"Ikut Kakak!" ucap Kina tegas, menarik Zana dari sana agar ikut dengannya. Setelan sampai di kamarnya, dia mengunci pintu agar tak ada yang masuk.
"Yang kamu lihat tadi-- Kakak dan Daddymu hanya berbicara. Nggak ada berciuman-berciuman. Lagian kamu tahu tahu dari mana pasal berciuman. Masih kecil juga," ucap Kina pada Zana, dia duduk di lantai beralaskan karpet berbulu. Disusul oleh Zana, yang duduk tepat di sebelahnya."Tapi kan tidak apa-apa. Kak Kin akan menikah dengan Daddy," celetuk Zana, tiba-tiba berdiri sebab melihat toples berisi bola-bola coklat di meja yang ada dalam kamar."Kapan aku setuju menikah dengan Daddy kamu? Enggak yah, Zana. Kakak nggak mau menikah dengan Daddy kamu, dia itu du--" Ucapan Kina berhenti seketika, mengingat perkataan Zayyan padanya tadi.'Aku menjadi duda juga untukmu.' Kepalanya mendadak dipenuhi dengan kalimat dari Zayyan tersebut. Apa maksudnya dan kenapa Kina terus memikirkan itu?"Tadi Kak Kin sudah setuju menjadi Mommy Zana." Zana tidak jadi mengambil coklat tersebut, berlari cepat ke arah Kina. Dia kemudian menggoyang-goyangkan tubuh Kina, memaksa agar Kina bersedia menikah dengan Daddynya. "Kak Kin harus mau menikah dengan Daddy. Zana hanya mau Kak Kin yang menjadi ibu Zana. Kak Kin harus mau, Kak Kin harus menikah dengan Daddy. Kak Kin …-""Stop!" kesal Kina, melayangkan tatapan galak pada Zana. "Tak semua yang kamu mau harus dituruti! Berhenti merengek atau Kakak akan marah sungguhan padamu!"Zana langsung memanyunkan bibir, duduk di sebelah Kina dengan kepala menunduk ingin menangis. "Tapi … Kak Kin menyayangi Zana, Kak Kin tidak akan menjadi ibu tiri yang jahat seperti yang teman-teman Nana bilang.""Tetap tidak bisa." Kina berkata tegas, "meskipun nanti kamu mendapatkan Mama baru, tentunya Kakak akan selalu menyayangi kamu. Kita tetap bisa bermain bersama,"tambahnya.Zana mendongak ke arah Kina, menampilkan mata berkaca-kaca–ingin menangis. "Zana tidak dekat dengan Daddy. Jika Nana punya Mama baru tapi bukan Kakak, Mama baru akan membuat Nana semakin jauh dari Daddy. Zana sudah tidak punya Mama, dan akan berlanjut tidak punya Daddy kalau bukan Kak Kin yang menjadi Mama baru Nana. Kalau Kak Kin yang menjadi Mama baru, meskipun Daddy jauh dari Nana, tapi Kak Kin tetap sayang Nana. Zana masih punya Kak Kin," celetuk anak menggemaskan tersebut dengan penuh perasaan.Kina mengamati Zana, menatap sendu serta iba pada keponakannya tersebut. Kasihan Zana jika harus mendapatkan ibu tiri yang tidak tepat, akan tetapi … Kina tidak bisa. Dia tidak mungkin menikah dengan Zayyan yang sudah ia anggap sebagai kakak–sosok yang harus ia hormati dan segani."Daddy jahat yah sama kamu?" tanya Kina secara mendadak.Zana menggelengkan kepala. "Daddy itu baik. Tapi Zana takut pada Daddy. Dia tidak pernah mengobrol dengan Zana, tidak pernah menyanyikan lagu pengantar tidur, tidak pernah ke kamar Zana saat malam, tidak pernah ke sekolah Zana dan … Daddy tidak mau bermain dengan Zana.""Tapi Daddy sayang pada Zana, Kak. Jika Zana sakit, Daddy terlihat khawatir. Daddy akan menggendong Zana hingga tidur. Terus Daddy akan berbisik seperti ini pada Zana, 'Bersabarlah, Nak, sebentar lagi Mommy akan bersama