Tak lama setelah ajudan pribadi Aderson pergi, secara mendadak Camelina langsung dikagetkan dengan kedatangan istri pertama Aderson yang menghampirinya. Ia kembali harus merasakan jantung yang berdetak kencang gelisah tak karuan – intuisinya seolah memberitahu akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dan benar saja, Sarah langsung menarik rambut bagian belakangnya begitu saja tanpa alasan yang jelas.
”Setelah berhasil mencuri perhiasan, sekarang malah beraninya mencuri suamiku juga! Apa jangan-jangan kamu memang sengaja merencanakan hal ini sejak awal, wanita jalang!” tuduh istri pertama Aderson dengan ketus.
Sekalipun di depan Berliana tampak setuju dan biasa saja terhadap Camelina, tetapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Sarah menyimpan niat buruk untuk selalu mengganggu Camelina yang kini betul-betul ia anggap saingan dalam hidupnya.
Senyap suasana di ruangan itu semakin memperjelas setiap deru nafasnya yang tampaknya tengah menahan sakit. ”Sakiit!” rintih Camelina. Ia berusaha menahan tangan istri pertama Aderson – Sarah agar melepaskan tarikan tangan itu dari rambutnya. “Harusnya yang kamu salahkan bukan saya, tapi mereka yang mendesakku, kamu sendiri juga tahu itu! Dan .... Bukannya kata Mama, kamu juga setuju!” jelas Camelina.
Apa yang terlontar keluar dari mulut Camelina seperti sebuah sentilan bagi Sarah karena Camelina hanya mengatakan fakta bukan hanya dugaan atau bahkan prasangka. Meskipun di lubuk hatinya yang terdalam Sarah juga mengakuinya, tetapi kebencian yang lebih besar kepada Camelina membuat ia buta dan yang salah di matanya tetaplah wanita yang ia anggap saingannya. Melihat Camelina yang tidak menangis dan malah melawan perkataannya, membuat wanita itu menguatkan tarikan tangannya, sampai ada beberapa helai rambut Camelina jatuh bertebaran di lantai. Tetapi, hal itu pun tidak membuat Sarah – istri pertama Aderson puas dan berhenti menyakiti. Makin tampak tegar Camelina, semakin membuat perilakunya menjadi-jadi.
“Ah, sudahlah. Aku tidak mau mendengar alasan apapun, kamu ini memang perempuan licik!”
Apapun bentuk penghinaan yang terlontar keluar dari mulut Sarah tidak membuat Camelina takut untuk mempertahankan haknya. Terlebih lagi perilaku Sarah sudah sangat berlebihan menyakiti dirinya, entah itu secara fisik bahkan mental.
“Daripada kamu marah-marah dan menyesali keputusan kamu sendiri, lebih baik jaga suami kamu jangan sampai mencintaiku, supaya tidak cemburu buta begini!” usul Camelina dengan santainya.
Sampai pada saat yang tak terduga, Aderson datang. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanya Aderson terheran-heran. Sontak, Sarah pun langsung melepaskan tarikan tangannya dari rambut Camelina.
Keduanya menoleh ke arah pintu – tepat dimana suara itu berasal. Aderson mendekat, ia berdiri di antara kedua istrinya. Sarah yang merasa bersalah karena memperlakukan Camelina dengan kasar pun membuat dirinya ketar-ketir ketakutan. Sarah khawatir jika ternyata Aderson memperhatikan mereka sejak tadi dan mendengar semua perkataan yang ditujukan pada Camelina.
Sarah pun langsung mendekati Aderson, lalu ia memegang lengan suaminya. “Mas, apa yang kamu lakukan di sini?”
“Tadi ada yang ketinggalan, tapi malah ada suara berisik yang terdengar samar, jadi memutuskan untuk melihat ke sini sebentar. Memangnya kalian sedang bahas apa?” tanya Aderson penasaran.
“Itu soal sarapan saja. Tadi Camelina diajak sarapan di luar, tapi malah nolak,” jawab Sarah sambil menoleh ke arah Camelina. “Iya, `kan?” lanjutnya dengan pandangan yang sedang mengancam Camelina agar meng`iya`kan perkataannya tersebut.
