“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Berliana yang tampak sangat perhatian. Dokter pun sampai heran dibuatnya. Hanya saja, Camelina tak sedikitpun merasa senang, karena ia tahu bahwa Berliana bukan peduli padanya melainkan pada janin yang ada dalam kandungannya.Ia bisa merasakan, mana yang memang peduli dan mana yang memang hanya memanfaatkan dirinya saja demi kepentingan pribadi dengan dan bersikap di balik topeng kepura-puraan.“Dia tidak kenapa-kenapa. Hanya keram biasa saja, ini hanyalah hal normal yang biasa dirasakan oleh wanita hamil, Bu!” jelasnya dengan santai, memberi pengertian.Aderson yang mendengar hal itu pun tampak lega. Ia menoleh ke arah Camelina, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi bibirnya kelu hingga akhirnya memilih diam tanpa berkata apapun.Dokter Merry segera beranjak dari duduknya. Ia segera membereskan peralatan yang dikeluarkannya tadi. Melihat Dokter Merry yang beranjak pergi, membuat Berliana langsung menghampiri. Ia berdiri di d
“Tunggu, Tuan!” pinta Camelina. Aderson saat itu sungguh tidak menyangka jika ternyata Camelina sampai berani menyusulnya keluar rumah hanya untuk menemuinya. Sejak tadi – tepatnya ketika tengah berbicara dengan istri pertamanya, Camelina terus membuntuti karena ada hal yang menurutnya penting.“Mulai sekarang dan secara pribadi kamu tidak perlu memanggil saya `Tuan`, panggil saja sebagaimana seharusnya! Walaupun kontrak, tapi kita sudah menikah!” tegasnya.“Iya, Mas!” sahutnya seraya memejamkan matanya sejenak.Camelina celingak-celinguk untuk memastikan bahwa tidak ada Sarah atau bahkan Berliana yang memata-matai dirinya. Sebab ia tidak mau jika setelahnya malah dihujani dengan banyak pertanyaan yang bahkan tidak ada hubungannya dengan mereka sama sekali.“Kamu lihat-lihat apa?” Aderson yang menduga bahwa mungkin saja pembicaraan itu dengannya bersifat rahasia membuatnya langsung membuka pintu mobil dan kemudian menarik tangan Camelina sampai wanita itu jatuh tersungkur di paha
Camelina berjalan menuju samping rumah. Sengaja ia menggunakan jalan belakang karena menurutnya jika menggunakan jalan depan rumah maka tentu Sarah ataupun Berliana akan melihat dirinya.“Itu dia. Kamu pikir bisa lepas dari mataku? Tidak akan pernah aku biarkan kamu menjalankan rencana sendirian tanpa aku ketahui!” gumam Sarah seraya pergi.Saat itu, Camelina sama sekali tidak menyadari bahwa ada yang memantaunya sejak tadi. Ia hanya terfokus pada rencananya dan melihat ke depan rumah sekilas tanpa memperhatikan lebih jelas mengenai keberadaan istri pertama suaminya yang terus memata-matai.“Lebih baik sekarang aku langsung pergi ke kamar!” gumam Camelina seraya terburu-buru.Begitu Camelina membuka pintu belakang. Di sana ia langsung terhenyak kaget dan refleks menghentikan langkah kakinya saat melihat Sarah yang sudah berdiri di hadapannya dekat pintu dengan kedua tangan menyilang di dada. Sarah tersenyum sinis ke arahnya.Namun, Camelina menghiraukan Sarah dan kemudian melanjutka
“Sebelum kamu lanjut makan. Mama mau bicarakan sesuatu dulu sama kamu!”Saat Camelina tengah mengunyah, ia pun kemudian menaruh sendok dan garpu yang ada di tangannya. Ia mengambil air putih dan menenggaknya sedikit.“Masalah apa lagi yang dibuat Sarah kali ini? Kenapa dia tidak pernah bosan mengganggu kenyamananku?” batinnya.Antara siap dan tidak siap, ia mengambil nafas lalu membuangnya perlahan. Barulah ia bicara – menyahut permintaan Berliana sebelumnya.“Mau bicarakan soal apa, ya, Ma? Apa Mama mau saya masakkan buat sarapan juga?” tanya Camelina. Sekalipun intuisinya mengatakan bahwa Berliana tengah mencurigai sesuatu terhadapnya, tetapi ia malah mengusulkan pertanyaan lain yang menurutnya perlu ia katakan dibanding fokus pada apa yang ia pikirkan. Dibanding balas mencurigai, Camelina memancing Berliana agar segera mengatakan yang seharusnya.“Tadi kamu mendatangi Aderson? Buat apa? Apa kamu mau minta transfer padanya karena kamu belum mampu mengganti piring yang pecah?”
