Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini bersamanya – ia menggagahinya malam ini.
Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.
`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`
Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya.
"Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa lagi diam dalam kesakitan.
"Kamu akan kulepaskan setelah puas! Ingatlah, hutangmu belum dianggap lunas jika tak kunjung melahirkan!" tegasnya. Tak sedikitpun ada simpati, bahkan tatapan matanya pada Camelina tampak dingin dan kejam. Hanya ada keegoisan yang memikirkan kepuasan dan tujuan pribadinya sendiri. Ia lupa bahwa Camelina pun punya otak yang bisa digunakan untuk membuat rencana dan memutar balikkan keadaan.
Setelah mendapat jawaban itu, Camelina tidak membalasnya lagi. Ia hanya mendengus kesal dengan bibir mengatup rapat serta air mata yang terus membasahi pipi, meluapkan segala rasa sakit yang menghujam batinnya.
Sementara di tempat lain, Sarah – istri pertama Aderson terus mondar-mandir dengan perasaan kesal karena malam ini ia harus tidur sendirian tanpa suami. Sarah tampak sangat membenci Camelina – pembantu di rumah itu yang kini sudah berubah posisi menjadi madunya.
Camelina pun sebetulnya sangat membenci keadaan ini. Jangankan untuk menjadi istri kedua, selingkuh saja tak pernah sedikitpun terbesit di dalam pikirannya. Namun terkadang, cobaan datang silih berganti dari yang paling tidak diinginkan sama sekali. Ia yang selalu menjaga kesuciannya hanya untuk pria yang dicintainya, tentu dalam ikatan pernikahan, tetapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan, sebab harus menyerahkannya pada pria yang tidak ia sukai sama sekali. Kini, ia hanya bisa menjalani takdir dengan segala bumbu kehidupan yang memang sudah menjadi jalan hidupnya.
“Tidak peduli apa yang terjadi padaku malam ini, aku hanya berharap bahwa malam ini segera usai dan tidak pernah kutemui malam seperti ini lagi,” batin Camelina dengan air mata menetes ke pipi.
Sakit luar biasa harus ia tahan teramat dalam. Sampai pagi tiba. Seperti inginnya, malam itu pun berlalu. Walau malam tak pernah menjanjikan dirinya aman dari hasrat pria itu. Mata dibuka perlahan, ia menggerakkan tubuhnya untuk beranjak dari ranjang. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi yang terlihat jelas hanyalah cahaya mentari pagi memasuki ruangan melalui celah jendela menembus gorden putih nan tipis. Benar saja, Aderson langsung pergi begitu selesai menggagahinya malam tadi.
Lalu, ke mana perginya dia sekarang? Bukankah ini kamarnya?
Krieet! Brak!
Sontak Camelina menoleh ke arah pintu. Jelas saja, itu adalah Sarah – istri pertama Aderson yang memasuki kamarnya.
“Pembantu tidak tahu malu, enak-enak saja tidur di kamarku! Cepat pergi sana! Tempatmu itu di kamar pembantu!” usir Sarah.
`Benar, sebelumnya aku memang pembantu. Tapi, aku sudah dinikahi. Itu artinya aku adalah istri muda dan menjadi bagian dari keluarga ini!`
Camelina beranjak dari baringnya. “Saya juga istrinya, memangnya ini kamarmu?”
“Dasar wanita lancang tidak tahu malu!”
PLAK! Wanita itu menampar Camelina.
“Hey, dengar ya! Sejak awal kami menikah dan sebelum ada pembantu rendahan sepertimu, aku sudah menempati kamar ini! Jadi jangan sekali-kali berani mengaku!”
“Biar saya ingatkan sekali lagi. Saya istri muda suamimu yang diminta untuk melahirkan, jadi saya juga punya hak tidur di sini! Mungkin kamu juga lupa kalau malam tadi Mama sendiri yang mengantar saya ke sini dan mengusir kamu keluar!" balas Camelina. Ucapannya saat itu terdengar jelas, tetapi dengan wajah tenang.
Namun rupanya, keberanian Camelina dalam mengatakan kebenaran itu sungguh mengusik ketenangan Sarah sampai membuatnya naik pitam. Sarah yang merasa derajatnya lebih tinggi dari Camelina itu merasa direndahkan dan tidak terima, ia pun membalas
“Cihh!" senyumnya tergelincir. "Baru dinikahi semalam saja sudah besar kepala!" sindirnya.