Aderson melihat ke arah Camelina, tetapi ia hanya diam tanpa memberikan respon apapun. Sekalipun ia pernah menjadi asisten rumah tangga di rumah itu, ia tidak akan mudah lagi tunduk pada orang lain. Baginya, ia punya hak untuk menentang atau bahkan mengabaikan sesuatu.
Aderson melihat ke arah jam tangannya. ”Ya sudah kalau begitu, aku berangkat!”ujarnya. Ia mengecup dahi istri pertamanya, sedangkan Camelina memalingkan wajahnya. Sebelum berangkat ke kentor, Aderson menoleh – melihat ke arah dahi Camelina.
Menyaksikan Camelina yang diabaikan tanpa mendapat kecupan cinta dari suaminya menjadikan Sarah besar kepala di hadapannya. Ia mendekat dan kemudian berbisik. “Sayang sekali kamu gak bisa merasakan kecupan dari seorang pria yang telah menjadi suami. Itu sudah jelas membuktikan bahwa cuma aku yang ada di hatinya selama ini dan aku takkan tergantikan oleh siapapun,” bisiknya perlahan sambil tersenyum. “Ckckck. Wanita jalang yang menyedihkan!” ejeknya.
“Bagus kalau begitu,” balas Camelina. Ia melangkah pergi dari hadapan Sarah dan kemudian siap-siap untuk memasak. Kali ini ia memasak untuk dirinya sendiri.
Kesedihan teramat dalam dirasakannya kini sebagai akibat ide buruk orang lain, dirinya yang malah disalahkan, disalahpahami dan bahkan hal itu sampai terngiang-ngiang di telinga. Tetapi, segala keterpurukan itu ia telan dalam-dalam, ia mencoba membalikkan keadaan dengan memanfaatkan posisinya yang bukan lagi babu di rumah itu. Baginya, kini ia sedikit memiliki hak untuk melakukan pembelaan dan berani mengutarakan isi pikiran tanpa perlu menunjukkan ketakutan di hadapan Sarah.
“Sebenarnya aku capek ditindas terus! Sangat melelahkan. Diuji dengan takdir hidup yang harus dihadapi dengan banyak kesabaran. Terkadang aku berpikir untuk pulang, aku sering merasa tidak tahan lagi tinggal di rumah ini bersama mereka. Tapi ... kalau aku menyerah, aku tidak akan pernah bisa bertemu dengan keluarga asliku sendiri,” lirih Camelina dengan netra yang sudah berkaca-kaca.
Saat ini, hanya aroma yang keluar dari makanan saja yang membuatnya sedikit merasa senang. Meskipun hal itu tidak banyak membantu menghilangkan segala bentuk kesedihan yang dirasakannya.
Putus asa seperti tak ada artinya, Camelina merasa bahwa itu hanya seperti membiarkan diri sendiri tenggelam dalam lubang kehancuran. Namun, itu tidak berarti bahwa ia harus menahan air netra agar tidak keluar. Setelah beberapa waktu ia meratapi kehidupannya sendiri dalam sepiring nasi goreng yang baru selesai ia buat lengkap dengan sosis dan telur mata sapi, ia pun menaruh piring itu di meja kemudian membasuh mukanya di kamar mandi.
Usai menyegarkan wajahnya kembali dengan air dingin, Camelina menyantap sarapannya yang sekitar lima menit ia abaikan. Nasi gorengnya sudah nyaris agak dingin karena AC tidak membuat dirinya menyia-nyiakan makanan yang ia buat. Sekalipun kenikmatan makanan itu rasanya jauh lebih berkurang dibanding biasanya.
Hingga waktu yang sangat ia hindari pun tiba. Sore telah berganti malam dan hangatnya mentari pun telah tergantikan dengan dinginnya angin di antara kegelapan.
Pada malam yang sepi dengan berjuta misteri dalam kepala yang membuat Camelina memilih diam. Ingin coba hindari malam yang menyesakkan itu, tetapi tidak bisa. Ia dipaksa menghadapi semuanya sendiri atas kejadian yang bukan dari bagian pilihan hidupnya.
Pergantian waktu menjadi malam membuat Aderson yang baru selesai mandi sehabis pulang dari kantor tak melupakan niatnya malam ini. Tentu saja, bukan karena desakan Berliana yang ingin segera memiliki penerus keluarga, melainkan rasa penasaran juga menguliti pikirannya.
