Sampai di rumah, Vania membawa anak-anak masuk ke kamar mereka untuk mengganti baju. Sementara Candra, dia terlihat bersandar di sofa ruang tamu sambil memejamkan mata seraya memijat-mijat keningnya.
Vania pun keluar dari kamar anak-anaknya dan mendatangi Candra. Dia duduk tepat di sebelah Candra, dan bersandar di bahu suaminya itu. Candra yang sadar istrinya berada di sebelahnya, sontak menarik tangan Vania lalu ditempelkan tangan Vania di pipi kanan Candra, sambil sesekali menciumnya mesra.
"Ma, aku kangen!" bisiknya manja.
Kata kangen ini menggambarkan konteks yang berbeda dari pemikiran normal manusia. Suami Vania bekerja setiap hari, keduanya pun bertemu setiap harinya. Jadi kata kangen ini menyiratkan jika dia merindukan sesuatu yang sudah jarang mereka lakukan karena kesibukan masing-masing selama ini.
Tangan kanan Candra sudah melingkar di pinggang Vania, sementara tangan yang satunya masih sibuk memegangi tangan sang istri yang terus dia ciumi sejak tadi. Hingga kembali dia berbisik pelan, dan membuat bulu kuduk Vania seketika berdiri mendengarnya.
"Ma, ayo kita buat adik untuk Kania, dan Kanaya," bisik Candra seraya menempelkan bibirnya di telinga istrinya itu.
Semakin Candra banyak bicara, semakin memperjelas maksud dan tujuannya dia manja sekali pada Vania saat itu. Tapi masalahnya, ini masih siang. Apa yang akan dipikirkan anak-anak mereka jika tahu papa dan mamanya mengurung diri di kamar? Namun bagaimanapun, hasrat seorang lelaki tak bisa ditahan. Vania hanya bisa patuh, dan mengikuti langkah kaki suaminya ke dalam kamar.
Siang itu cuaca sedikit mendung, agak sejuk semilir angin menembus pori-pori kulit. Tapi tidak dengan Vania dan suaminya, yang berada di dalam kamar dengan pintu terkunci. Di sana mereka melakukan hal-hal yang mengundang keringat dan gairah yang tak terbendung lagi.
Bibir Vania terus diciumi hingga keduanya sama-sama berbaring di tempat tidur. Terlihat wajah tampan Candra yang sudah dipenuhi nafsu yang begitu menginginkan tubuh sang istri sebagai obat penawarnya. Vania tak berdaya saat itu. Dia biarkan tubuhnya dikuasai sang suami dan diterjang habis-habisan olehnya. Hingga sampai sang suami mencapai kepuasan, saat itu Candra baru melepaskan Vania dari pelukannya.
"Maaf sayang, aku terlalu bersemangat siang ini. Tapi lihat wajah cantik kamu, aku tidak tahan!" ucap Candra sambil menarik tubuh Vania agar tidur di dalam pelukannya kembali.
"Mas, ini masih siang. Kamu tidak akan kembali lagi ke kantormu kah?" tanya Vania pelan.
"Baru habis dipakai, kamu mau langsung membuangku kah? Sayang, kamu licik sekali!"
"Bukan begitu, tapi...."
"Jangan memikirkan pekerjaanku! Sekarang aku sedang ingin bersamamu beberapa saat. Aku ingin menyayangimu dan memanjakanmu sampai kamu tahu betapa aku mencintaimu, Vania," bisik Candra yang membuat Vania luluh, dan tak lagi melawan ataupun bertanya hal lain padanya.
Sejak mereka pertama kali menikah, Candra memang cukup bersemangat dalam urusan ranjang. Dia tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa melakukan hubungan badan dengan sang istri. Paling saat Vania datang bulan, atau saat Vania nifas setelah melahirkan dua anak mereka, dia baru bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukan hubungan badan dengan sang istri.
Pernah juga Candra sibuk dinas ke luar negeri. Selama seminggu dia tidak pulang, dan terus melakukan panggilan video pada Vania. Seakan takut Vania lupa punya suami, saat dia tidak ada di sekitarnya. Saat pulang dinas, yang Candra cari bukanlah anak-anak. Tapi sang istri, yang langsung dia tarik ke kamar, dan membiarkan kedua putri mereka kebingungan dengan sikap Candra yang menawan Vania seharian di dalam kamar setiap kali pulang dinas ke luar negeri.
