Tak lama setelah ajudan pribadi Aderson pergi, secara mendadak Camelina langsung dikagetkan dengan kedatangan istri pertama Aderson yang menghampirinya. Ia kembali harus merasakan jantung yang berdetak kencang gelisah tak karuan – intuisinya seolah memberitahu akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dan benar saja, Sarah langsung menarik rambut bagian belakangnya begitu saja tanpa alasan yang jelas.
”Setelah berhasil mencuri perhiasan, sekarang malah beraninya mencuri suamiku juga! Apa jangan-jangan kamu memang sengaja merencanakan hal ini sejak awal, wanita jalang!” tuduh istri pertama Aderson dengan ketus.
Sekalipun di depan Berliana tampak setuju dan biasa saja terhadap Camelina, tetapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Sarah menyimpan niat buruk untuk selalu mengganggu Camelina yang kini betul-betul ia anggap saingan dalam hidupnya.
Senyap suasana di ruangan itu semakin memperjelas setiap deru nafasnya yang tampaknya tengah menahan sakit. ”Sakiit!” rintih Camelina. Ia berusaha menahan tangan istri pertama Aderson – Sarah agar melepaskan tarikan tangan itu dari rambutnya. “Harusnya yang kamu salahkan bukan saya, tapi mereka yang mendesakku, kamu sendiri juga tahu itu! Dan .... Bukannya kata Mama, kamu juga setuju!” jelas Camelina.
Apa yang terlontar keluar dari mulut Camelina seperti sebuah sentilan bagi Sarah karena Camelina hanya mengatakan fakta bukan hanya dugaan atau bahkan prasangka. Meskipun di lubuk hatinya yang terdalam Sarah juga mengakuinya, tetapi kebencian yang lebih besar kepada Camelina membuat ia buta dan yang salah di matanya tetaplah wanita yang ia anggap saingannya. Melihat Camelina yang tidak menangis dan malah melawan perkataannya, membuat wanita itu menguatkan tarikan tangannya, sampai ada beberapa helai rambut Camelina jatuh bertebaran di lantai. Tetapi, hal itu pun tidak membuat Sarah – istri pertama Aderson puas dan berhenti menyakiti. Makin tampak tegar Camelina, semakin membuat perilakunya menjadi-jadi.
“Ah, sudahlah. Aku tidak mau mendengar alasan apapun, kamu ini memang perempuan licik!”
Apapun bentuk penghinaan yang terlontar keluar dari mulut Sarah tidak membuat Camelina takut untuk mempertahankan haknya. Terlebih lagi perilaku Sarah sudah sangat berlebihan menyakiti dirinya, entah itu secara fisik bahkan mental.
“Daripada kamu marah-marah dan menyesali keputusan kamu sendiri, lebih baik jaga suami kamu jangan sampai mencintaiku, supaya tidak cemburu buta begini!” usul Camelina dengan santainya.
Sampai pada saat yang tak terduga, Aderson datang. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanya Aderson terheran-heran. Sontak, Sarah pun langsung melepaskan tarikan tangannya dari rambut Camelina.
Keduanya menoleh ke arah pintu – tepat dimana suara itu berasal. Aderson mendekat, ia berdiri di antara kedua istrinya. Sarah yang merasa bersalah karena memperlakukan Camelina dengan kasar pun membuat dirinya ketar-ketir ketakutan. Sarah khawatir jika ternyata Aderson memperhatikan mereka sejak tadi dan mendengar semua perkataan yang ditujukan pada Camelina.
Sarah pun langsung mendekati Aderson, lalu ia memegang lengan suaminya. “Mas, apa yang kamu lakukan di sini?”
“Tadi ada yang ketinggalan, tapi malah ada suara berisik yang terdengar samar, jadi memutuskan untuk melihat ke sini sebentar. Memangnya kalian sedang bahas apa?” tanya Aderson penasaran.
“Itu soal sarapan saja. Tadi Camelina diajak sarapan di luar, tapi malah nolak,” jawab Sarah sambil menoleh ke arah Camelina. “Iya, `kan?” lanjutnya dengan pandangan yang sedang mengancam Camelina agar meng`iya`kan perkataannya tersebut.
Aderson melihat ke arah Camelina, tetapi ia hanya diam tanpa memberikan respon apapun. Sekalipun ia pernah menjadi asisten rumah tangga di rumah itu, ia tidak akan mudah lagi tunduk pada orang lain. Baginya, ia punya hak untuk menentang atau bahkan mengabaikan sesuatu.