“Mas, bagaimana kalau kita habiskan dulu setengah dari malam ini sebelum kamu menikmati malam pertamamu dengannya?” rayu Sarah seraya mengelus lembut dada Aderson yang berbulu halus itu. Ia terus menyentuhnya, bahkan mengecup leher Aderson dengan penuh gairah.
Namun, Aderson sama sekali tidak membalas gairah Sarah malam itu. Ia malah membayangkan istri keduanya yang baru ia nikahi, Camelina. Tanpa sadar, ia menepis tangan Sarah dan melangkah pergi dari kamarnya.
Sarah pun langsung memasang wajah cemberut. “Mas!” serunya.
Saat di pintu, Berliana datang dengan membawa minuman pada sebuah gelas. Minumannya berwarna kuning agak coklat muda.
“Kamu jangan ke mana-mana. Pokoknya malam ini harus kamu habiskan dengan istri kedua kamu, tapi sebelum itu, kamu minum dulu ini!” pinta Berliana seraya menyodorkan gelas tersebut.
Sikap Aderson yang mengabaikan dirinya sangat membuat Sarah kesal, tetapi kehadiran Berliana melemahkan niatnya untuk protes kepada suaminya.
Sementara itu Camelina hanya diam termenung seraya memeluk dirinya sendiri. Sesekali ia terbaring dan mencoba tidur, sayangnya tidak berhasil. Di tengah gelapnya ruangan itu, perasaan gundahnya semakin terasa jelas. Kenyamanannya seakan hilang direnggut waktu.
KRIEETT!
Sampai ia mendengar suara pintu dibuka, Camelina menoleh ke arah pintu. Ia menjadi pucat pasi dengan tubuh yang mendadak dingin. “Siapa?” tanya Camelina.
“Ini Mama ...!” sahut Berliana.
Tak bisa dihindari lagi, terlebih itu adalah Berliana yang datang menemuinya langsung.
“Mama masuk, ya!” ujarnya.
“Masuk saja.”
Berliana menyalakan lampu kamar Camelina saat itu, ia berjalan sedikit dan kemudian duduk di samping Camelina. “Ini `kan malam pertama kamu sama Aderson, jadi kamu jangan di sini. Mari biar Mama antar kamu ke sana!” ajaknya.
Camelina tidak langsung menyahut, ia hanya diam dengan mata melihat ke sana-kemari penuh kekhawatiran.
“Aderson tidak akan menggigit kamu, kok. Kamu hanya perlu menjalankan janjimu untuk memberikan aku cucu. Dan malam ini kamu harus mengusahakannya.”
Lembut tetapi penuh dengan kebusukan. Itulah ucapan Berliana yang terdengar di telinganya saat itu. Camelina sungguh merasa jijik karena harus melayani seseorang secara terpaksa, di sampaing itu penolakan pun seperti sebuah kesalahan sebab yang mesti ia layani berstatus sebagai suaminya.
“Kenapa aku selalu menemukan jalan buntu dan tidak mendapatkan pilihan lain?” batin Camelina.