kita."Zana mengerutkan kening. Bukankah Zayyan tidak peduli pada Sheila? Lalu kenapa dia mengharapkan perempuan itu sembuh? Apa hanya semata-mata untuk menenangkan Zana?"Tapi Daddy berbohong kan, Kak? Mama pergi. Selamanya," tambah Zana murung. "Tapi tidak apa-apa, Zana masih punya Kak Kin. Sejak awal kan Nana selalu dengan Kak Kin, membuat Nana tak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari Mama."Kina langsung tersenyum kecut, terharu tetapi juga tertohok mendengar perkataan Zana. Sekarang, dia semakin kasihan pada Zana.Tok tok tok'Pintu kamar Kina tiba-tiba diketuk, dia langsung bangkit kemudian buru-buru membuka pintu, memperlihatkan sosok pria yang menjulang tinggi dengan raut muka dingin dan tatapan mata menghunus.Sosok itu menatapnya sejenak lalu beralih menatap putri kecilnya."Kenna," panggil Zayyan pada putrinya."I …-" Kina langsung merapatkan bibir, meringis sangat malu karena hampir saja dia bersuara–berpikir jika dia lah yang dipanggil oleh Zayyan. Namun, sial! Zana lah yang Zayyan panggil.Bukan Kina tapi Kenna!'Lagian kan dia selalu memanggilku Angie, dan bisa-bisanya tadi aku kege'eran.'"Tunggu sebentar, Daddy," ucap Zana pelan dan hati-hati, begitu kaku padahal dia berbicara dengan Daddynya sendiri. Zana berlari ke arah meja di kamar Kina lalu meraih toples berisi coklat yang sejak tadi ia inginkan tersebut."Nana boleh meminta ini, Kak?" tanya Zana pada Kina, setelah dia di sebelah Daddynya."Bo-boleh. Ambil saja," jawab Kina cukup kikuk. 'Minta apa yang ngambil semuanya? Ck, Papanya di sini lagi. Coba kalau papanya nggak di sini, udah kumarahi nih bocah. Bukan pelit, tapi … ya nggak semua nya juga diambil. Untukku apa?' batin Kina, menggaruk tengkuk sebab sedikit tak ikhlas coklat kesukaannya dibawa oleh Zana."Pulang." Zayyan berkata datar, merunduk untuk menatap wajah mungil putrinya.Zana menganggukkan kepala, dia tiba-tiba meraih tangan Kina–menyalamnya untuk pamit pulang. "Nana pulang dulu, Kak Kin. Besok Nana datang lagi, kita bermain masak-masak bersama yah.""Iya," jawab Kina sembari menganggukkan kepala. Dia sangat gugup, berhadapan dengan Zayyan membuat jantungnya berdebar tak karuan. Padahal Zayyan bahkan tak acuh pada dirinya. Sial!"Bahkan kalian bisa memasak sungguhan. Tetapi setelan Daddy menikahi Mommy Kina," ucap Zayyan tiba-tiba, suaranya cukup lembut dan kalimatnya lumayan panjang untuk Zana yang selalu memimpikan mengobrol banyak dengan Daddynya.Mata Zana langsung berbinar, senang dan bahagia sebab Daddynya berbicara panjang. Untuk pertama kalinya! Sedangkan Kina, dia syok dengan punggung kaku dan panas. Ba--bahkan Zayyan sudah menyebut dirinya Mommy?!Setelah Zayyan dan Zana pergi, Kina langsung menghela napas secara panjang. Dia buru-buru masuk dalam kamar. Zayyan mendadak menjadi makhluk menyeramkan di mata Kina.