Walaupun Candra kelihatan seperti pria dengan birahi tinggi, dan tidak dapat mengendalikan nafsunya, tapi dia tidak pernah dekat dengan wanita manapun selama mereka menikah. Baik di tempat kerja, maupun saat di luar rumah, dia tidak pernah dekat dengan wanita lain selain istrinya.
Bahkan karakter suami Vania di kantor dianggap sebagai pria dingin mendominasi, dan angkuh. Mereka kebanyakan takut pada Candra, dan lebih suka menjaga jarak karena takut akan ketegasan dia dalam pekerjaan. Walaupun wajah Candra tampan, tapi dia bukan pria yang mudah didekati. Mungkin itulah yang membuat Vania merasa Tuhan begitu baik, menghadirkan suami seperti Candra di dalam hidupnya, yang hanya mencintai dirinya saja.
Setelah berbaring beberapa menit, akhirnya Candra pun beranjak bangun. Dia menuntun Vania untuk ikut dengannya ke kamar mandi. Keduanya pun mandi bersama dan melakukan hal lain lagi selama di dalam kamar mandi. Semangat Candra ini benar-benar membuat Vania kelelahan setiap hari olehnya. Tapi itu juga yang membuat Vania menyadari jika suaminya hanya menjadikan dia sebagai wanita pelampiasan nafsu birahinya.
"Sekali lagi ya, Ma," bisik Candra di telinga sang istri.
"Sudah cukup. Mas, kamu benar-benar luar biasa! Aku lelah sekali!" ucap Vania yang disambut tawa dari suaminya itu.
"Kalau tahu aku luar biasa dan bisa memuaskanmu, jangan pernah selingkuh dariku ya!" bisik Candra yang disambut anggukan kepala dari Vania.
"Selingkuh bagaimana? Punya kamu satu saja sudah membuat aku hampir pingsan setiap hari. Aku mana sanggup tambah satu pria lagi. Di dalam hidupku, cuma kamu satu-satunya pria yang aku cintai dan bisa memenuhi kebutuhan birahiku. Aku tidak butuh pria lain selama kamu setia padaku."
"Baguslah kalau begitu. Aku bisa tenang. Sekarang bantu aku pakai baju kantor. Aku mau kembali ke kantor karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum aku selesaikan."
"Baiklah, aku bantu kamu pakai baju, Mas!"
Setelah Vania membantu Candra memakai pakaian kantornya, dia pun membantu suaminya itu untuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan hair dryer. Setelah kering, Vania merapikan rambut Candra dengan sisir hingga tataan rambut suaminya sempurna dan menambah karisma di wajah tampannya itu.
"Sudah selesai. Kembalilah bekerja ke kantormu, Mas. Jangan pulang larut malam! Ingat untuk selalu makan tepat waktu, dan beristirahat jika merasa lelah. Jangan memaksakan diri! Jangan diforsir kerja!" ucap Vania, yang disambut tawa dari Candra.
"Iya sayang, iya. Aku akan ingat semua nasihatmu. Kalau begitu aku pergi ya? Ingat, kalau mau pergi keluar dengan anak-anak, kabari aku dulu biar aku tidak khawatir."
"Ya."
Vania pun mengantar suaminya keluar dari rumah menuju arah mobil yang terparkir di halaman rumah. Dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya sambil terus menatap Vania seakan tidak rela berpisah. Melihat kebucinan suaminya itu, Vania malah tersenyum. Mereka sudah menikah selama delapan tahun, tapi rasa cintanya pada Vania tak berkurang sedikitpun. Bahkan bisa dilihat kini Candra berusaha melakukan segala cara untuk menahan dirinya lebih lama di rumah demi bisa selalu bersama sang istri.
"Sayang, kemari dulu!" Panggil Candra yang membuat Vania menghampirinya.
Cup...
Bibir Candra mencium bibir Vania penuh kemesraan. Dia tak lagi mengenal situasi, padahal saat itu mereka berada di halaman rumah, tepat dimana gerbang rumah mereka.
"Suamiku ini, apakah dia benar-benar tidak mau mempertahankan citranya lagi? Apakah dia tidak malu menciumku di depan umum seperti ini?" batin Vania bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
"Mas, sudah cukup! Ini tempat umum! Nanti dilihat tetangga. Malu!" ucap Vania pelan.
"Malu kenapa? Kamu kan istriku. Sayang, ini kado untukmu. Terima kasih sudah jadi istriku yang baik, dan melengkapi kehidupanku selama ini," ucap Candra sambil memperlihatkan kotak perhiasan berisi kalung berlian.