Dari tadi, ia terus mendengar Berliana yang tidak menyerah merayunya demi kepentingan dirinya sendiri, sedangkan dirinya hanya diam. Kini giliran Camelina yang dirasa perlu mengutarakan ketidaknyamanan mengenai situasi yang dirasakannya.“Ma, kalau tujuannya untuk memiliki anak dan merasa malu mengakui menantu seperti saya yang hanya orang miskin, kenapa tidak menikahkan Mas Aderson dengan wanita yang setara?” tanya Camelina dengan pandangan intens ke arah mertuanya.Berliana tersenyum. “Hal semacam itu tidak penting untuk dibahas. Yang terpenting kita bisa mendapat keuntungan masing-masing. Kamu terbebas dari hukuman itu dan saya bisa memiliki cucu.”Lagi-lagi, Camelina merasa menyesal dengan bibirnya yang sudah ia gunakan untuk bertanya pada orang yang sudah jelas-jelas pasti akan menyudutkan dirinya. Meskipun begitu dan apapun alasannya, tetap saja ia tidak bisa menolak.“Baiklah, kalau memang itu mau Mama.” Camelina beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Sed
Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini bersamanya – ia menggagahinya malam ini.Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya."Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa lagi diam dalam kesakitan."Kamu akan kulepaskan set
Beberapa wanita memasuki ruangan khusus yang telah disediakan dengan berbagai macam sajian yang terdapat di meja tamu. Tentu di tempat itu seperti biasa mereka saling memamerkan diri, saling menyanjung satu sama lain dengan segala kepalsuan yang terlontar keluar dari mulut manis mereka, bahkan terkadang membicarakan rumor yang beredar.Tetapi begitu Camelina memasuki ruangan itu dengan membawa buah semangka di piring lonjong yang telah dipotong-potong kecil berbentuk segitiga, suasana mendadak hening. Ini sungguh aneh bagi Berliana sekaligus Camelina itu sendiri, karena tidak biasanya teman-teman arisan Berliana begini. Pandangan mereka langsung terfokus pada penampilan Camelina saat itu. Lalu, tampak sedikit berbisik satu sama lain.”Hei, kalian lihat wanita itu? Apa kamu tidak salah informasi mengenainya?””Tidak. Selama ini aku tidak pernah salah kan dalam menyampaikan gosip terbaru.”Mereka yang menunjukkan jelas dengan saling berbisik satu sama lain membuat Camelina tidak nyaman
“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.“Baiklah kalau memang itu maumu.”Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hat
Malam tiba, saat ia hanyut dalam lamunannya. Namun itu tak bertahan lama, sebab berisik pintu dibuka dari arah luar membuatnya seketika tersentak, lalu menoleh dengan wajah datar. Raut mukanya seolah menyimpan sedikit tanya. `Siapa itu?` pikirnya, menelan ludah tegang.“Kamu ikut saya sekarang!” ajak Aderson, memasang wajah dingin.Camelina sudah tidak aneh lagi dengan ajakan itu. `Apa malam itu belum cukup menyiksaku sampai badanku sakit semua?` batinnya menerka sembari menghela nafas. Begitu Aderson ada di dekatnya, ia langsung bertanya, “Sampai kapan kita akan melakukan itu?” tanya Camelina.Sudah kedua kalinya Aderson mendapat pertanyaan yang serupa dari Camelina dan ia pun ingat pernah menjawabnya, menurutnya kali ini tidak perlu ia jawab lagi.“Gak usah banyak tanya!” jawab Aderson dengan ketus.`Padahal aku cuma tanya, kenapa jawabannya harus seketus itu? Memangnya pertanyaanku tadi itu salah?” umpatnya, pelan.Walaupun tampak tidak peduli, rupanya Aderson mendengarkan setia