***"Apa yang kamu lakukan semalam benar-benar membuat Papa malu. Tuan Za marah besar!" amuk Luis pada Kina yang sedang sarapan.Kina langsung berhenti makan, menelan susah payah nasi dalam mulutnya. Kina hanya diam, menatap nanar nasi yang tinggal setengah lagi."Kamu pikir kamu siapa berani menolak pernikahan ini dengan Tuan Za? Kamu bukan siapa-siapa! Kamu memang harus menikah dengan Tuan Za, Zana harus punya ibu dan kamulah ibunya!" marah Luis kembali, "kamu tidak bisa membantah! Sok-sokan menolak karena ingin mengejar impian. Cih, memangnya kamu pernah bergerak untuk mewujudkan impian mu?! Tidak! Yang kamu tahu hanya diam di rumah ini. Makan, minum, tidur, jajan, itu saja yang kamu bisa lakukan. Mimpi apa yang terwujud jika kamu saja memilih malas-malasan? Jadi lebih baik kamu menikah dengan Tuan Za, setidaknya dengan begitu kamu terlihat berguna! Daripada di sini, kamu hanya pengangguran."Brak'Kina langsung melempar piring di depannya dengan penuh kemarahan–ke lantai, membuat piring tersebut pecah dan berserakan.Para maid langsung menundukkan kepala, cukup takut dan khawatir pada kondisi ini. Sarah menbisu di tempat, sangat kaget sebab Kina melempar piring. Sedangkan Luis, dia melayangkan tatapan nyalang ke arah putrinya."Pantas Papa bicara seperti itu padaku?! Menyalahkan ku karena hanya diam di rumah selama ini?! Pantas Papa bilang begitu, Hah?!" amuk Kina, berteriak marah dengan wajah memerah padam. "Coba tanya pada semua orang di rumah ini, apa alasan aku tidak bisa melangkah dari rumah ini? Tanya mereka kenapa aku masih pengangguran di saat teman-temanku sudah pada sibuk dengan bisnis mereka? TANYA!""BERANINYA KAMU BERTERIAK PADA PAPAMU SENDIRI!! DURHAKA!" Luis murka."EMANG KENAPA KALAU AKU DURHAKA?!" Semakin tinggi nada bicara papanya, Kina semakin meninggikan suara. Dia tak mau kalah, terlalu sakit oleh ucapan papanya sendiri. "Meninggikan suara dikit, disebut durhaka. Diam melulu, kalian semena-mena padaku," keluh Kina setelah berteriak kencang pada Papanya."Aku capek, Pah. Aku capek dengan sikap kalian. Sejak Zana masih bayi, aku yang mengasuhnya, beberapa kali ujian kampus tertinggal hanya karena Zana. Apa-apa aku yang harus melakukannya, padahal bukan aku ibunya. Oke, aku mengerti dan paham, Kak Sheila sakit, tidak bisa menjaga anaknya. Tapi … kalian kemana? Ke Kak Sheila kan? Kalian lebih memilih menjaga Kak Sheila ketimbang menjaga Zana, padahal sebentar saja supaya aku bisa belajar dengan tenang dan ikut ujian. Setelah lulus kuliah pun kalian begitu, terus menuntut ku untuk menjaga Zana. Beberapa kali aku berupaya mencari pekerjaan, beberapa kali berhasil tetapi kalian? Kalian melarang! Kalian takut aku tidak bisa fokus lagi untuk menjaga Zana. Sekarang Papa mempermasalahkan ku yang seperti ini.""Karena Zana putrimu. Sheila sudah tiada, dan kamulah yang meneruskan untuk menjadi ibu Zana," ucap Luis, memelankan suara. Dia cukup merasa bersalah setelah mendengar penuturan putrinya."Oh yah? Emangnya saat dia hidup, dia pernah menjadi ibu Zana?" sinis Kina, sakit hati karena apa-apa selalu Shila. Orang tuanya hanya memikirkan Sheila. Sedangkan dia, mungkin hanya pengganti Sheila bagi siapapun. "Kina!" geram Luis. "Sheila kakakmu dan sudah sepatutnya kamu merawat anaknya setelah dia tiada.""Merawat suaminya juga? Cih, enak banget jadi si Sheila Anj itu! Dari kecil apa-apa dia mendapatkan yang baru, sedangkan aku selalu dapat bekas dia. Bahkan suami pun, harus dia dulu yang make! Semua bekas!""KINA!" bentak Luis secara murka.Kina mengabaikan