Camelina sudah tidak ingin memperdebatkan hal itu lagi. Ia memilih pergi walau tubuhnya masih sakit. Yang terpenting, ia sudah mengatakan kebenaran meski Sarah tidak bisa menerima itu. Ia menuruni ranjang dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai kain – hanya selimut yang menutup tubuhnya. berjalan mengambil pakaian yang tergeletak di bawah tempat tidur itu dan pergi ke kamar mandi untuk mengenakannya kembali.
“Dasar jalang!” umpat Sarah ketika melihat Camelina yang beberapa saat kemudian keluar dari kamar mandi dengan pakaian semula ketika ia datang ke kamar itu.
Camelina tidak mau pedulikan jenis umpatan apapun yang masuk ke telinga, ia hanya fokus pada peran barunya kini. Namun, kemudian ia terdiam sejenak di depan pintu kamar itu.
“Aku sudah menjadi istrinya, tapi ... apa itu artinya aku juga masih dianggap sebagai pembantu di rumah ini?” gumamnya seraya memikirkan hal itu. Ia ingat pada perkataan Aderson yang terngiang-ngiang di telinga mengenai hutang bayi yang harus ia berikan pada keluarga ini.
Di tengah ia memikirkan nasibnya, Berliana – Ibu Aderson sudah berteriak memanggilnya dari lantai bawah. Teriakan itu semakin keras hingga tercipta kebisingan di rumah itu.
“Lina! Di mana kamu? Cepat kemari!”
Camelina bergegas turun dari lantai dua, ia terus menuruni tangga. Walaupun saat itu masih merasakan sakit pada bagian bawah miliknya, namun lambat sedikit saja Berliana langsung berteriak.
“Lambat sekali! Ke mana saja kamu?!”
Tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi, wanita itu seolah menganggap Camelina bak robot, yang mana begitu dipanggil harus langsung datang menemui untuk melakukan segala perintahnya.
“Maaf kalau saya lamban, tapi badan saya masih merasa sakit,” lirih Camelina di hadapan Berliana dengan wajah memelas.
Berliana melangkah pergi. “Kamu ikut saya sekarang!” perintahnya.
Baru saja Camelina mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, ia harus melakukan pekerjaannya lagi. Memang tak seorangpun mengerti dengan kondisinya kini. Ingin kabur, tetapi rasanya sulit.
”Walaupun kamu sudah menjadi menantu saya, tetapi posisi kamu tetap menjadi seorang pembantu yang harus mengerjakan pekerjaan di rumah ini!”
Camelina tidak menggerutu ataupun kesal, ia sadar akan posisinya tersebut. Tentu, ia tidak akan bisa menghindar dari banyaknya tuntutan yang datang ke dalam hidupnya.
“Bukan pelit atau apa, tapi kalau ada kamu yang bisa melakukannya, kenapa juga harus membayar seorang pembantu, kan?” ucapnya.
Berliana memang tidak pernah mau merugi dengan materi yang dimilikinya. Hanya seputar keuntungan dan keuntungan saja. Sifat pelitnya seolah sudah mendarah daging di dalam dirinya.
Camelina terdiam. Ia mengerti dan itu artinya ....
`Apa mulai sekarang gajiku tidak akan turun karena aku harus melakukannya dengan ikhlas?`
“Sebenarnya kamu beruntung juga karena kami memilih untuk tidak melaporkan kamu. Masih untung kamu tidak dipenjara. Dan, sepertinya melakukan pekerjaan sebagai pembantu di rumah ini menjadi hukuman paling ringan untuk pencuri seperti kamu!”
Lagi-lagi perkataan itu. Camelina menjadi sedih mendengarnya.
“Apa tidak bisa sekali saja aku tidak dianggap sebagai seorang pencuri?” batin Camelina. Matanya kembali berkaca-kaca, tetapi langsung menyekanya. Ia tidak mau air mata itu membuat orang-orang di rumah itu menganggapnya sebagai wanita yang jauh lebih lemah dan gampang ditindas.
Tanpa menyahut perkataan Berliana, Camelina terus diam seraya berusaha cuek dan tak mendengar, walau nyatanya membohongi diri sendiri dengan berpura-pura tidak mendengar itu sungguh sulit.