Langkah kaki yang nyaris ambruk membuat Aderson antusias langsung menahan tubuh seorang pria tinggi dengan sedikit uban di bagian pinggir kepalanya. Pria itu menjatuhkan tentengan tas kecilnya dan berdalih memegang dadanya yang tampak menahan sesak. Orang-orang memanggilnya Fredy, walau nama sebenarnya adalah Frederick.“Ayo, Pa, biar aku bantu!” ujarnya dengan antusias.Uhuk, Uhuk!Berliana yang saat itu tak sengaja melihat ke arah luar karena ada suara orang batuk, yang setelah diperhatikan ternyata itu suaminya, membuat ia antusias menghampiri. “Papa kamu kenapa, Son?”Selama ini Frederick – suami Berliana selalu menyembunyikan penyakitnya, ia tak pernah mengatakan apapun pada keluarganya. Ia melakukan aktivitas seperti biasa, tanpa memperlihatkan sedikitpun mengenai gangguan kesehatan yang dialaminya.“Pa, darah.” Sedikit darah yang ada di telapak tangan Frederick membuat Aderson langsung cepat-cepat membawanya ke kamar. Ia memapah Ayahnya tanpa menggubris pertanyaan yang dilonta
Malam ini, di dalam kamar, Camelina termenung. Ia belum pergi keluar dari kamar mertuanya itu karena pikirnya bahwa ia pasti akan diperlukan untuk merawat Frederick. Saat itu Aderson dan Sarah sudah keluar dari kamar itu. Kini, hanya tinggal Camelina, Berliana dan Frederick.“Apa tujuannya sekarang? Kenapa mendadak baik dan membelaku?" pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala. Berliana menarik sedikit tangan Camelina untuk berbicara. Saat ini, Berliana merasa belum saatnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di rumah ini. Sebab, ia tidak mau membebani pikiran suaminya yang terbaring sakit."Ikut aku sebentar!" ucap Berliana dengan suara pelan. Ia menarik tangan menantunya yang ada di sana.“Beruntung kamu punya suami seperti putraku. Tapi jangan besar kepala dulu, tetap saja aku tidak akan membebaskan hutangmu itu padaku. Sampai kapanpun, selama bukan kamu yang menggantinya langsung dengan uangmu sendiri, kesalahan yang belum tertebus itu masih akan aku anggap utang!” ucap B
“Aku harus mencarinya. Di mana dia sekarang?” gumamnya seraya melangkah lebih cepat.Camelina berjalan keluar dari rumah itu pagi-pagi sekali. Sarah yang melihat hal itu menyimpan pertanyaan singkat dalam benaknya. “Kenapa dia berjalan keluar terburu-buru begitu? Ada apa dengannya?” gumam Sarah seraya mengernyitkan dahi. Ia berjalan keluar rumah untuk mengikuti, tetapi Berliana datang dan memanggilnya. Hal itu membuat dirinya kehilangan jejak Camelina.Camelina memang sengaja berjalan begitu cepat. Ia tidak mau jika ada banyak orang yang bertanya ke mana dirinya melangkah pergi.“Bisa luangkan waktu sebentar?” tanya Camelina. Ia berdiri di depan sebuah pavilliun ketika melihat Firhan – Ajudan pribadi Aderson yang baru keluar dari sana dengan pakaian rapi.“Ada apa datang kemari?””Mengenai kontrak yang ditandatangani waktu itu, bolehkan aku melihatnya lagi?” tanya Camelina.Firhan malah terdiam sejenak dan memperhatikan raut muka Camelina yang tampak sangat penasaran dan ingin
"Kenapa tiba-tiba mati lampu?" batin Camelina. Ketika itu, Camelina terus meraba-raba mencari tempat yang lebih aman untuk berdiam diri sampai lampu kembali menyala.Tetapi, ketika Camelina tengah berjalan, seseorang dari samping langsung memeluknya. Berusaha melindungi dirinya dari benda-benda tajam yang ada di sekitar sana.Sebab mengira itu Tio, Camelina memeluknya. Ia yang ketakutan, mencoba berlindung di balik dada bidang pria yang saat ini bersamanya."Aku takut gelap," ungkap Camelina.Camelina memang tidak menyukai gelap saat dalam keramaian, karena dirinya takut jika yang ia sentuh adalah orang asing.Sampai lampu kembali menyala. Camelina menjauhkan diri dan menghentikan pelukan itu. Ia melihat warna jas serta kemeja yang dipakai pria itu lebih gelap. Perlahan, Camelina mengangkat kepalanya. Sampai dirinya langsung menelan ludah seketika, ia juga menjauhkan diri dari Aderson yang secara sengaja sempat ia peluk."Kenapa Tuan di sini?" tanya Camelina pelan. Kepalanya menundu
