatu, tetapi kemudian ia menepis kecurigaan itu. Lagi pula, siapa yang ingin tahu dan mengikutinya? Itulah yang terpikirkan dalam kepala Camelina.Mengingat bahwa dirinya tidak sepenting itu bagi orang lain, terutama suaminya yang seolah tidak menganggapnya sebagai seorang istri, Camelina berusaha menikmati waktunya di luar tanpa ada tekanan dari Ibu mertua yang selalu menyuruhnya sesuka hati, memperlakukannya dengan buruk. Bahkan, ingatan buruk itu membuat mata Camelina memerah dan nyaris meneteskan air mata kesedihan akan takdir hidupnya yang kurang beruntung."Tempatnya tidak jauh dari sini, kok."Tio menyalakan mesin mobil dan langsung tancap gas pergi. Perlahan d
"Bagaimana menurutmu? Saya merasa cocok dengan yang ini," ungkap Camelina. Ia berdiri di hadapan Tio dengan jari jemari yang saling meremas satu sama lain."Kalau memang cocoknya yang itu, kamu pakai yang itu saja," ujar Tio. Ia beranjak dari duduknya dan langsung menuju kasir. "Kita bayar dulu semuanya.""HAH! Semuanya?" Camelina refleks berkata demikian dengan sepasang mata membelalak. Ia berpikir bahwa pakaian tadi ada banyak. Sekitar tujuh potong pakaian yang diberikan kepadanya tadi dan ia rasa itu terlalu banyak."Jangan semuanya. Saya ambil yang ini saja," kata Camelina sembari menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, seolah memberi isyarat penolakan.Namun, Tio sama sekali tidak menerima penolakan itu. "Jangan begitu. Oh ya, tunggu sebentar!" kata Tio. Ia berjalan menuju seorang pramuniaga yang ada di sana. Tio menghampirinya, Camelina melihat dari arah berjarak yang cukup jauh, dirinya melihat sepupu Aderson yang tengah berbicara dengan pramuniaga itu.Tak lama kemudian,
Pemandangan yang tidak biasa sekaligus pertama kali dilihatnya itu terlihat di depan Firhan. Yang tadinya akan menjemput Camelina malah didahului oleh sepupu Aderson.Tio berinisiatif membukakan pintu mobil dan Camelina pun masuk ke dalamnya. Ia duduk di sana. Wajah Tio sangat cerah dan bersemangat pagi ini. Ia merasa senang karena bisa mengajak Camelina pergi pagi ini."Memangnya kamu tidak pernah sarapan di rumah?" tanya Camelina. Ia merasa heran dengan Tio -- sepupu Aderson yang baru ia temui dan bahkan mereka belum saling mengenal satu sama lain.Tio menyalakan mesin mobil dan langsung tancap gas pergi setelah memarkirkannya di halaman rumah itu. "Kadang-kadang," jawabnya sambil tersenyum."Bukan cuma sarapan bersama, aku juga mau kamu menemaniku ke suatu tempat."Camelina langsung refleks menoleh dengan mata terbuka lebar hingga bola matanya seolah tampak membesar. "Ke mana?""Jangan kaget begitu. Anggap saja ini cara kamu membalas budi setelah waktu itu aku mengantarkanmu pulang
Tok ...Tok ... Tok ....Saat masih berbincang di telepon, mendadak saja suara ketukan pintu terdengar nyaring. Camelina sontak menoleh ke arah pintu itu dengan penuh tanya."Siapa itu?" gumam Camelina.Wanita tua yang sedang berbicara dengan Camelina pun sampai mendengarnya.[Ya sudah. Kita bicaranya nanti lagi saja. Mungkin itu majikan kamu.]Wanita tua itu mengerti bagaimana Camelina bekerja di rumah orang lain yang memang harus selalu siap sedia jika dibutuhkan.[Iya, Nek. Nanti aku coba hubungi lagi.]Tuutt.Usai berkata demikian, Camelina langsung mematikan teleponnya. Ia menyeka air matanya sedikit agar jangan sampai dilihat bahwa ia baru saja menangis.Perlahan, tangannya meraih gagang pintu dan langsung membukanya. "Ada yang menunggu kamu di bawah!" kata Berliana -- mertuanya.Camelina bertanya-tanya. Tetapi, kemudian ia teringat pada perkataan Aderson sebelumnya yang mana dirinya diminta untuk ikut Firhan -- Ajudan pribadi suaminya.Tanpa berlama-lama, Camelina pun kemudian
Sesaat setelah suami dan istri pertama dari suaminya berangkat. Frederick juga berangkat ke kantor. Baru kali ini lagi Camelina melihat Ayah mertuanya pergi kantor.Sebelum-sebelumnya ia memilih untuk beristirahat di rumah dan tak bekerja dahulu karena kondisi kesehatannya yang sempat memburuk. Namun, ketiadaan Frederick di rumah itu membuat Camelina khawatir karena itu artinya Ibu mertuanya pasti berbuat sesuka hati dengan mulut bawelnya. Dan benar saja, baru saja Camelina bernafas lega, ia harus menerima teriakan yang tidak mengenakan sungguh memekakkan telinga."Ngapain kamu masih di sini? Cuci piring sana! Habis makan tadi kamu malah langsung keluar tanpa memikirkan piring-piring kotor yang berserakan!" teriaknya.Camelina hanya mengangguk paham. "Iya, Ma, mau kok. Tadi saya cuma mengantar bekal suami yang ketinggalan," jawab Camelina. Ia tidak bisa diam saja ketika mertuanya berbuat sesuka hati.Sesekali, ia perlu bicara menjelaskan apa yang memang seharusnya bisa dipahami. "S
"Mas, hari ini kamu mau pulang jam berapa? Kemarin 'kan kamu pulang lebih awal," kata Sarah sembari membetulkan dasi yang melingkar di kerah lehernya."Lihat saja nanti. Yuk sarapan!" sahut Aderson sambil berkaca di depan sebuah cermin besar. Lalu, ia melangkah keluar dari kamar itu diikuti Sarah yang berada di belakang.Sementara Sarah hanya mengikuti ke mana Aderson pergi, berbeda dengan Camelina yang tengah menyiapkan bekal makan siang untuk suaminya makan nanti.Meskipun begitu, ia tetap tidak lupa menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga yang ada di rumah itu. "Camelina, kamu juga makan!" ajak Frederick dengan nada ketus.Aneh. Itulah yang terbesit dalam pikiran Camelina. Ia tersenyum, lalu menyahut lembut. "Iya, saya sedang menyiapkan bekal dulu.""Sudah selesai itu. Kamu jangan banyak alasan, sebaiknya sekarang kamu sarapan!" balas Frederick.Meskipun nada bicara Frederick kasar, tetapi ia tetap menunjukkan perhatian kecilnya kepada sang menantu. "Saya menyusul saja na