Candra mengambil kalung itu, dan memasangkannya di leher Vania dengan penuh cinta.
"Kamu suka gak?" tanya Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania saat itu.
"Siapa wanita yang tak luluh dengan sikap suami yang baik dan mesra seperti suamiku saat ini? Aku benar-benar terbuai dengan cintanya. Aku merasa diriku wanita paling beruntung karena mendapatkan suami baik yang begitu mencintaiku seperti mas Candra lakukan padaku saat ini," batin Vania dengan senyum bahagia di bibirnya.
Setelah hari itu, Candra kembali sibuk dengan pekerjaan kantornya. Dia terkadang pulang larut malam, bahkan Vania tidak menyadari kapan dia pulang kerja saat itu. Biasanya Vania melihat Candra di pagi hari sedang tidur memeluknya erat. Terlihat wajah lelah dan letih sang suami, bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya."Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta dan merasa luluh melihat ketulusannya padaku juga keluarga kecil kami ini. Dia berjuang sekuat tenaga untuk membahagiakan aku dan memberikan yang terbaik untuk rumah tangga kami," batin Vania terharu. "Mau kemana? Masih pagi! Tidur lagi saja!" bisik Candra saat istrinya berusaha bangun dari tempat tidur."Aku mau buat sarapan dan bangunkan anak-anak untuk sekolah," balas Vania dengan suara pelan. "Kita punya pembantu. Hal seperti itu, biarkan mereka saja yang kerjakan. Tugas kamu peluk aku, temani aku bobo," bisik manja Candra yang semakin mempererat pelukannya di tubuh Vania.Vania tak berkutik. Memang bena
Saat masuk ke dalam mobil, Kanaya dan Tania terlihat antusias menatap teman ibunya yang ada di dalam mobil. "Tante Irma!" teriak keduanya dengan wajah senang.Irma saat itu hanya membalas balik senyum kecil dari bibirnya, saat melihat dua anak kecil yang ada tepat di kursi belakang mobil itu. "Anak-anak menyebalkan ini lagi! Kenapa aku harus mengiyakan Vania untuk membawa anak-anak berisik ini jalan-jalan bersamaku? Bikin tambah sakit kepala saja dibuatnya!" batin Irma yang terlihat tersenyum, tapi hatinya menolak keras kehadiran dua bocah perempuan di hadapannya itu. "Kalian duduk yang benar. Pakai sabuk pengaman ya! Hari ini mama dan Tante Irma mau ajak kalian jalan-jalan ke taman hiburan. Bagaimana? Kalian senang tidak mau jalan-jalan dengan Tante Irma?" tanya Vania dengan senyum penuh semangat. "Senang!" teriak kedua anak itu serentak. Akhirnya mobil yang dikendarai Vania pun mulai berjalan menuju arah taman hiburan. Tentu saja anak-anak Vania terlihat senang, dan antusias me
Vania terlihat diam, tak berani mengelak pada apa yang dikatakan suaminya itu. Tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Candra, selama ini Vania dekat dengan Irma, tapi tidak pernah sekalipun wanita itu bersikap seperti seorang teman. Dia datang hanya saat butuh. Dia selalu meminta bantuan pada Vania, dan selalu berakhir membuat Vania mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk wanita itu. Sudah lama Candra geram. Setiap kali ditanya darimana, Vania mengatakan pergi dengan Irma. Awalnya Candra tidak terlalu perduli, tapi saat Vania beberapa kali bercerita jika Irma berulang kali diusir dari kontrakan karena nunggak, tentu saja Candra marah. Lagi-lagi istrinya lah yang harus membayar uang kontrakan temannya yang nunggak beberapa bulan. Masih muda tapi suka dikasihani, mirip pengemis, itulah bayangan Candra tentang wanita yang jadi teman baik istrinya itu. "Pokonya lain kali kalau dia pinjam uang, atau dia nunggak bayar kontrakan, kamu gak boleh kasih pinjam dia uang lagi. Dia itu