Aderson melihat ke arah jam tangannya. ”Ya sudah kalau begitu, aku berangkat!”ujarnya. Ia mengecup dahi istri pertamanya, sedangkan Camelina memalingkan wajahnya. Sebelum berangkat ke kentor, Aderson menoleh – melihat ke arah dahi Camelina.
Menyaksikan Camelina yang diabaikan tanpa mendapat kecupan cinta dari suaminya menjadikan Sarah besar kepala di hadapannya. Ia mendekat dan kemudian berbisik. “Sayang sekali kamu gak bisa merasakan kecupan dari seorang pria yang telah menjadi suami. Itu sudah jelas membuktikan bahwa cuma aku yang ada di hatinya selama ini dan aku takkan tergantikan oleh siapapun,” bisiknya perlahan sambil tersenyum. “Ckckck. Wanita jalang yang menyedihkan!” ejeknya.
“Bagus kalau begitu,” balas Camelina. Ia melangkah pergi dari hadapan Sarah dan kemudian siap-siap untuk memasak. Kali ini ia memasak untuk dirinya sendiri.
Kesedihan teramat dalam dirasakannya kini sebagai akibat ide buruk orang lain, dirinya yang malah disalahkan, disalahpahami dan bahkan hal itu sampai terngiang-ngiang di telinga. Tetapi, segala keterpurukan itu ia telan dalam-dalam, ia mencoba membalikkan keadaan dengan memanfaatkan posisinya yang bukan lagi babu di rumah itu. Baginya, kini ia sedikit memiliki hak untuk melakukan pembelaan dan berani mengutarakan isi pikiran tanpa perlu menunjukkan ketakutan di hadapan Sarah.
“Sebenarnya aku capek ditindas terus! Sangat melelahkan. Diuji dengan takdir hidup yang harus dihadapi dengan banyak kesabaran. Terkadang aku berpikir untuk pulang, aku sering merasa tidak tahan lagi tinggal di rumah ini bersama mereka. Tapi ... kalau aku menyerah, aku tidak akan pernah bisa bertemu dengan keluarga asliku sendiri,” lirih Camelina dengan netra yang sudah berkaca-kaca.
Saat ini, hanya aroma yang keluar dari makanan saja yang membuatnya sedikit merasa senang. Meskipun hal itu tidak banyak membantu menghilangkan segala bentuk kesedihan yang dirasakannya.
Putus asa seperti tak ada artinya, Camelina merasa bahwa itu hanya seperti membiarkan diri sendiri tenggelam dalam lubang kehancuran. Namun, itu tidak berarti bahwa ia harus menahan air netra agar tidak keluar. Setelah beberapa waktu ia meratapi kehidupannya sendiri dalam sepiring nasi goreng yang baru selesai ia buat lengkap dengan sosis dan telur mata sapi, ia pun menaruh piring itu di meja kemudian membasuh mukanya di kamar mandi.
Usai menyegarkan wajahnya kembali dengan air dingin, Camelina menyantap sarapannya yang sekitar lima menit ia abaikan. Nasi gorengnya sudah nyaris agak dingin karena AC tidak membuat dirinya menyia-nyiakan makanan yang ia buat. Sekalipun kenikmatan makanan itu rasanya jauh lebih berkurang dibanding biasanya.
Hingga waktu yang sangat ia hindari pun tiba. Sore telah berganti malam dan hangatnya mentari pun telah tergantikan dengan dinginnya angin di antara kegelapan.
Pada malam yang sepi dengan berjuta misteri dalam kepala yang membuat Camelina memilih diam. Ingin coba hindari malam yang menyesakkan itu, tetapi tidak bisa. Ia dipaksa menghadapi semuanya sendiri atas kejadian yang bukan dari bagian pilihan hidupnya.
Pergantian waktu menjadi malam membuat Aderson yang baru selesai mandi sehabis pulang dari kantor tak melupakan niatnya malam ini. Tentu saja, bukan karena desakan Berliana yang ingin segera memiliki penerus keluarga, melainkan rasa penasaran juga menguliti pikirannya.
“Mas, bagaimana kalau kita habiskan dulu setengah dari malam ini sebelum kamu menikmati malam pertamamu dengannya?” rayu Sarah seraya mengelus lembut dada Aderson yang berbulu halus itu. Ia terus menyentuhnya, bahkan mengecup leher Aderson dengan penuh gairah.
Namun, Aderson sama sekali tidak membalas gairah Sarah malam itu. Ia malah membayangkan istri keduanya yang baru ia nikahi, Camelina. Tanpa sadar, ia menepis tangan Sarah dan melangkah pergi dari kamarnya.