bentakan ayahnya. Kina beranjak dari sana, berjalan cepat keluar dari ruang makan.Sarah--ibu Kina, langsung menenangkan suaminya. Sedangkan para maid segera membereskan kekacauan.Kina masuk dalam kamarnya, dengan kepala panas dan air mata yang terus bercucuran keluar dia mengemasi pakaian dalam koper. Entah bisikan setan dari mana, tetapi Kina memutuskan untuk kabur. Dia sudah tak tahan! Hidupnya terlalu sempit jika terus berada di sini.'Aku lebih baik tinggal dengan Paman dan Bibi. Mereka lebih sayang padaku dibandingkan Ayah ibuku sendiri,' batin Kina, terus memasukkan pakaian dalam koper.Ceklek'Tiba-tiba saja, pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Zana dengan wajah sedih dan ingin menangis. Anak kecil itu berlari ke arah Kina dan langsung berhambur ke pelukannya."Kak Kinaaa …," tangis Zana, memeluk erat kaki Kina. "Maafin Nana … hiks … sebab Nana ada, Kak Kin tidak bisa mengejar cita-cita Kakak. Hiks … maafin Nana sebab membenani …-""Syuttt!" Tak tahan mendengar tangisan Zana, Kina langsung membawa keponakannya tersebut dalam dekapannya. "Kamu mendengar ucapan Kakak tadi?" tanya Kina selanjutnya, masih mengusap pucuk kepala Zana agar anak kecil menggemaskan tersebut berhenti menangis dan merasa jauh lebih baik."U'uh." Zana menanggukkan kepala, "Nana melihat Kakak dan Kakek bertengkar. Kak Kin marah dan bilang ujian Kak Kin gagal sebab Nana.""Bukan karena kamu, Angle kecilku," ucap Kina lembut, berupaya tersenyum meskipun hatinya perih, "tetapi karena mereka.""Apa Nana beban untuk impian Kakak?"Kina menggelengkan kepala, "tidak sama sekali. Malah kamu adalah support terbesar yang Kakak punya. Hanya saja mereka jahat ke Kakak, mereka terlalu mengkhawatirkan putri mereka yang lain dan tidak peduli pada Kakak."Baginya Zana adalah teman, oleh sebab itu Kina sering curhat pada anak ini. Sedangkan Zana, dia selalu menjadi pendengar terbaik untuk Kina."Kakak ingin pergi yah? Zana ikut dong. Zana hanya punya Kakak, Daddy cuek pada Zana dan kalau tak ada Kak Kin, tak akan ada yang mau peduli pada Nana di sini."Kina menatap lekat kepada Zana, dia berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. Kasihan jika dia meninggalkan Zana, tak ada yang peduli pada anak ini--hanya dia. Bahkan Sheila, dia juga tak pernah menunjukkan kepeduliannya pada Zana.***Setelah memutuskan kabur dari rumah, sekarang Kina berada di kota lain. Dia membeli rumah kecil untuknya tinggal bersama Zana. Mereka berdua akan hidup bersama, memulai dari awal sebagai pasangan kakak adik yang manis."Nana merasa antusias ingin menjalani hidup berdua dengan Kak Kin. Kita akan bahagia dan tak ada lagi yang mengganggu Kak Kin untuk mengejar impian. Horeee …." Zana menyeru senang, berjalan riang di sebelah Kina. Mereka berdua baru saja dari minimarket, membeli kebutuhan sehari-hari–setelah sebelumnya membersihkan rumah.'Harusnya sih nggak apa-apa aku bawa Zana. Kan Kak Zayyan juga kurang peduli padanya. Lagian sejak Zana bayi, akulah yang merawatnya. Jadi aku punya hak untuk Zana,' batin Kina, sedikit takut dan khawatir sebab dia membawa Zana ikut dengannya."Ehehehe … tentu saja kita akan bahagia. Kakak akan mencari pekerjaan, atau … buka