“Hari ini akan ada acara arisan. Pukul 10 siang nanti semua makanan dan jamuan harus sudah siap. Aku tidak mau kalau ada yang terlewat satu jenis pun, kamu harus memastikan semuanya lengkap!” perintahnya.
Di dapur itu, Berliana membuka kulkas – memastikan bahwa semua persediaan makanan yang ada di sana sudah siap dan tidak kekurangan apapun.
“Baik, saya pasti menyiapkannya seperti biasa.”
“Bagus!” Matanya memandangi meja makan yang ada di sana. “Ganti juga bunga yang ada di meja dengan yang lebih segar. Saya mau ruangan ini tampak hidup, jadi pastikan semuanya sesuai dengan apa yang saya mau!”
Camelina mengangguk paham dengan perkataan Berliana.”Baik.”
Beberapa wanita memasuki ruangan khusus yang telah disediakan dengan berbagai macam sajian yang terdapat di meja tamu. Tentu di tempat itu seperti biasa mereka saling memamerkan diri, saling menyanjung satu sama lain dengan segala kepalsuan yang terlontar keluar dari mulut manis mereka, bahkan terkadang membicarakan rumor yang beredar.Tetapi begitu Camelina memasuki ruangan itu dengan membawa buah semangka di piring lonjong yang telah dipotong-potong kecil berbentuk segitiga, suasana mendadak hening. Ini sungguh aneh bagi Berliana sekaligus Camelina itu sendiri, karena tidak biasanya teman-teman arisan Berliana begini. Pandangan mereka langsung terfokus pada penampilan Camelina saat itu. Lalu, tampak sedikit berbisik satu sama lain.”Hei, kalian lihat wanita itu? Apa kamu tidak salah informasi mengenainya?””Tidak. Selama ini aku tidak pernah salah kan dalam menyampaikan gosip terbaru.”Mereka yang menunjukkan jelas dengan saling berbisik satu sama lain membuat Camelina tidak nyaman
“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.“Baiklah kalau memang itu maumu.”Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hat
Malam tiba, saat ia hanyut dalam lamunannya. Namun itu tak bertahan lama, sebab berisik pintu dibuka dari arah luar membuatnya seketika tersentak, lalu menoleh dengan wajah datar. Raut mukanya seolah menyimpan sedikit tanya. `Siapa itu?` pikirnya, menelan ludah tegang.“Kamu ikut saya sekarang!” ajak Aderson, memasang wajah dingin.Camelina sudah tidak aneh lagi dengan ajakan itu. `Apa malam itu belum cukup menyiksaku sampai badanku sakit semua?` batinnya menerka sembari menghela nafas. Begitu Aderson ada di dekatnya, ia langsung bertanya, “Sampai kapan kita akan melakukan itu?” tanya Camelina.Sudah kedua kalinya Aderson mendapat pertanyaan yang serupa dari Camelina dan ia pun ingat pernah menjawabnya, menurutnya kali ini tidak perlu ia jawab lagi.“Gak usah banyak tanya!” jawab Aderson dengan ketus.`Padahal aku cuma tanya, kenapa jawabannya harus seketus itu? Memangnya pertanyaanku tadi itu salah?” umpatnya, pelan.Walaupun tampak tidak peduli, rupanya Aderson mendengarkan setia
Langkah kaki yang nyaris ambruk membuat Aderson antusias langsung menahan tubuh seorang pria tinggi dengan sedikit uban di bagian pinggir kepalanya. Pria itu menjatuhkan tentengan tas kecilnya dan berdalih memegang dadanya yang tampak menahan sesak. Orang-orang memanggilnya Fredy, walau nama sebenarnya adalah Frederick.“Ayo, Pa, biar aku bantu!” ujarnya dengan antusias.Uhuk, Uhuk!Berliana yang saat itu tak sengaja melihat ke arah luar karena ada suara orang batuk, yang setelah diperhatikan ternyata itu suaminya, membuat ia antusias menghampiri. “Papa kamu kenapa, Son?”Selama ini Frederick – suami Berliana selalu menyembunyikan penyakitnya, ia tak pernah mengatakan apapun pada keluarganya. Ia melakukan aktivitas seperti biasa, tanpa memperlihatkan sedikitpun mengenai gangguan kesehatan yang dialaminya.“Pa, darah.” Sedikit darah yang ada di telapak tangan Frederick membuat Aderson langsung cepat-cepat membawanya ke kamar. Ia memapah Ayahnya tanpa menggubris pertanyaan yang dilonta