Sarah pun langsung memasang wajah cemberut. “Mas!” serunya.
Saat di pintu, Berliana datang dengan membawa minuman pada sebuah gelas. Minumannya berwarna kuning agak coklat muda.
“Kamu jangan ke mana-mana. Pokoknya malam ini harus kamu habiskan dengan istri kedua kamu, tapi sebelum itu, kamu minum dulu ini!” pinta Berliana seraya menyodorkan gelas tersebut.
Sikap Aderson yang mengabaikan dirinya sangat membuat Sarah kesal, tetapi kehadiran Berliana melemahkan niatnya untuk protes kepada suaminya.
Sementara itu Camelina hanya diam termenung seraya memeluk dirinya sendiri. Sesekali ia terbaring dan mencoba tidur, sayangnya tidak berhasil. Di tengah gelapnya ruangan itu, perasaan gundahnya semakin terasa jelas. Kenyamanannya seakan hilang direnggut waktu.
KRIEETT!
Sampai ia mendengar suara pintu dibuka, Camelina menoleh ke arah pintu. Ia menjadi pucat pasi dengan tubuh yang mendadak dingin. “Siapa?” tanya Camelina.
“Ini Mama ...!” sahut Berliana.
Tak bisa dihindari lagi, terlebih itu adalah Berliana yang datang menemuinya langsung.
“Mama masuk, ya!” ujarnya.
“Masuk saja.”
Berliana menyalakan lampu kamar Camelina saat itu, ia berjalan sedikit dan kemudian duduk di samping Camelina. “Ini `kan malam pertama kamu sama Aderson, jadi kamu jangan di sini. Mari biar Mama antar kamu ke sana!” ajaknya.
Camelina tidak langsung menyahut, ia hanya diam dengan mata melihat ke sana-kemari penuh kekhawatiran.
“Aderson tidak akan menggigit kamu, kok. Kamu hanya perlu menjalankan janjimu untuk memberikan aku cucu. Dan malam ini kamu harus mengusahakannya.”
Lembut tetapi penuh dengan kebusukan. Itulah ucapan Berliana yang terdengar di telinganya saat itu. Camelina sungguh merasa jijik karena harus melayani seseorang secara terpaksa, di sampaing itu penolakan pun seperti sebuah kesalahan sebab yang mesti ia layani berstatus sebagai suaminya.
“Kenapa aku selalu menemukan jalan buntu dan tidak mendapatkan pilihan lain?” batin Camelina.
Dari tadi, ia terus mendengar Berliana yang tidak menyerah merayunya demi kepentingan dirinya sendiri, sedangkan dirinya hanya diam. Kini giliran Camelina yang dirasa perlu mengutarakan ketidaknyamanan mengenai situasi yang dirasakannya.“Ma, kalau tujuannya untuk memiliki anak dan merasa malu mengakui menantu seperti saya yang hanya orang miskin, kenapa tidak menikahkan Mas Aderson dengan wanita yang setara?” tanya Camelina dengan pandangan intens ke arah mertuanya.Berliana tersenyum. “Hal semacam itu tidak penting untuk dibahas. Yang terpenting kita bisa mendapat keuntungan masing-masing. Kamu terbebas dari hukuman itu dan saya bisa memiliki cucu.”Lagi-lagi, Camelina merasa menyesal dengan bibirnya yang sudah ia gunakan untuk bertanya pada orang yang sudah jelas-jelas pasti akan menyudutkan dirinya. Meskipun begitu dan apapun alasannya, tetap saja ia tidak bisa menolak.“Baiklah, kalau memang itu mau Mama.” Camelina beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Sed
Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini bersamanya – ia menggagahinya malam ini.Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya."Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa lagi diam dalam kesakitan."Kamu akan kulepaskan set
Beberapa wanita memasuki ruangan khusus yang telah disediakan dengan berbagai macam sajian yang terdapat di meja tamu. Tentu di tempat itu seperti biasa mereka saling memamerkan diri, saling menyanjung satu sama lain dengan segala kepalsuan yang terlontar keluar dari mulut manis mereka, bahkan terkadang membicarakan rumor yang beredar.Tetapi begitu Camelina memasuki ruangan itu dengan membawa buah semangka di piring lonjong yang telah dipotong-potong kecil berbentuk segitiga, suasana mendadak hening. Ini sungguh aneh bagi Berliana sekaligus Camelina itu sendiri, karena tidak biasanya teman-teman arisan Berliana begini. Pandangan mereka langsung terfokus pada penampilan Camelina saat itu. Lalu, tampak sedikit berbisik satu sama lain.”Hei, kalian lihat wanita itu? Apa kamu tidak salah informasi mengenainya?””Tidak. Selama ini aku tidak pernah salah kan dalam menyampaikan gosip terbaru.”Mereka yang menunjukkan jelas dengan saling berbisik satu sama lain membuat Camelina tidak nyaman
“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.“Baiklah kalau memang itu maumu.”Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hat