jasa jahit baju di rumah kita. Nanti kamu akan kakak daftarkan ke sekolah baru.""Iya, Kak. Tapi … umm--" Zana terlihat ragu, berhenti berjalan sembari memandang rumah mereka, "kenapa banyak orang di depan rumah baru kita dan … ada api?"Kina menatap rumah dan seketika itu juga matanya membelalak horor. "Ru--rumah kita kebakaran, Naaaaaa … Aaaaaa ….""Tidaaaakkkkk …." Kina menjatuhkan tas belanjaan lalu berlari mendekat, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya ditahan oleh seseorang."Huaaaaaa … baru saja ingin memulai hidup baru, malah langsung dikasih ending begini. Aaaa ...." Kina menangis tanpa peduli dengan sosok yang memeluknya.Hingga tiba-tiba saja sebuah bisikan terdengar, membuat Kina menegang kaku. Dia reflek mendorong sosok itu."Kau hanya boleh memulai hidup baru dengaku, My Kitten," bisik suara bariton, rendah dan serak-serak basah, sangat deep dan seksi–membuat Kina merinding.Kina mendorong dada bidang Zayyan, reflek menyilangkan tangan di depan dada sembari menatap gugup bercampur heran. Ke-kenapa ada Zayyan di sini?Karena syok ada Zayyan, Kina mendadak berhenti menangis. Dia cukup merinding dan gugup! Sekali lagi, kenapa ada Zayyan di sini?!"Pulang denganku sekarang atau kunikahi kau saat ini juga?" Zayyan tersenyum tipis ke arah Kina, membuat mata Kina membelalak sebab tak percaya.Namun, pasti ada maksud tertentu dibalik senyuman itu. Tapi apa?! Kina merinding melihat pria ini tersenyum. Padahal Zayyan sangat tampan dengan senyuman itu."Ru-rumahku kebakaran, Kak. To-tolong kasihani aku," cicit Kina, gugup bercampur waspada pada sosok di depannya."Aku yang membakarnya jadi kenapa aku harus kasihan?!""Gila anda!" pekik Kina horor."Gila? Kau menculik putriku, Darling. Kau lebih gila!" Zayyan meraih pinggang Kina, memeluknya erat dan possesive secara bersamaan. "Kau harus menikah denganku karena jika tidak kau akan kupenjarakan sebab menculik putriku.""A-aku tidak menculik Zana. Dia yang mau ikut denganku." Kina berupaya lepas dari pelukan Zayyan, akan tetapi dia tidak bisa. Pria ini memeluk pinggangnya dengan erat. Kina sangat malu sebab pegunungan indahnya harus menempel dengan dada kokoh Zayyan. Ya Tuhan! Bagaimana jika 'itu meletus sebab terlalu tertekan?!"Zana, aku menculikmu?" ucap Kina kemudian sembari menoleh ke arah Zana yang sudah berada di sebaliknya, di antara kedua bodyguard Zayyan.Zana mengerjap beberapa kali. 'Maafkan aku, Kak. Ini demi kebaikan kita, Kak.'"Iya." Zana menanggukkan kepala. "Kak Kin menculik Nana, Daddy.""See?" Zayyan menyunggingkan smirk evil ke arah Kina. Sedangkan Kina sudah pucat pias dengan menatap tak percaya pada Zana.***Pada akhirnya karena insiden itu, Kina bersedia menikah dengan Zayyan. Mau tak mau! Daripada dia di penjara karena dituduh menculik Zana, impiannya untuk menjadi desainer lebih sulit tercapai dan sekalipun keluar penjara dirinya telah di-cap penjahat oleh siapapun."Kau sangat cantik, Darling." Zayyan tersenyum tipis, menatap sosok wanita cantik yang sebentar lagi akan sah menjadi istrinya.Kina tergelonjak kaget, reflek menoleh ke arah Zayyan dengan tampang muka tegang. "Ke-kenapa Kak Zayyan di sini? Harusnya anda dibawah, ijab kabul