"Kamu sudah mau pulang? Pasti kamu tidak terbiasa, ya?" ungkap Tio yang menyadari bahwa Camelina pasti jarang diajak ke acara mewah semacam ini.Camelina menggelengkan kepala. "Aku cuma sedikit gerah saja." Ia menelan ludah sebentar, lalu bertanya. "Boleh saya tanya sesuatu?""Ya, kenapa?"Karena pandangan Camelina terus tertuju pada Sonya -- Ibu kandung Sarah, sehingga dirinya pun ikut penasaran dan mengikuti pandangan Camelina saat itu.Camelina menunjuk dengan jarinya ke arah Sonya. "Apa kamu tahu siapa wanita itu?" tanya Camelina dengan nada agak ragu."Itu mertuanya Kak Aderson. Memangnya kenapa?" Tio mendadak heran dengan Camelina yang malah bertanya demikian. Entah alasan apa yang menyelimuti wanita itu, tetapi Tio pun tidak terlalu menganggap serius mengenai pertanyaan Camelina.Camelina segera menggelengkan kepala setelah mendapat jawaban itu dari Tio. Meskipun jawabannya belum puas, tetapi Camelina tidak terlalu banyak bertanya karena kecurigaannya ingin ia simpan sendiri
"Sepertinya aku kenal suara ini," batin Camelina dengan dahi berkerut. Suara yang memang tak asing di telinga, apalagi setelah melihat penampilan bagian bawah pria yang kini tepat berada di hadapannya.Secara perlahan, ia mengangkat kepalanya. Begitu tahu bahwa ternyata dugaannya benar, ia langsung menelan ludah."Mau apa Tuan di sini?" tanya Camelina dengan nada ketus sembari terus melanjutkan diri membersihkan luka pada kakinya. Tetapi, Camelina yang sudah kesakitan itu terus berusaha kuat, malah ia hendak mengenakan kembali heels yang sempat melukainya. Namun, dengan cepatnya Aderson meraih tangan Camelina dan menghentikan tangan istrinya itu untuk memasukkan heels ke kaki."Sudah saya bilang ...! Jangan memaksakan diri!" sentak Aderson dengan nada geram.Cara Aderson berbicara itu membuat Camelina semakin merasa bahwa suaminya terlalu mengatur dirinya. Seolah berkuasa atas dirinya dan Camelina tidak menyukai itu.Camelina beranjak dari bawah dan memilih berdiri. "Lepaskan! Urusi
Perjalanan yang sudah dilewati selama beberapa menit pun usai sudah. Tio segera menepikan mobilnya di tempat parkir khusus. Namun, rupanya di samping mobil Tio pun ada mobil Aderson yang baru sampai. Ia menepikan mobilnya di samping mobil Tio. Mata tak bisa berbohong ketika ia melirik sinis ke arah Camelina dengan pandangan tak suka melihat istrinya bersama pria lain."Aku tidak tahu cara berbagi yang sudah menjadi milikku?" batin Aderson dan diamnya.Begitu tahu bahwa Aderson melihat ke arahnya, ia langsung memalingkannya ke arah lain. "Buat apa dia melihat ke sini? Tuan muda itu, aura sombongnya selalu tampak," umpat Camelina dalam batinnya.Camelina dan Tio turun, sedangkan Sarah yang menyadari Aderson diam seraya pandangan ke arah Camelina membuatnya langsung menepuk halus pundak suaminya itu."Mas, kamu kenapa? Ayo kita turun!" ajak Sarah.Melihat tamu undangan yang sudah berdatangan, Sarah khawatir kalau dirinya datang terlambat dengan Aderson. Sedangkan, Aderson-lah yang me
Aderson langsung menarik pergelangan tangan Sarah pergi dari hadapan mereka. Ia melepaskan tangan Sarah dan kemudian berbicara di tempat yang sedang sepi. Saat itu, tempat yang ia ambil adalah dapur, kebetulan di sana sedang tidak ada siapapun, karena beberapa orang di antaranya tengah bersiap-siap pergi."Apa rencana kamu buat Camelina kali ini? Kenapa tidak membicarakannya dulu padaku?" tanya Aderson.Ia berdiri tegap dengan pandangan mengarah pada Sarah yang saat itu tepat berada di hadapannya. "Mas, tenang dulu ...." Sarah mendekat. Ia merapikan dasi suaminya. Walaupun saat itu dari Aderson sudah rapi, tetapi ia membiarkan istrinya merapikannya kembali. Ia hanya diam dengan tatapan seolah sangat menuntut jawaban dari Sarah -- Istri pertamanya itu."Sayang, kamu 'kan tahu sendiri kalau pernikahan kamu sama Camelina itu harus dirahasiakan. Itu artinya jangan sampai ada yang tahu juga kalau Camelina sedang hamil, nanti orang yang melihatnya bakal kebingungan. Mereka bakal bertanya-
Pesona yang terpancar dari diri Camelina membuat Aderson terdiam, seolah waktu menghentikan mereka sejenak hingga tak bergerak bahkan mereka pun tak berkedip.Sorotan matanya tampak jelas bahwa saat itu Aderson tidak dapat berpaling ke wanita lain dan hanya fokus pada Camelina. Begitu pula dengan Tio yang begitu melihat Camelina, ia mengurungkan niatnya untuk duduk.Berbeda dengan Aderson yang masih terkurung dalam egonya. Tio dengan berani langsung menghampiri Camelina dan menjulurkan tangannya untuk menggenggam wanita cantik yang saat ini ada di hadapannya tersebut."Siapa yang mengizinkanmu pergi ke luar? Pekerjaan di rumah masih banyak!" sindir Aderson, berharap Camelina mengerti dan tidak jadi pergi.Hanya saja, saat itu Camelina tidak mendengar teguran dari suaminya. "Tunggu sebentar ...!" kata Camelina kepada Tio. Ia berjalan mendekat kepada Aderson. Lalu, secara perlahan dirinya langsung membuka resleting tas yang dibawanya itu. Ia menyerahkan sejumlah uang kepada Aderson."T
Setelah menyetrika semua pakaian yang ada, ia pun menyerahkannya kepada Berliana yang tengah bersantai ria dengan sebuah majalah di tangannya."Ma, semua pakaian selesai disetrika dan sudah saya letakkan di lemari. Sekarang saya mau makan," ucap Camelina dengan tubuh agak membungkuk sopan.Tanpa sepengetahuan Berliana, pada kesempatan itu, Camelina juga rupanya menyetrika pakaian yang dimilikinya. Ia menyiapkan itu untuk nanti malam supaya ia dapat tampil baik dengan Tio.Tidak peduli siapa yang bersamanya malam nanti, ia hanya ia menunjukkan penampilannya yang cantik mempesona. Bukan masalah cinta atau pasangan lagi, tetapi Camelina menganggap orang yang menghargai dirinya bukan orang yang abai dan merendahkan harga dirinya.Ketika hendak mengambil pakaian miliknya yang ia taruh di meja beberapa saat yang lalu, beberapa lembar uang di bawah pakaian itu jatuh dengan sebuah kertas kecil dengan tulisan di dalamnya."Siapa yang menaruhnya di sini. Perasaan ... tadi tidak ada uang," gumam
"Kalau kamu mau ikut acara itu, ikut saja, tapi jangan harap kuakui sebagai istriku di sana karena pernikahan kita pun rahasia!"Camelina tersenyum simpul. "Baiklah, terima kasih, Mas."Setelah mendapat izin itu, Camelina melangkah pergi dari hadapan Aderson tanpa sempat memberitahu bahwa sebetulnya ia akan pergi menemani Tio.Ia melangkah menuju kamar yang ditempatinya dan langsung mengambil ponsel. Lalu, ia pun menghubungi Tio yang sudah menunggu kepastian dari dirinya itu.Tio yang mendapat panggilan telepon dari Camelina itu sontak langsung tersenyum riang, tanpa berlama-lama, ia pun langsung menjawab teleponnya tersebut.[Halo?]Itulah satu kalimat pertama yabg terlontar keluar dari mulut Camelina. Ia Ing in memastikan terlebih dahulu bahwa yang berbicara dengannya sungguh-sungguh Tio bukan orang lain.[Bagaimana? Malam ini kamu bisa?] Pertanyaan singkat yang terlontar keluar via telepon membuat Camelina sudah yakin dan pasti bahwa itu memang Tio.[Iya. Saya bisa.]Tio langsung
Setelah membiarkan obrolan itu menggantung dan Tio menaruh harapan besar padanya, Camelina mematikan telepon itu begitu saja.Tuutt.Tetapi, untuk menghindari kesapahpahaman, Camelina mengirim sebuah pesan yang isinya ....[Malam ini saya mau tidur. Kita bicarakan lagi besok. Kamu juga pasti mau istirahat kan setelah seharian bekerja.]Hanya itu pesan singkat yang Camelina ketik dan kirimkan di ponselnya. Ia menaruh ponselnya kembali di atas sebuah nakas putih yang ada di samping tempat tidurnya. Kantong belanja yang sempat ia gantungkan di paku besar itu ditatapnya. Ia memandangi benda itu untuk beberapa saat. Dirinya menghela nafas dalam-dalam tanpa tahu bagaimana ia bisa keluar dari masalah yang dihadapinya kini.Waktu sudah semakin larut malam. Camelina membaringkan tubuh langsingnya. Ia mengambil selimut untuk kemudian ia tutup ke seluruh tubuhnya, bahkan sampai rambutnya pun tak terlihat sama sekali."Sepertinya aku harus cepat-cepat melakukan sesuatu," ucap Camelina pelan.Ia