Dugaan Aderson langsung ke arah sana karena sebelumnya ia sempat melihat Camelina yang agak menekan perutnya dengan wajah yang tampak kesakitan. Melihat usia kandungan Camelina yang masih sangat muda dan pertama kalinya pula Camelina hamil, membuatnya khawatir terjadi sesuatu kepada janin yang di kandung istri keduanya.[Begini, Nak. Demi kebaikan calon cucu Mama. Bagaimana kalau kita carikan perawat pribadi yang bisa menjaga semua asupan gizi untuk janin itu?][Aku setuju sama Mama, tapi apa itu berbahaya bagi keluarga kita? Karena jika berani menghadirkan orang baru di lingkungan rumah kita, orang itu lama kelamaan pasti akan mengetahui apa yang selama ini disembunyikan. Sebaiknya sesekali panggil Dokter Ikhsan saja untuk memastikan kesehatan sekaligus mengatur pola makanannya!]Pada saat yang sama, Firhan mendatangi Aderson dan memberitahu. "Tuan, ada yang datang," ucap Firhan. Sontak, Aderson langsung menoleh ke arah pintu.Berliana terdiam sejenak mencerna perlahan apa yang di
Camelina yang merasa bahwa berbicara dengan Sarah tidak ada gunanya dan ini hanya membuang-buang waktunya.“Sarah, selama ini saya tidak ada urusan apapun sama kamu, jadi sebaiknya kamu diam!” tegas Camelina, ia memasang wajah serius.Tentu saja Sarah langsung mendengus kesal, karena posisinya yang jauh lebih penting di rumah itu seperti tidak dihargai. Ia merasa bahwa dirinya seperti direndahkan. “Heh! Semua yang berhubungan denganmu, urusannya denganku juga, karena tanpa ada izin dariku kamu tidak akan bisa menikah dengan suamiku!”“Sudah, Sarah. Kali ini biarkan kamu mundur selangkah. Yang membuat perjanjian itu bukan kamu melainkan aku!” pinta Berliana kepada Sarah.Sarah langsung menoleh dengan ternganga tak percaya. “Sungguh! Bagaimana bisa Ibu metuaku mendadak berkata begitu!” umpat Sarah dalam benaknya, bibirnya mengerucut dan matanya melirik ke arah Berliana.Berliana memejamkan matanya sejenak. “Ya sudah, kamu boleh keluar. Asal jangan lama-lama dan jangan keseringan ju
Resepsionis itu terus memperhatikan wajah Camelina yang bersembunyi di balik topi abu tua yang dipakainya. Sejak tadi Camelina juga terus menunduk karena tidak mau jika wajahnya sampai tersekspos ke media.“Maaf, tapi berdasarkan ketentuan yang ada di sini, yang belum ada janji dilarang bertemu Pak Aderson!” ucap resepsionis itu.Camelina terdiam sejenak mendengar jawaban itu. Isi kepalanya bekerja keras bagaimana agar dirinya bisa menemui Aderson.Saat resepsionis itu agak lengah, Camelina mencoba mengendap-endap pergi dari sana untuk menuju tangga mencari keberadaan Aderson. Namun, begitu resepsionis itu menyadarinya, Camelina langsung diberhentikan. “Kamu mau ke mana? Siapa yang mengizinkanmu masuk?!” ujar resepsionis itu menarik bagian belakang baju Camelina.Camelina berbalik dan kemudian berkata, "Kalau begitu izinkan saya bertemu Pak Aderson sebentar saja ...!" pinta Camelina. Ia bersikukuh dengan keinginannya tersebut. Setelah menyempatkan waktunya untuk datang ke tempat