akan berlangsung."Zayyan mendekati Kina, mencondongkan tubuh ke arah calon istrinya. Dia menatap riasan tipis Kina lalu menyunggingkan smirk tipis. "Sebelum ijab kabul, aku harus memastikan jika kau tidak berniat kabur," ucap Zayyan serak, nadanya berat dengan tatapan yang sangat menghanyutkan.Setelah mengatakan itu, Zayyan meraih tengkuk Kina–menancapkan sesuatu di sana, membuat Kina meringis pelan."A-apa itu?" cicit Kina, langsung mengusap tengkuk untuk mencari-cari benda yang Zayyan tancapkan di sana. Rasanya seperti digigit semut merah, cukup sakit dan sedikit gatal. Akan tetapi saat Kina berupaya mencarinya, dia tak menemukan apa-apa.Apa hanya perasaannya saja?Mata Kina reflek membelalak, jantungnya berhenti beberapa detik lalu berdetak kembali dengan sangat kuat. Pipinya langsung memerah dan punggungnya terasa panas. Zayyan tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya dengan nafsu."Umfffff …!" Kina memberontak, mendorong pundak Zayyan secara kuat agar dia menjauh."Anda gila?" pekik Kina setelah Zayyan melepas pangutannya. Kina menutup bibir sembari menatap horor ke arah Zayyan.'Dia dulunya sangat sopan sekali. Dulu bahkan dia tidak pernah menatapku lebih dari tiga detik, saking menjaga pandangannya dia dengan lawan jenis. Tapi sekarang …- kemarin keningku, sekarang bibirku, besok apalagi? Ya Tuhan! Lindungi aku dari pria psycho ini.'"Lima belas menit ke depan kau akan sah menjadi istriku. Bersiap-siaplah untuk malam pertama kita.""Zayyan, kamu dari mana? Daddy dan Mommy sudah menunggu dibawah dan ijab kabul akan segera dimulai. Cepat ke sana!" galak seorang perempuan, mendapat senyuman tipis dari Zayyan. "Baik, Kakak ipar," jawabnya singkat, masih mengembangkan senyuman indah pada sang kakak. Ziea--kakak ipar Zayyan tersebut, memicingkan mata, menatap bibir adiknya dengan penuh kecurigaan. "Kenapa bibir kamu merah? Kamu habis ngapain, Zayyan?" "Bukankah pengantin harus memakai lipstik, Kak?" Zayyan menjawab sekenehnya, begitu santai dan sama sekali tak panik pada Ziea. "Cepat hapus. Nanti Kak Egamu melihat, dia bisa marah padamu. Nah, lap bibirmu. Mbak tahu kamu habis ngapain. Ck ck, nggak bisa sabar apa?!" Ziea memberikan tissue pada Zayyan, diambil cepat oleh adik iparnya tersebut. Zayyan lagi-lagi tersenyum setelah itu buru-buru beranjak dari sana. ***"A--aku benar-benar telah menjadi istri dari mantan kakak iparku sendiri. Aaaa … bagaimana bisa dan seperti apa aku setelah ini?" panik Kina, saat ini
"Ini foto kita bertiga, Mommy. Ada Daddy, Mommy dan Zana," antusias Zana, di mana saat ini tengah berbaring sembari melihat-lihat hasil foto pernikahan Daddy dan Mommy barunya. Ada banyak foto mereka bertiga yang membuat Zana merasa senang luar biasa. Zana tidak memiliki foto dengan mendiang mamanya, tetapi Zana merasa tak masalah. Sejujurnya Zana merasa hambar dengan mama kandungnya, mungkin karena sejak kecil Kina lah yang merawatnya. Padahal Kina selalu menjelaskan padanya jika mama kandungnya adalah perempuan baik dan pahlawan sebab bertaruh nyawa demi melahirkan Zana. Namun, tetap saja Zana merasa tak ada muncul perasaan apapun yang dia rasakan untuk mamanya. Mungkin karena mamanya juga tak pernah peduli padanya. Maksudnya, mamanya tak pernah mengajaknya mengobrol dan bahkan ogah menatapnya saat Zana berkunjung ke rumah sakit. "Apa kamu dan Mama kandungmu pernah berfoto bersama? Atau … kalian punya foto keluarga?" tanya Kina, ikut berbaring di ranjang sembari ikut melihat-lih