Malam ini, di dalam kamar, Camelina termenung. Ia belum pergi keluar dari kamar mertuanya itu karena pikirnya bahwa ia pasti akan diperlukan untuk merawat Frederick. Saat itu Aderson dan Sarah sudah keluar dari kamar itu. Kini, hanya tinggal Camelina, Berliana dan Frederick.“Apa tujuannya sekarang? Kenapa mendadak baik dan membelaku?" pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala. Berliana menarik sedikit tangan Camelina untuk berbicara. Saat ini, Berliana merasa belum saatnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di rumah ini. Sebab, ia tidak mau membebani pikiran suaminya yang terbaring sakit."Ikut aku sebentar!" ucap Berliana dengan suara pelan. Ia menarik tangan menantunya yang ada di sana.“Beruntung kamu punya suami seperti putraku. Tapi jangan besar kepala dulu, tetap saja aku tidak akan membebaskan hutangmu itu padaku. Sampai kapanpun, selama bukan kamu yang menggantinya langsung dengan uangmu sendiri, kesalahan yang belum tertebus itu masih akan aku anggap utang!” ucap B
“Aku harus mencarinya. Di mana dia sekarang?” gumamnya seraya melangkah lebih cepat.Camelina berjalan keluar dari rumah itu pagi-pagi sekali. Sarah yang melihat hal itu menyimpan pertanyaan singkat dalam benaknya. “Kenapa dia berjalan keluar terburu-buru begitu? Ada apa dengannya?” gumam Sarah seraya mengernyitkan dahi. Ia berjalan keluar rumah untuk mengikuti, tetapi Berliana datang dan memanggilnya. Hal itu membuat dirinya kehilangan jejak Camelina.Camelina memang sengaja berjalan begitu cepat. Ia tidak mau jika ada banyak orang yang bertanya ke mana dirinya melangkah pergi.“Bisa luangkan waktu sebentar?” tanya Camelina. Ia berdiri di depan sebuah pavilliun ketika melihat Firhan – Ajudan pribadi Aderson yang baru keluar dari sana dengan pakaian rapi.“Ada apa datang kemari?””Mengenai kontrak yang ditandatangani waktu itu, bolehkan aku melihatnya lagi?” tanya Camelina.Firhan malah terdiam sejenak dan memperhatikan raut muka Camelina yang tampak sangat penasaran dan ingin
“Ada apa, Ma?” tanya Camelina kepada Berliana yang tampak tengah menunggu dirinya. Berliana berbalik ke arah suara itu berasal. ”Kamu ini pergi ke mana saja? Bukannya menyiapkan sarapan malah tidak ada.” “Segera, Ma. Saya akan segera menyiapkan semuanya.” Camelina tidak menunggu apapun lagi, ia pun kemudian berlari kecil menuju dapur dan langsung memasak untuk memasak sarapan pagi ini. Sesaat setelah Camelina melangkah pergi, Sarah pun kemudian berjalan menghampiri yang saat itu masih dalam keadaan berdiri di tempat yang sama. “Ma, sabar ya .... Dia itu memang sangat tidak berguna. Oh ya, ada yang mau aku bicarakan sama Mama.” “Soal apa?” “Bagaimana kalau nanti agak siangan aku ajak Mama ke cafe, biar aku yang traktir?” Sarah sengaja melakukan hal itu demi bisa mengambil hati Berliana yang mana baginya mertuanya tidak boleh sampai merasa bersimpati kepada Camelina. “Boleh, deh, kebetulan Mama sedang tidak ada jadwal dengan siapapun.” Perlahan-lahan, Sarah yang diotaknya hanya
Sarah pergi ke kamar untuk mengajak suaminya sarapan pagi ini.“Mas, kamu belum sarapan, kan? Kita sarapan dulu, yuk!” ajak Sarah kepada suaminya yang saat itu tengah mengenakan dasi.“Baju ini kamu yang menyiapkannya?” tanya Aderson kepada Sarah.Sarah mendekat dengan nada merayu. “Iya dong, Mas. Aku ini kan istri kamu. Sini aku bantu betulkan dasi kamu yang miring.”Setelah itu, mereka pun kemudian turun ke lantai bawah untuk sarapan. “Pagi ini aku lihat dia masak ayam goreng. Kayaknya enak, ya, Mas."“Iya.”Sampai di ruang makan, semuanya menempati kursi mereka masing-masing, kecuali Camelina yang kemudian melangkah pergi dari sana. Tetapi Frederick memanggilnya.“Camelina duduklah! Kamu juga sudah menjadi bagian dari keluarga ini!”Sontak saja Camelina langsung menghentikan langkah kakinya dan berbalik ke arah meja makan. Ia memandangi semuanya yang ada di sana, terutama raut muka Sarah. Namun anehnya, Sarah sama sekali tidak menampakkan raut muka kesal sama sekali.Lantas, Came
"Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia
"Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C
"Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap
[Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s
"Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.
Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.
Jas itu dikembalikan pada Aderson yang tengah duduk dengan mata terpejam dan kedua tangan terlipat di dada. Ketika Camelina kembali pada posisi duduk sebelumnya, Aderson membuka salah satu matanya perlahan. Bibirnya menyungging. Ia tahu bahwa Camelina yang menaruhnya, karena sebetulnya tidak sungguhan tidur. Ia hanya tidak tahu bagaimana bersikap ketika Camelina bangun, dirinya juga merasa gengsi untuk mengatakan bahwa ia yang menaruh jas miliknya di tubuh Camelina."Kamu belum makan, makanlah!" ujar Aderson seraya menyodorkan plastik yang berisi kotak makanan kepada Camelina. Sontak, Camelina menoleh kebingungan. "Aku pikir dia tidur. Apa tadi dia pura-pura dan tahu kalau aku menaruh jas itu padanya?" batin Camelina dengan mulut sedikit terbuka."Apa ini?" tanya Camelina. Kantong plastik itu berwarna putih, ia tidak tahu apa lagi yang dibawa Aderson dan diberikan padanya. "Tidak perlu repot-repot."Aderson merasa Camelina menolak pemberiannya secara halus. Tetapi, ia tidak menyer
"Nak, Mama mau bertemu sama Papa kamu," pinta Berliana yang baru tersadar bahwa ia tengah berada di rumah sakit dan sejak kejadian yang terbayang di kepala itu; ia belum melihatnya lagi."Iya, Ma. Papa ada di sebelah Mama," kata Aderson.Sekalian, Aderson juga belum menemui Ayahnya. Ia memilih untuk menemui Ibunya terlebih dahulu.Aderson menoleh ke arah Camelina, Camelina paham betul. Camelina melihat kesana kemari seperti tengah mencari keberadaan sesuatu."Mas, tapi tidak ada kursi roda di sini," ungkap Camelina setelah memastikan keadaan di ruangan itu.Sampai perawat datang ke ruangan itu ....Sontak saja, Aderson pun bertanya kepada perawat yang datang itu. "Boleh saya pinjam kursi rodanya, Sus?" "Untuk saat ini, pasien belum boleh turun dari ranjang. Masih perlu waktu dua minggu sampai keadaannya sedikit membaik.""Baiklah. Terima kasih, Sus."Perawat itu menaruh makanan dengan obat yang harus diminum malam ini di nakas pasien. "Makan dulu, lalu minum obatnya. Nanti yang bole
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Sarah, kebingungan.Bagaimana tidak bingung, ini sudah malam dan dirinya merasa bahwa keluarga itu tidak ada urusan apapun dengan Tio. Ditambah lagi, biasanya Tio tidak pernah datang larut malam seperti itu. Hanya kali ini saja ia melihatnya."Kalau kamu cari wanita itu, kamu kembali besok lagi saja. Malam ini tidak ada."BRAK!Sarah menutup pintu itu kembali karena merasa tidak ada sesuatu hal yang penting. Akan tetapi, begitu membalikkan badan, Sarah terdiam sejenak. "Benar juga," gumamnya. Ia berbalik kembali ke pintu.Krieett! Pintu itu dibukanya kembali."Oh ya, mau apa?" tanya Sarah. "Besok saja. Tidak jadi."Setelah mendengar pernyataan Sarah sebelumnya, Tio memilih pulang saja karena menurutnya tidak ada gunanya ia membicarakan tujuannya dengan Sarah. Sebab, niatnya adalah ingin bertemu sekaligus membicarakannya dengan Camelina langsung."Tapi .... Camelina pergi ke mana?" tanya Tio, sebelum meninggalkan rumah itu."Tidak tahu. Memangnya aku Mam