Seketika Aderson langsung menoleh ke arah Camelina dengan mata membelalak.Reaksi Aderson yang demikian pun membuat Camelina bertanya, "Kenapa, Mas?" "Tidak apa-apa. Kamu aneh!" celetuk Aderson. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain dengan wajah yang tampak tegang. Ekhem! Aderson mendeham."Kamu sudah makan?" tanyanya. Camelina menggelengkan kepala. "Saya tidak berniat untuk makan siang bersama. Kita bicara sebentar!" pinta Camelina. "Sambil makan saja."Aderson memarkirkan mobilnya di salah satu restoran yang ia miliki. "Ayo keluar! Saya sudah lapar. Kalau kamu bawa makan siang, saya gak bakal ajak kamu ke sini!""Kalau gak ikhlas, jangan saja. Saya 'kan datang ke kantor karena ada kepentingan," ungkap Camelina yang terus diam di dalam mobil sekalipun Aderson sudah membukakan pintu mobil untuknya."Cepatan!" sentak Aderson kepada Camelina.Aderson menarik tangan Camelina hingga membuat wanita itu mau tidak mau harus keluar dari mobil. "Tidak perlu menarik tangan saya.""Kamu beba
Camelina tidak membalas perkataan Ibu mertuanya. Dirinya memilih diam sampai waktu yang tepat ia melontarkan kalimat dari mulutnya.Ia merasa bahwa tidak penting jika asal bicara. Kalaupun ia mengatakan sesuatu, tentu itu harus sesuatu hal yang penting agar tidak membuang-buang energinya dalam perdebatan yang tidak penting. "Kamu dengar yang saya bilang, tidak?!" sentak Berliana sambil berkacak pinggang.Frederick yang tidak ada di rumah itu membuat Ibu mertuanya kembali merasa berkuasa dan tanpa menerima bantahan siapapun."Iya, Ma, saya dengar, kok."Berliana melirik ke bawah -- tepatnya ke arah barang belanjaan yang ada di tangan Camelina. "Itu apa? Kamu mencoba memeras keponakan saya?"Camelina menggelengkan kepala cepat, ia mengangkat kepalanya cepat sambil berkata, "Tidak, kok, tidak! Ini semua dikasih. Tapi kalau memang Mama mau, silakan ambil saja!" sergah Camelina. Ia menyodorkan barang belanjaannya kepada Berliana.Berliana memalingkan wajahnya ke arah lain dengan angkuh. "
"Kita pulang saja, ya, maaf kalau kesannya ini terburu-buru. Tapi tadi aku mendapat kabar kalau aku harus segera ke kantor karena ada pekerjaan mendesak yang perlu aku urus hari ini juga," tutur Tio menjelaskan, walau penjelasan itu sebetulmya hanya sebuah alasan ringan agar Camelina tidak mencurigai dirinya dan berpikir yang tidak-tidak.Camelina mengangguk. "Kalau begitu kamu langsung pulang saja, biar aku naik taksi," sahut Camelina.Saat itu, Camelina tidak mempertanyakan apapun lagi. Lagi pula, ia sudah berpikir bahwa memang sebaiknya pulang saja karena aroma makanan yang ada di hadapannya tadi membuat ia mual. Apa mungkin ini bawaan hamil?"Jangan. Kamu aku antar saja. Kan aku juga yang ngajak, jadi sudah seharusnya aku berkewajiban antar kamu pulang apal rumah dalam keadaan selamat. Oh ya, tadi kamu mual-mual, jangan-jangan kamu juga masuk angin."Camelina menoleh ke arah Tio. "Untung saja dia mengira aku masuk angin," batin Camelina. Ia memalingkan pandangannya ke perut, memp
Camelina yang berada di cafe tampak banyak diam menyantap sedikit demi sedikit menu sarapan yang ada di hadapannya. Ia merasa mual ketika mencium makanan yang ada di hadapannya tersebut."Kamu tidak suka menunya? Kalau tidak suka, biar pesan yang lain," kata Tio sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.Refleks Camelina pun berkata, "Tidak, kok. Saya suka, tapi tadi pagi saya sudah makan. Mungkin kalau belum sarapan, pasti ini semua habis," seloroh Camelina.Tio yang mendengar hal itu langsung