"Katakan, kau ingin malam pertama yang panas atau malam pertama yang panjang?" Deg deg degMata Kina membelalak tak percaya, syok sekaligus takut pada Zayyan. 'Perasaan Kak Zayyan nggak begini deh. Jangankan mesum, menatapku lama-lama saja, dulu dia nggak pernah. Tapi kok-- kok habis ditinggal istrinya dia jadi mesum begini?' batin Kina, bergerak mundur dengan pandangan serta gerak-gerik gugup. "Ma-malam jum'at saja, Kak," jawab Kina sekenehnya. Dia mengatakan malam jum'at karena malam jumat kliwon adalah malam yang mengerikan dan banyak hantu. Maksud Kina ke arah sana. Namun, saat melihat Zayyan menyunggingkan smirk tipis yang mengisyaratkan sesuatu, Kina seketika membelalak. Saat itu juga dia ngeh dengan apa yang barusan ia katakan. Kina dengan cepat menggelengkan kepala. "Bu-bukan!" pekiknya setengah frustasi, menyilangkan tangan di depan dada dan terus mundur secara panik, "ma-maksudku bukan itu, Kak--Mas. Tolong jangan berpikiran ke arah sana.""Tidak." Zayyan menjawab enteng,
"Kemari," titah Zayyan dengan nada datar, tetapi menyunggingkan smirk tipis ke arah Kina. Maniknya memancar terang, namun cukup mengerikan serta mengintimidasi bagi Kina. Kina menggelengkan kepala, takut menghampiri Zayyan. Sial! Ini semua gara-gara bocah kematian di sebelahnya. Kina rasanya ingin sekali mencubit Zana! "Kemari, Angie," perjelas Zayyan. Pada akhirnya Kina menghampiri Zayyan, dia terpaksa karena malu ditatap oleh tangan kanan suaminya dan para pelayan di rumah ini. Setelah di depan Zayyan, Kina langsung meraih tangan pria itu kemudian menyalamnya. Dengan kikuk dan gugup, dia mencium punggung tangan pria yang telah sah menjadi suaminya tersebut. Setelah melakukannya, Kina buru-buru beranjak. Akan tetapi sialnya Zayyan tak melepas tautan tangan diantara mereka. Pria itu menyentak tangannya–membuat Kina berakhir menabrak dada bidang Zayyan secara cukup kuat. Bug' "Au …." Kina meringis pelan. Namun, mendadak membatu dengan punggung memanas dan pipi memerah saat Zayyan
"Mommy sedang apa?" tanya Zana, saat ini memperhatikan secara lekat dan teliti pada apa yang Kina lakukan. Zana sangat senang. Seharian dia bermain dengan Kina dan tadi mereka mandi bersama. Meskipun dia biasa melakukan ini, tetapi kali ini terasa berbeda sebab Kina berstatus sebagai mommynya. Walau Kina masih menyebut dirinya 'aku dan bukan 'mommy, tetapi Zana sudah sangat bersyukur. Mungkin Kina masih memposisikan diri sebagai teman bagi Zana, tetapi tanpa sadar sudah sejak lama dia berperan sebagai ibu dari Zana. Seperti tadi, setelah mandi bersama, dia yang membantu Zana berpakaian, mengeringkan rambut keponakannya yang sekarang sudah menjadi anaknya. Lalu dia juga menata rambut putrinya tersebut. Kina hanya perlu terbiasa dipanggil mommy dan sadar jika dia memang ibu bagi Zana. Saking pedulinya dia pada Zana, dia sendiri tak sempat mengeringkan rambut. Sekarang malah sibuk meletakkan sesuatu di setiap meja yang ada pada ruangan di rumah ini. "Aku sedang menukar kalender baru