Candra terkejut dengan kedatangan seorang wanita cantik di rumahnya itu. Padahal jelas-jelas selama ini, setelah dia menikah dengan Vania, dia tidak pernah merasakan lagi getaran cinta selain saat bersama istrinya. Tapi bisa-bisanya di pertemuan pertamanya dengan wanita ini, hati Candra dibuat bergetar dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Candra tahu ini salah. Dia sadar kalau seharusnya tidak ada perasaan semacam ini setelah dia menikah dan punya anak dari Vania. Vania istri yang baik, Candra pun sangat mencintai dia. Tapi di sisi lain, Candra juga seorang pria. Dia kaya, dia punya segalanya, dan dia juga ingin merasakan cinta lain yang mungkin bisa lebih memuaskan hasratnya.Pikiran Candra masih melayang, menatap gadis cantik yang menanyakan tentang istrinya itu. Siapa yang mengira jika wanita cantik yang membuat Candra jatuh cinta pandangan pertama adalah Irma, sahabat istrinya yang selama ini memanfaatkan uang Vania. "Kalau Irma suka uang, bukankah mudah untuk membuat dia ter
Setelah selesai berpakaian lengkap, Candra pun keluar dari kamar menuju arah ruang tamu. Asisten pribadinya sudah menunggu di sana dengan wajah tampak gelisah. Mungkin dia takut mereka ketinggalan pesawat untuk dinas ke luar kota. Candra pun menatap Vania, dan mencium kening istrinya sebelum dia berangkat. Anak-anak mereka sudah pergi dengan sopir ke sekolah mereka, jadi suasana rumah akan sepi saat Candra berangkat saat itu. Melihat wajah cantik Vania, rasanya berat hati Candra meninggalkan istrinya sendirian di rumah seperti ini. "Aku akan cepat pulang kalau pekerjaanku sudah selesai. Ingat hal yang aku katakan, kamu gak boleh bergaul terlalu dekat dengan Irma. Paham?" ucap Candra sambil mengusap lembut wajah Vania."Memangnya kenapa sih dengan Irma, Mas? Kenapa sepertinya kamu memusuhi Irma sekali?" tanya Vania terlihat keberatan dengan pesan yang Candra katakan padanya itu. "Pokonya nurut aja ya!" ucap Candra yang disambut anggukan kepala dari Vania. Alih-alih minta Vania menja
Candra terlihat kebingungan sendiri, apa sebenarnya yang ingin dilakukan pada Irma? Jelas-jelas dia punya Vania, istri yang nyaris sempurna dan sangat mencintainya. Bisa-bisanya dia malah cemburu melihat Irma jual diri, dan berniat ingin menafkahinya. Hal itu benar-benar membuat Candra tak habis pikir pada dirinya sendiri. Sesaat Candra masih diam dengan pertanyaan yang ditanyakan Irma padanya saat itu. Apakah sungguh dia ingin Irma jadi simpanannya? Rasanya Candra tidak bisa berpikir saat itu, dan memilih untuk meninggalkan Irma dengan cek yang dia berikan pada gadis itu. "Tunggu!" teriak Irma lagi sambil memeluk tubuh Candra dari belakang. Tentu saja Irma tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Kapan lagi dia bisa dapat uang banyak dari seorang pria, bahkan pria itu menjanjikan akan menafkahinya seumur hidup. Walaupun tahu Candra suami sahabatnya, Irma yang buta akan uang dan harta, memilih menutup mata dan mencari cara untuk membuat suami sahabatnya itu terikat padanya. "Mas
Irma membalas pelukan Vania. Dia memperlihatkan wajah meremehkan di balik punggung Vania saat itu."Ya, bagiku, kamu juga sudah seperti saudara kandungku sendiri. Terima kasih sudah jadi teman baikku selama ini," ucap Irma sambil terus memasang wajah licik sambil memeluk tubuh sahabatnya itu.Vania selalu berusaha untuk menjadi sahabat baik yang bisa membantu Irma sebisa yang dia mampu. Tapi di sisi lain, Irma justru berusaha sekuat tenaga menghancurkan sahabatnya hanya karena rasa iri, dan dengki pada kehidupan Vania yang jauh lebih baik dari kehidupannya.Sejak saat itu, Irma sering bolak-balik ke rumah Vania. Dia sengaja datang dan pergi ke rumah itu untuk mengecek kapan Candra, suami Vania pulang dari perjalanan bisnisnya.Hingga seminggu berlalu, saat Irma sedang main di rumah Vania, mobil mewah Candra datang, dan berhenti tepat di halaman rumah mewah itu. Candra berjalan kelua