tertawa kecil. Ia memperhatikan Camelina dengan intens. "Ternyata wanita ini lucu juga, dia sangat unik dan jauh berbeda dibanding wanita lain yang aku kenal selama ini," batin Tio sambil menyuap sedikit makanan ke mulut.Pada saat yang sama, Camelina mendadak mual-mual, sehingga dengan cepat ia langsung beranjak dari duduknya."Sepertinya harus ke toilet dulu!" ungkap Camelina. Ia melangkah pergi mencari toilet umum yang ada di sana. Ketika menoleh ke sebelah kanan, Tio sepasang matanya lang
Camelina yang baru memasuki mobil dengan Tio membuat Firhan langsung memasuki mobilnya. Ia tidak mau kehilangan jejak mereka demi bisa berjalannya tugas dengan baik.Sampai kini mereka belum menyadari bahwa sebetulnya ada yang menguntit mereka berdua. Camelina sempat menoleh ke arah di mana hatinya merasa seperti ada sesuatu, tetapi kemudian ia menepis kecurigaan itu. Lagi pula, siapa yang ingin tahu dan mengikutinya? Itulah yang terpikirkan dalam kepala Camelina.Mengingat bahwa dirinya tidak sepenting itu bagi orang lain, terutama suaminya yang seolah tidak menganggapnya sebagai seorang istri, Camelina berusaha menikmati waktunya di luar tanpa ada tekanan dari Ibu mertua yang selalu menyuruhnya sesuka hati, memperlakukannya dengan buruk. Bahkan, ingatan buruk itu membuat mata Camelina memerah dan nyaris meneteskan air mata kesedihan akan takdir hidupnya yang kurang beruntung."Tempatnya tidak jauh dari sini, kok."Tio menyalakan mesin mobil dan langsung tancap gas pergi. Perlahan d
"Bagaimana menurutmu? Saya merasa cocok dengan yang ini," ungkap Camelina. Ia berdiri di hadapan Tio dengan jari jemari yang saling meremas satu sama lain."Kalau memang cocoknya yang itu, kamu pakai yang itu saja," ujar Tio. Ia beranjak dari duduknya dan langsung menuju kasir. "Kita bayar dulu semuanya.""HAH! Semuanya?" Camelina refleks berkata demikian dengan sepasang mata membelalak. Ia berpikir bahwa pakaian tadi ada banyak. Sekitar tujuh potong pakaian yang diberikan kepadanya tadi dan ia rasa itu terlalu banyak."Jangan semuanya. Saya ambil yang ini saja," kata Camelina sembari menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, seolah memberi isyarat penolakan.Namun, Tio sama sekali tidak menerima penolakan itu. "Jangan begitu. Oh ya, tunggu sebentar!" kata Tio. Ia berjalan menuju seorang pramuniaga yang ada di sana. Tio menghampirinya, Camelina melihat dari arah berjarak yang cukup jauh, dirinya melihat sepupu Aderson yang tengah berbicara dengan pramuniaga itu.Tak lama kemudian,
Pemandangan yang tidak biasa sekaligus pertama kali dilihatnya itu terlihat di depan Firhan. Yang tadinya akan menjemput Camelina malah didahului oleh sepupu Aderson.Tio berinisiatif membukakan pintu mobil dan Camelina pun masuk ke dalamnya. Ia duduk di sana. Wajah Tio sangat cerah dan bersemangat pagi ini. Ia merasa senang karena bisa mengajak Camelina pergi pagi ini."Memangnya kamu tidak pernah sarapan di rumah?" tanya Camelina. Ia merasa heran dengan Tio -- sepupu Aderson yang baru ia temui dan bahkan mereka belum saling mengenal satu sama lain.Tio menyalakan mesin mobil dan langsung tancap gas pergi setelah memarkirkannya di halaman rumah itu. "Kadang-kadang," jawabnya sambil tersenyum."Bukan cuma sarapan bersama, aku juga mau kamu menemaniku ke suatu tempat."Camelina langsung refleks menoleh dengan mata terbuka lebar hingga bola matanya seolah tampak membesar. "Ke mana?""Jangan kaget begitu. Anggap saja ini cara kamu membalas budi setelah waktu itu aku mengantarkanmu pulang