Malam tiba, saat ia hanyut dalam lamunannya. Namun itu tak bertahan lama, sebab berisik pintu dibuka dari arah luar membuatnya seketika tersentak, lalu menoleh dengan wajah datar. Raut mukanya seolah menyimpan sedikit tanya. `Siapa itu?` pikirnya, menelan ludah tegang.“Kamu ikut saya sekarang!” ajak Aderson, memasang wajah dingin.Camelina sudah tidak aneh lagi dengan ajakan itu. `Apa malam itu belum cukup menyiksaku sampai badanku sakit semua?` batinnya menerka sembari menghela nafas. Begitu Aderson ada di dekatnya, ia langsung bertanya, “Sampai kapan kita akan melakukan itu?” tanya Camelina.Sudah kedua kalinya Aderson mendapat pertanyaan yang serupa dari Camelina dan ia pun ingat pernah menjawabnya, menurutnya kali ini tidak perlu ia jawab lagi.“Gak usah banyak tanya!” jawab Aderson dengan ketus.`Padahal aku cuma tanya, kenapa jawabannya harus seketus itu? Memangnya pertanyaanku tadi itu salah?” umpatnya, pelan.Walaupun tampak tidak peduli, rupanya Aderson mendengarkan setia
Langkah kaki yang nyaris ambruk membuat Aderson antusias langsung menahan tubuh seorang pria tinggi dengan sedikit uban di bagian pinggir kepalanya. Pria itu menjatuhkan tentengan tas kecilnya dan berdalih memegang dadanya yang tampak menahan sesak. Orang-orang memanggilnya Fredy, walau nama sebenarnya adalah Frederick.“Ayo, Pa, biar aku bantu!” ujarnya dengan antusias.Uhuk, Uhuk!Berliana yang saat itu tak sengaja melihat ke arah luar karena ada suara orang batuk, yang setelah diperhatikan ternyata itu suaminya, membuat ia antusias menghampiri. “Papa kamu kenapa, Son?”Selama ini Frederick – suami Berliana selalu menyembunyikan penyakitnya, ia tak pernah mengatakan apapun pada keluarganya. Ia melakukan aktivitas seperti biasa, tanpa memperlihatkan sedikitpun mengenai gangguan kesehatan yang dialaminya.“Pa, darah.” Sedikit darah yang ada di telapak tangan Frederick membuat Aderson langsung cepat-cepat membawanya ke kamar. Ia memapah Ayahnya tanpa menggubris pertanyaan yang dilonta
Malam ini, di dalam kamar, Camelina termenung. Ia belum pergi keluar dari kamar mertuanya itu karena pikirnya bahwa ia pasti akan diperlukan untuk merawat Frederick. Saat itu Aderson dan Sarah sudah keluar dari kamar itu. Kini, hanya tinggal Camelina, Berliana dan Frederick.“Apa tujuannya sekarang? Kenapa mendadak baik dan membelaku?" pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala. Berliana menarik sedikit tangan Camelina untuk berbicara. Saat ini, Berliana merasa belum saatnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di rumah ini. Sebab, ia tidak mau membebani pikiran suaminya yang terbaring sakit."Ikut aku sebentar!" ucap Berliana dengan suara pelan. Ia menarik tangan menantunya yang ada di sana.“Beruntung kamu punya suami seperti putraku. Tapi jangan besar kepala dulu, tetap saja aku tidak akan membebaskan hutangmu itu padaku. Sampai kapanpun, selama bukan kamu yang menggantinya langsung dengan uangmu sendiri, kesalahan yang belum tertebus itu masih akan aku anggap utang!” ucap B
“Aku harus mencarinya. Di mana dia sekarang?” gumamnya seraya melangkah lebih cepat.Camelina berjalan keluar dari rumah itu pagi-pagi sekali. Sarah yang melihat hal itu menyimpan pertanyaan singkat dalam benaknya. “Kenapa dia berjalan keluar terburu-buru begitu? Ada apa dengannya?” gumam Sarah seraya mengernyitkan dahi. Ia berjalan keluar rumah untuk mengikuti, tetapi Berliana datang dan memanggilnya. Hal itu membuat dirinya kehilangan jejak Camelina.Camelina memang sengaja berjalan begitu cepat. Ia tidak mau jika ada banyak orang yang bertanya ke mana dirinya melangkah pergi.“Bisa luangkan waktu sebentar?” tanya Camelina. Ia berdiri di depan sebuah pavilliun ketika melihat Firhan – Ajudan pribadi Aderson yang baru keluar dari sana dengan pakaian rapi.“Ada apa datang kemari?””Mengenai kontrak yang ditandatangani waktu itu, bolehkan aku melihatnya lagi?” tanya Camelina.Firhan malah terdiam sejenak dan memperhatikan raut muka Camelina yang tampak sangat penasaran dan ingin
"Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia
"Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C
"Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap
[Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s
"Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.
Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.
Jas itu dikembalikan pada Aderson yang tengah duduk dengan mata terpejam dan kedua tangan terlipat di dada. Ketika Camelina kembali pada posisi duduk sebelumnya, Aderson membuka salah satu matanya perlahan. Bibirnya menyungging. Ia tahu bahwa Camelina yang menaruhnya, karena sebetulnya tidak sungguhan tidur. Ia hanya tidak tahu bagaimana bersikap ketika Camelina bangun, dirinya juga merasa gengsi untuk mengatakan bahwa ia yang menaruh jas miliknya di tubuh Camelina."Kamu belum makan, makanlah!" ujar Aderson seraya menyodorkan plastik yang berisi kotak makanan kepada Camelina. Sontak, Camelina menoleh kebingungan. "Aku pikir dia tidur. Apa tadi dia pura-pura dan tahu kalau aku menaruh jas itu padanya?" batin Camelina dengan mulut sedikit terbuka."Apa ini?" tanya Camelina. Kantong plastik itu berwarna putih, ia tidak tahu apa lagi yang dibawa Aderson dan diberikan padanya. "Tidak perlu repot-repot."Aderson merasa Camelina menolak pemberiannya secara halus. Tetapi, ia tidak menyer
"Nak, Mama mau bertemu sama Papa kamu," pinta Berliana yang baru tersadar bahwa ia tengah berada di rumah sakit dan sejak kejadian yang terbayang di kepala itu; ia belum melihatnya lagi."Iya, Ma. Papa ada di sebelah Mama," kata Aderson.Sekalian, Aderson juga belum menemui Ayahnya. Ia memilih untuk menemui Ibunya terlebih dahulu.Aderson menoleh ke arah Camelina, Camelina paham betul. Camelina melihat kesana kemari seperti tengah mencari keberadaan sesuatu."Mas, tapi tidak ada kursi roda di sini," ungkap Camelina setelah memastikan keadaan di ruangan itu.Sampai perawat datang ke ruangan itu ....Sontak saja, Aderson pun bertanya kepada perawat yang datang itu. "Boleh saya pinjam kursi rodanya, Sus?" "Untuk saat ini, pasien belum boleh turun dari ranjang. Masih perlu waktu dua minggu sampai keadaannya sedikit membaik.""Baiklah. Terima kasih, Sus."Perawat itu menaruh makanan dengan obat yang harus diminum malam ini di nakas pasien. "Makan dulu, lalu minum obatnya. Nanti yang bole
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Sarah, kebingungan.Bagaimana tidak bingung, ini sudah malam dan dirinya merasa bahwa keluarga itu tidak ada urusan apapun dengan Tio. Ditambah lagi, biasanya Tio tidak pernah datang larut malam seperti itu. Hanya kali ini saja ia melihatnya."Kalau kamu cari wanita itu, kamu kembali besok lagi saja. Malam ini tidak ada."BRAK!Sarah menutup pintu itu kembali karena merasa tidak ada sesuatu hal yang penting. Akan tetapi, begitu membalikkan badan, Sarah terdiam sejenak. "Benar juga," gumamnya. Ia berbalik kembali ke pintu.Krieett! Pintu itu dibukanya kembali."Oh ya, mau apa?" tanya Sarah. "Besok saja. Tidak jadi."Setelah mendengar pernyataan Sarah sebelumnya, Tio memilih pulang saja karena menurutnya tidak ada gunanya ia membicarakan tujuannya dengan Sarah. Sebab, niatnya adalah ingin bertemu sekaligus membicarakannya dengan Camelina langsung."Tapi .... Camelina pergi ke mana?" tanya Tio, sebelum meninggalkan rumah itu."Tidak tahu. Memangnya aku Mam