Irma tersenyum senang. Tidak mengira impiannya bisa tidur dengan suami Vania bisa benar-benar terwujud tadi malam. Tubuh gagah dan kuat Candra benar-benar menggagahi tubuhnya. Rasanya Irma terlena dengan hebatnya pria tampan itu saat bergulat di atas ranjang tadi malam. Irma memakai pakaiannya, dan berjalan keluar dari kamar hotel itu. Dia diminta Candra untuk meminum obat pencegah kehamilan, tapi hal yang diminta Candra lakukan tak dilakukan oleh Irma karena kehamilan memang hal yang dia tunggu untuk menjerat Candra agar bisa memiliki hubungan lebih dalam, dengannya. Di sisi lain, terlihat Vania bangun tidur dalam keadaan linglung. Dia menatap di samping tempat tidur, dan mendapati suaminya sudah tidak ada di sana. Dengan cepat Vania bangun untuk mencari keberadaan suaminya. Dia pun berkeliling rumah, namun tak menemukan keberadaan suaminya itu. "Kemana perginya mas Candra pagi-pagi begini?" batin Vania bingung. Saat sedang mencari keberadaan Candra, tiba-tiba ponsel Vania berder
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol
Candra pun berpamitan pulang pada kedua anaknya, dan menghampiri Vania untuk mengucap maaf untuk kesekian kalinya karena tanpa sengaja menampar pipi Vania saat marah. Vania tak bicara, dan hanya menatap kepergian suaminya dengan wajah yang masih kecewa. "Nak, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucap Vania sambil menuntun kedua anaknya masuk ke dalam mobil. Kanaya, dan Tania patuh, masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Mereka tahu suasana hati ibunya sedang sedih karena perbuatan ayah mereka tadi. Beberapa kali kedua anak itu mengecup pipi Vania yang sedang menyalakan mesin mobilnya. "Ma, jangan sedih! Papa jahat! Kami tidak mau papa lagi!" ucap Tania sambil mengusap pipi Vania dari kursi belakang mobil. "Papa keterlaluan! Mama tidak apa-apa kan? Ma, kami akan selalu di sisi mama. Mama jangan sedih ya!" sambung Kanaya yang disambut anggukan kepala dan senyum dari Vania."Kalian duduklah yang benar! Mama akan mengendarai mobil. Pakai juga sabuk pengaman kalian! Tidak usah dipikirkan
Mendengar suara hening dari seberang telepon, Candra pun kembali bicara untuk membujuk Vania ke rumah sakit. "Vania, aku mohon! Datanglah ke rumah sakit untuk menjenguk Irma! Walaupun kamu benci dia, tapi tolong lakukan ini untuk bayi dalam kandungannya," ucap Candra, lirih. "Dia kesakitan. Dia berada di ruang ICU. Lalu apa gunanya aku ada di rumah sakit? Yang diperlukan Irma sekarang hanya kamu, dan dokter. Dia tidak butuh aku berada di sisinya. Kalau dia lihat aku, takutnya dia malah makin parah. Jadi, jangan memintaku menemuinya, karena dia hanya akan semakin marah kalau aku ada di sekitarnya. Sudah Mas, aku capek! Aku tutup dulu teleponnya!" ucap Vania sambil mematikan panggilan telepon itu. Vania menghela nafas panjang. Sudah banyak hal terjadi pada dirinya, masih saja tidak bisa melepaskan keterikatan dia dengan Candra juga Irma. Jelas-jelas setiap kali melihat mereka bersama, dialah orang yang paling dikecewakan dan harus menahan sakit hati berkali-kali. Namun setelah
Selesai semua lomba, akhirnya para guru pun membagikan hadiah untuk para pemenang. Dua putri Vania terlihat bersemangat mengambil hadiah dari hasil kerja keras mereka memenangkan dua perlombaan. "Mama, kita menang!" ucap Kanaya sambil memeluk tubuh Vania. "Om Galang, kita menang!" sambung Tania yang memeluk tubuh Galang. Mata Galang dan Vania saling beradu. Entah kenapa keduanya terlihat canggung, dan tersenyum kecil satu sama lain dengan tingkah kedua anak kecil di hadapan mereka itu. "Ma, kita bagi dua hadiahnya!" pinta Kanaya. "Om, aku juga akan membagi hadiahku denganmu," sambung Tania yang seketika membuat Galang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Kalian pasti sudah lelah. Bagaimana kalau Om Galang antar kalian pulang? Kalian bisa langsung istirahat setelah sampai di rumah," tawar Galang yang langsung disambut anggukan kepala dari kedua anak Vania. "Hei, kita bawa mobil!" bisik Vania pada dua anaknya. "Ma, bukankah tadi mama bilang lelah? Mengendar