Tok ...Tok ... Tok ....Saat masih berbincang di telepon, mendadak saja suara ketukan pintu terdengar nyaring. Camelina sontak menoleh ke arah pintu itu dengan penuh tanya."Siapa itu?" gumam Camelina.Wanita tua yang sedang berbicara dengan Camelina pun sampai mendengarnya.[Ya sudah. Kita bicaranya nanti lagi saja. Mungkin itu majikan kamu.]Wanita tua itu mengerti bagaimana Camelina bekerja di rumah orang lain yang memang harus selalu siap sedia jika dibutuhkan.[Iya, Nek. Nanti aku coba hubungi lagi.]Tuutt.Usai berkata demikian, Camelina langsung mematikan teleponnya. Ia menyeka air matanya sedikit agar jangan sampai dilihat bahwa ia baru saja menangis.Perlahan, tangannya meraih gagang pintu dan langsung membukanya. "Ada yang menunggu kamu di bawah!" kata Berliana -- mertuanya.Camelina bertanya-tanya. Tetapi, kemudian ia teringat pada perkataan Aderson sebelumnya yang mana dirinya diminta untuk ikut Firhan -- Ajudan pribadi suaminya.Tanpa berlama-lama, Camelina pun kemudian
Sesaat setelah suami dan istri pertama dari suaminya berangkat. Frederick juga berangkat ke kantor. Baru kali ini lagi Camelina melihat Ayah mertuanya pergi kantor.Sebelum-sebelumnya ia memilih untuk beristirahat di rumah dan tak bekerja dahulu karena kondisi kesehatannya yang sempat memburuk. Namun, ketiadaan Frederick di rumah itu membuat Camelina khawatir karena itu artinya Ibu mertuanya pasti berbuat sesuka hati dengan mulut bawelnya. Dan benar saja, baru saja Camelina bernafas lega, ia harus menerima teriakan yang tidak mengenakan sungguh memekakkan telinga."Ngapain kamu masih di sini? Cuci piring sana! Habis makan tadi kamu malah langsung keluar tanpa memikirkan piring-piring kotor yang berserakan!" teriaknya.Camelina hanya mengangguk paham. "Iya, Ma, mau kok. Tadi saya cuma mengantar bekal suami yang ketinggalan," jawab Camelina. Ia tidak bisa diam saja ketika mertuanya berbuat sesuka hati.Sesekali, ia perlu bicara menjelaskan apa yang memang seharusnya bisa dipahami. "S
"Mas, hari ini kamu mau pulang jam berapa? Kemarin 'kan kamu pulang lebih awal," kata Sarah sembari membetulkan dasi yang melingkar di kerah lehernya."Lihat saja nanti. Yuk sarapan!" sahut Aderson sambil berkaca di depan sebuah cermin besar. Lalu, ia melangkah keluar dari kamar itu diikuti Sarah yang berada di belakang.Sementara Sarah hanya mengikuti ke mana Aderson pergi, berbeda dengan Camelina yang tengah menyiapkan bekal makan siang untuk suaminya makan nanti.Meskipun begitu, ia tetap tidak lupa menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga yang ada di rumah itu. "Camelina, kamu juga makan!" ajak Frederick dengan nada ketus.Aneh. Itulah yang terbesit dalam pikiran Camelina. Ia tersenyum, lalu menyahut lembut. "Iya, saya sedang menyiapkan bekal dulu.""Sudah selesai itu. Kamu jangan banyak alasan, sebaiknya sekarang kamu sarapan!" balas Frederick.Meskipun nada bicara Frederick kasar, tetapi ia tetap menunjukkan perhatian kecilnya kepada sang menantu. "Saya menyusul saja na