"Kau menghapus hari jum'at agar tidak ada yang namanya malam jum'at, Humm?" "Hehehe …." Kina cengengesan, menatap takut bercampur tak enak pada Zayyan. Bukan masalah tak ingin melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, tetapi Kina hanya merasa tak sepatutnya hubungannya dengan Zayyan sejauh itu. Sampai saat ini, Zayyan masih kakak ipar yang harus ia hormati dan segani. Zayyan milik kakaknya dan Kina tak mungkin merampas Zayyan dari kakaknya. Namun, alasan paling jujur adalah Kina sangat takut! "Cengir!" dengkus Zayyan, menyentil kening Kina cukup kuat. Perempuan itu buru-buru mengusap kening lalu menjauh saat Zayyan melepas pelukannya pada pinggang istrinya. Zayyan merogok saku celana, mengeluarkan handphone kemudian mengotak-atik sejenak handphone tersebut. Setelahnya Zayyan menarik Kina, dia duduk di pinggir ranjang sedangkan Kina duduk di atas pangkuannya. Punggung Kina tegak dan kaku, jantungnya berdebar kencang dan mukanya begitu konyol. Ini pertama kalinya dia sangat int
"Jika Kenna sakit perut setelah ini, kau akan tahu akibatnya!" marah Zayyan, saat ini sudah berada di rumahnya–menginterogasi Kina karena telah berani membawa Zana keluar rumah dan memakan makanan yang dilarang untuk putrinya. Bukan karena ingin merasa lebih tinggi perihal status, tetapi putrinya tidak bisa memakan jajanan sembarang. Zana bisa sakit perut atau paling parah demam berminggu-minggu. Imun putrinya berbeda dengan imun anak lainnya. "Maafkan aku," ucap Kina menundukkan kepala. 'Lebay sekali. Makan batagor doang nggak bakalan bikin putrimu KO kali. Ck.' batinnya, dongkol pada Zayyan sebab menurutnya Zayyan berlebihan pada Zana. Maksud Kina, memang benar tidak semua lambung orang sama dan tidak semua orang bisa makan ini ataupun itu. Tetapi jika dibiasakan bukankah akan terbiasa?! Contohnya Zana. Jajanan seperti itu memang membuatnya sakit perut, tapi itu karena belum terbiasa. "Kau memang telah menjadi ibunya. Tetapi bukan berati kau bisa seenaknya membawa Zana keluar da
"Zayyan!" Zayyan yang sedang memukul para maid tersebut dengan kasar langsung menoleh ke arah belakang, mendapati Reigha, Ziea dan Rain (tangan kanan Zayyan) ada di sana. "Sudah berapa kali kukatakan padamu?! Kendalikan emosimu!" peringat Reigha, setengah membentak kepada adiknya tersebut. Bukan rahasia lagi jika Zayyan sangat tempramental, sulit mengendalikan emosi. Sebenarnya diantara Rafael, Reigha dan Zayyan, Zayyan lah yang paling bisa bersikap manis. Bahkan pada orang asing sekalipun. Zayyan bisa berbasa-basi serta ramah walau mood-moodan. Tak seperti Rafael yang sadis berbicara atau seperti Reigha yang selalu memilih menjadi batu saat bertemu orang asing. Namun, Zayyan yang manis juga lah yang paling mudah marah. Zayyan marah pada siapapun dan tidak memandang bulu. Di klan, Zayyan sangat suka pada bagian menghukum musuh. Mungkin itu yang membuatnya semakin ringan tangan pada siapapun. Yang berbahaya adalah Zayyan melukai siapapun, keluarga, teman atau istri sekalipun. Kasu
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali