Setelah selesai berpakaian lengkap, Candra pun keluar dari kamar menuju arah ruang tamu. Asisten pribadinya sudah menunggu di sana dengan wajah tampak gelisah. Mungkin dia takut mereka ketinggalan pesawat untuk dinas ke luar kota.
Candra pun menatap Vania, dan mencium kening istrinya sebelum dia berangkat. Anak-anak mereka sudah pergi dengan sopir ke sekolah mereka, jadi suasana rumah akan sepi saat Candra berangkat saat itu. Melihat wajah cantik Vania, rasanya berat hati Candra meninggalkan istrinya sendirian di rumah seperti ini.
"Aku akan cepat pulang kalau pekerjaanku sudah selesai. Ingat hal yang aku katakan, kamu gak boleh bergaul terlalu dekat dengan Irma. Paham?" ucap Candra sambil mengusap lembut wajah Vania.
"Memangnya kenapa sih dengan Irma, Mas? Kenapa sepertinya kamu memusuhi Irma sekali?" tanya Vania terlihat keberatan dengan pesan yang Candra katakan padanya itu.
"Pokonya nurut aja ya!" ucap Candra yang disambut anggukan kepala dari Vania.
Alih-alih minta Vania menjauh dari Irma, Candra sendiri sebenarnya sudah kesemsem pada teman istrinya itu. Walaupun suka dengan Irma, niat Candra pada gadis itu tak lain hanya ingin main-main saja, hanya sekedar cari hiburan. Kalau untuk cinta, Candra hanya ingin Vania selamanya jadi satu-satunya istri Candra.
Mungkin kedengarannya agak bejat, tapi ini pertama kalinya Candra benar-benar menginginkan tubuh seksi seorang wanita. Yang paling membuat dia sedikit resah, kenapa dari sekian banyak wanita harus Irma yang bisa menggoyahkan hatinya?
Candra pun masuk ke dalam mobil, dan membiarkan asisten pribadinya mengendarai mobil ke arah bandara. Sekitar satu jam, akhirnya Candra dan asisten pribadinya sampai di sana. Asisten pribadinya sibuk membawa barang bawaan, sementara Candra bergegas masuk untuk mencari toilet di sana.
Saat masuk ke dalam toilet, Candra mendengar suara tak biasa dari salah satu toilet pria yang pintunya di tutup di dalam sana. Terdengar suara seorang wanita memekik kecil. Sepertinya gadis itu sedang melakukan hal-hal aneh dengan seorang pria di toilet saat itu.
"Siapa wanita dan pria yang berani melakukan tindakan tak senonoh semacam itu di toilet bandara yang ramai pengunjung begini?" batin Candra merasa sedikit terangsang dengan suara desahan wanita itu.
Candra berusaha tak perduli. Setelah dia selesai dengan urusannya, dia pun mencuci tangan di wastafel dan bergegas keluar dari toilet itu. Tanpa diduga Candra meninggalkan ponselnya di toilet, dan itu membuat dia yang sudah berjalan keluar, bergegas masuk lagi ke dalam toilet itu.
Hal yang tidak terduga pun terjadi di hadapan Candra saat itu. Dia melihat seorang pria tinggi, berkulit hitam, dan bertubuh besar keluar dari toilet dengan seorang wanita. Yang paling mengejutkan lagi, wanita itu adalah Irma. Ya, Irma, teman baik Vania, sekaligus wanita yang membuatnya kesengsem di awal pertemuan mereka.
Irma tak menyadari Candra melihat dia berjalan dengan pria itu. Terlihat Irma mengiringi langkah kaki pria itu sambil menggandeng erat tangan pria berkulit gelap itu.
"Pak Zaki, mana bayaranku? Aku sudah puaskan kamu, apa kamu lupa untuk bayar jasaku?" ucap Irma dengan nada menggoda.
"Kamu tuh mata duitan! Ini aku kasih!" ucap pria itu sambil memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Masa cuma lima ratus ribu? Ini kurang!"
"Kamu mau berapa, jalang? Segitu sudah cukup untuk bayar tubuhmu yang sudah ditiduri banyak lelaki."
"Gak bisa. Kamu janji kasih dua juta buat aku. Kamu gak bisa ingkar janji."
"Aku tambah dua ratus ribu. Gak usah minta lebih. Nanti aku promosikan kamu ke teman sesama pilot aku. Anggap saja sisa yang aku janjikan sebagai bayaran untukku yang bakal promosikan jasamu."
"Okelah kalau begitu. Kabari aku kalau ada temanmu yang mau pakai aku juga ya!" ucap Irma yang disambut anggukan kepala dari pria berkulit hitam itu.
"Harga tubuh Irma dibayar tujuh ratus ribu? Apakah semurah itu harga tubuhnya?" batin Candra terkejut mendengar obrolan itu.
Sesekali Candra menggelengkan kepalanya, merasa miris melihat gadis cantik itu begitu mudah menjual tubuhnya pada sembarang pria seperti itu.
"Apa dia sungguh begitu butuh uang hingga melakukan segala cara untuk dapat uang? Sebenarnya aku kenapa? Kenapa aku begitu perduli pada Irma? Dan kenapa aku sangat marah melihat Irma jual diri? Kenapa dia jual diri dengan harga tujuh ratus ribu saja? Kalau hanya uang receh segitu, aku bisa berikan berkali-kali lipat asalkan dia tidak lagi jual diri seperti ini. Aih, aku ini kenapa? Kenapa aku perduli sekali dengan pekerja Irma, dan kehidupan wanita itu? Apa aku benar-benar jatuh cinta padanya?" batin Candra sambil mengepalkan tangannya menahan kesal pada diri sendiri.
Candra tak tahan lagi. Dengan cepat dia menghampiri Irma, dan menarik tangan Irma keluar dari toilet pria itu. Dia menekan tubuh Irma ke sudut tembok. Entah hal gila apa yang Candra lakukan pada Irma saat itu, dia benar-benar tidak bisa mengendalikan rasa marah dan cemburunya melihat Irma jual diri pada pria dengan harga murah seperti itu.
"Apa dia tidak bisa menghargai dirinya sendiri? Apa dia tidak menghargai tubuhnya yang dimainkan oleh banyak pria seperti itu?" batin Candra mulai posesif.
"Loh, Mas Candra ya? Mas, suami Vania kan? Kebetulan ketemu di sini. Mas mau kemana? Kenapa ada di bandara?" tanya Irma sambil pasang senyum ke arah Candra.
"Aku mau dinas. Kamu yang sedang apa di sini? Berduaan dengan seorang pria di toilet. Apa kamu tidak bisa menjaga diri, dan menghargai tubuhmu sendiri?" oceh Candra marah, seperti sedang mendapati istrinya selingkuh.
Irma tertawa kecil. Dia terlihat mulai genit pada Candra. Dia menarik kerah baju Candra, lalu menempelkan bibirnya di telinga suami sahabatnya itu.
"Mas, Mas Candra lihat ya?" ucapnya pelan.
"Ya. Aku lihat."
"Kalau begitu, menurut mas Candra, aku harus bagaimana? Aku seorang janda yang ditinggal suami. Suamiku pergi bertahun-tahun dan tak pernah mengirimi aku nafkah, baik nafkah lahir maupun batin. Aku juga harus tetap hidup. Aku butuh uang untuk makan, untuk bayar kontrakan, untuk beli kebutuhanku. Kerja sana sini, uang tetap tidak cukup. Jadi apa salahnya kalau aku menjual diriku pada laki-laki? Ini hal mendesak," ucapnya yang berusaha mencari alasan untuk membuat hal yang dia lakukan menjadi halal di matanya.
"Berhenti jual diri!" ucap Candra sambil menatap tajam ke arah gadis cantik berkulit sawo matang itu.
"Kalau berhenti jual diri, aku makan apa?" balas gadis itu.
"Aku yang hidupi kamu!"
Jreng...
Mulut Candra sudah tidak bisa dia kendalikan. Bisa-bisanya dia bicara sembarangan karena marah melihat Irma melayani pria lain dengan tubuhnya. Candra seakan tidak rela. Ini sama marahnya seperti kalau dia lihat istrinya bersetubuh dengan pria lain. Candra merasakan hal yang sama saat dia lihat Irma tertangkap basah melakukan hubungan intim dengan pria lain.
"Apa? Apa aku gak salah dengar? Mas Candra mau biayai hidup aku? Mas serius? Mas gak lagi becanda kan?" tanya gadis itu, semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Candra.
"Ya. Aku tidak bercanda. Aku akan biayai hidupmu. Aku akan memenuhi kebutuhan hidupmu, asalkan kamu berhenti jual diri. Ini uang untukmu. Pakailah dengan bijak. Satu lagi, jangan sampai Vania tahu tentang ini. Aku harus berangkat sekarang, pesawatku akan segera lepas landas."
"Mas Candra, jangan pergi dulu! Apa arti cek ini? Sepuluh juta? Ini uang yang banyak sekali loh, Mas. Apakah ini sungguh uang untukku? Apakah mas Candra mau jadikan aku selingkuhanmu di belakang Vania?" tanya Irma yang seketika membuat Candra tertegun mendengar kata-katanya.
"Apa maksudku? Apakah aku sungguh ingin menjadikan Irma sebagai selingkuhanku?" batin Candra yang terlihat bingung dengan hal yang dia lakukan pada sahabat istrinya itu.
Candra terlihat kebingungan sendiri, apa sebenarnya yang ingin dilakukan pada Irma? Jelas-jelas dia punya Vania, istri yang nyaris sempurna dan sangat mencintainya. Bisa-bisanya dia malah cemburu melihat Irma jual diri, dan berniat ingin menafkahinya. Hal itu benar-benar membuat Candra tak habis pikir pada dirinya sendiri. Sesaat Candra masih diam dengan pertanyaan yang ditanyakan Irma padanya saat itu. Apakah sungguh dia ingin Irma jadi simpanannya? Rasanya Candra tidak bisa berpikir saat itu, dan memilih untuk meninggalkan Irma dengan cek yang dia berikan pada gadis itu. "Tunggu!" teriak Irma lagi sambil memeluk tubuh Candra dari belakang. Tentu saja Irma tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Kapan lagi dia bisa dapat uang banyak dari seorang pria, bahkan pria itu menjanjikan akan menafkahinya seumur hidup. Walaupun tahu Candra suami sahabatnya, Irma yang buta akan uang dan harta, memilih menutup mata dan mencari cara untuk membuat suami sahabatnya itu terikat padanya. "Mas
Irma membalas pelukan Vania. Dia memperlihatkan wajah meremehkan di balik punggung Vania saat itu."Ya, bagiku, kamu juga sudah seperti saudara kandungku sendiri. Terima kasih sudah jadi teman baikku selama ini," ucap Irma sambil terus memasang wajah licik sambil memeluk tubuh sahabatnya itu.Vania selalu berusaha untuk menjadi sahabat baik yang bisa membantu Irma sebisa yang dia mampu. Tapi di sisi lain, Irma justru berusaha sekuat tenaga menghancurkan sahabatnya hanya karena rasa iri, dan dengki pada kehidupan Vania yang jauh lebih baik dari kehidupannya.Sejak saat itu, Irma sering bolak-balik ke rumah Vania. Dia sengaja datang dan pergi ke rumah itu untuk mengecek kapan Candra, suami Vania pulang dari perjalanan bisnisnya.Hingga seminggu berlalu, saat Irma sedang main di rumah Vania, mobil mewah Candra datang, dan berhenti tepat di halaman rumah mewah itu. Candra berjalan kelua
Irma tersenyum senang. Tidak mengira impiannya bisa tidur dengan suami Vania bisa benar-benar terwujud tadi malam. Tubuh gagah dan kuat Candra benar-benar menggagahi tubuhnya. Rasanya Irma terlena dengan hebatnya pria tampan itu saat bergulat di atas ranjang tadi malam. Irma memakai pakaiannya, dan berjalan keluar dari kamar hotel itu. Dia diminta Candra untuk meminum obat pencegah kehamilan, tapi hal yang diminta Candra lakukan tak dilakukan oleh Irma karena kehamilan memang hal yang dia tunggu untuk menjerat Candra agar bisa memiliki hubungan lebih dalam, dengannya. Di sisi lain, terlihat Vania bangun tidur dalam keadaan linglung. Dia menatap di samping tempat tidur, dan mendapati suaminya sudah tidak ada di sana. Dengan cepat Vania bangun untuk mencari keberadaan suaminya. Dia pun berkeliling rumah, namun tak menemukan keberadaan suaminya itu. "Kemana perginya mas Candra pagi-pagi begini?" batin Vania bingung. Saat sedang mencari keberadaan Candra, tiba-tiba ponsel Vania berder
Vania masih terlihat memperhatikan hal yang dilakukan suami dan sahabatnya itu. Dia pun dengan cepat menghampiri mereka seraya pasang wajah kesal dan marahnya. "Ada apa ini? Apa yang sedang kalian lakukan? Kenapa kalian diam-diam bertemu di belakangku? Ada apa?" tanya Vania dengan ekspresi marahnya. Saat itu terlihat wajah Candra kaget. Dia benar-benar tidak pintar mengelak, dan mencari alasan untuk menghadapi hal semacam ini. Bagaimana dia harus beralasan di depan sang istri perihal hubungannya dengan Irma? Tentu saja dia tidak ingin Vania tahu tentang hubungan terlarang antara dia dan Irma. "Kamu kok di sini, Vania? Ngapain?" tanya Irma yang membuat Vania makin meradang mendengar kata-katanya. "Ngapain? Pertanyaan macam apa itu? Aku datang ke kantor suamiku adalah hal yang wajar karena aku istrinya. Sementara kamu, kamu sahabatku, tapi kamu datang ke kantor suamiku di belakangku. Kamu bertemu berduaan dengan suamiku, dan berbincang dekat seperti ini. Tidak bolehkah aku tahu, apa
Setelah cukup lama berbelanja bahan makanan, akhirnya Vania, Candra, dan Irma pun pulang. Terlihat Candra masih memberikan perhatian mesra pada Vania, seakan tidak ada wanita lain di mata Candra selain istrinya itu. Sementara Irma terlihat menatap benci dengan hal yang dilakukan pria itu. Padahal sebelumnya begitu menggilai tubuhnya, kini malah bersikap seperti orang asing yang benar-benar tidak saling kenal.Saat sampai rumah, Vania menatap dua anaknya sudah ada di sana dengan supir jemputan mereka. Melihat itu Vania pun langsung bergegas masuk, dan menemani dua anaknya yang memintanya mengikat rambut.Setelah Vania masuk ke kamar anak-anaknya, Irma yang melihat Candra duduk di sofa ruang tamu, langsung ikut duduk di sampingnya. Dia tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Candra yang ada di sisinya itu."Mumpung Vania di kamar, bagaimana kalau kita lakukan satu ronde di kamar tamu? Tidakkah k
Vania tak berhenti menangis. Dia tidak bisa melupakan hal yang dia dengar di kamar tamu tadi. Bagaimana bisa dua orang yang sangat dia sayangi dan dia percaya selama ini, ternyata mereka berkhianat di belakang Vania?Sakit rasanya hati Vania saat itu. Bahkan dia seakan tidak ingin lagi muncul di hadapan suami dan sahabatnya itu. Alih-alih mau makan malam untuk permohonan maafnya karena salah paham pada suami dan sahabatnya, justru dia malah mendapati kebenaran dari hal yang selama ini dia ragukan.Berulang kali Vania terus berpikir dalam tangisnya. Apa sebenarnya kurangnya dia selama ini sebagai seorang istri? Kenapa teganya suaminya berkhianat, bahkan berselingkuh dengan sahabat baik istrinya sendiri.Begitu pula Vania berpikir, kenapa sahabat yang selama ini dia tolong, dan dia anggap sebagai saudara sendiri, tega merebut suaminya. Kenapa keduanya bisa bekerjasama menghancurkan hati Vania hingga dia merasa mau ma
Irma keluar dari dapur, terlihat dia berjalan dengan gaya seksi mendekati Candra yang saat itu sedang mengobrol dengan kedua putrinya. Irma pun datang, ikut bergabung dan berbincang dengan Candra juga kedua anak Vania itu."Kalian sedang apa? Kenapa kalian terlihat seru sekali mainnya?" tanya Irma dengan senyum ramah."Tadi di sekolah, aku gambar mama, papa, aku dan Tania. Ibu guru berikan aku nilai seratus. Katanya gambarku bagus. Lihatlah, Tante Irma!" ucap Kanaya sambil memamerkan gambar yang dia buat di sekolahnya itu.Irma menatap jijik dengan gambar jelek yang dibuat Kanaya. Dia berusaha tersenyum, tapi dalam hati tak tahan untuk menggerutu tentang gambar buatan anak Vania itu."Gambar jelek begitu dipamer-pamer. Memang gambar jelek anak SD kelas satu. Merusak suasana hatiku, dan moodku saja. Awas saja! Kalau aku sudah menikah dengan Candra, dan jadi istri sahnya. Aku ak
Vania diam dalam balutan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia benar-benar tidak ingin bicara apapun dengan suaminya saat itu. Rasa kecewa memenuhi hatinya. Rasanya hancur dunianya saat itu. Pria yang sangat dia hormati, dia cintai, dia banggakan selama ini sebagai suami terbaiknya, ternyata berselingkuh dengan sahabatnya di belakangnya.Air mata Vania menetes. Bibirnya gemetar menahan sesak di dadanya. Dia tidak bisa membayangkan, suaminya tidur dengan sahabatnya sendiri di dalam satu ranjang yang sama.Berlahan mata Vania pun terpejam. Mungkin karena lelah menangis, akhirnya dia tidur juga. Sementara Candra masih terjaga. Dia benar-benar menyesali hal buruk yang dia lakukan hingga membuat rumah tangganya berantakan seperti saat ini.Kringgg...Suara ponsel Candra berdering. Panggilan itu tak lain adalah panggilan dari Irma, sahabat istrinya, sekaligus teman ranjang Candra se
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol
Candra pun berpamitan pulang pada kedua anaknya, dan menghampiri Vania untuk mengucap maaf untuk kesekian kalinya karena tanpa sengaja menampar pipi Vania saat marah. Vania tak bicara, dan hanya menatap kepergian suaminya dengan wajah yang masih kecewa. "Nak, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucap Vania sambil menuntun kedua anaknya masuk ke dalam mobil. Kanaya, dan Tania patuh, masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Mereka tahu suasana hati ibunya sedang sedih karena perbuatan ayah mereka tadi. Beberapa kali kedua anak itu mengecup pipi Vania yang sedang menyalakan mesin mobilnya. "Ma, jangan sedih! Papa jahat! Kami tidak mau papa lagi!" ucap Tania sambil mengusap pipi Vania dari kursi belakang mobil. "Papa keterlaluan! Mama tidak apa-apa kan? Ma, kami akan selalu di sisi mama. Mama jangan sedih ya!" sambung Kanaya yang disambut anggukan kepala dan senyum dari Vania."Kalian duduklah yang benar! Mama akan mengendarai mobil. Pakai juga sabuk pengaman kalian! Tidak usah dipikirkan
Mendengar suara hening dari seberang telepon, Candra pun kembali bicara untuk membujuk Vania ke rumah sakit. "Vania, aku mohon! Datanglah ke rumah sakit untuk menjenguk Irma! Walaupun kamu benci dia, tapi tolong lakukan ini untuk bayi dalam kandungannya," ucap Candra, lirih. "Dia kesakitan. Dia berada di ruang ICU. Lalu apa gunanya aku ada di rumah sakit? Yang diperlukan Irma sekarang hanya kamu, dan dokter. Dia tidak butuh aku berada di sisinya. Kalau dia lihat aku, takutnya dia malah makin parah. Jadi, jangan memintaku menemuinya, karena dia hanya akan semakin marah kalau aku ada di sekitarnya. Sudah Mas, aku capek! Aku tutup dulu teleponnya!" ucap Vania sambil mematikan panggilan telepon itu. Vania menghela nafas panjang. Sudah banyak hal terjadi pada dirinya, masih saja tidak bisa melepaskan keterikatan dia dengan Candra juga Irma. Jelas-jelas setiap kali melihat mereka bersama, dialah orang yang paling dikecewakan dan harus menahan sakit hati berkali-kali. Namun setelah
Selesai semua lomba, akhirnya para guru pun membagikan hadiah untuk para pemenang. Dua putri Vania terlihat bersemangat mengambil hadiah dari hasil kerja keras mereka memenangkan dua perlombaan. "Mama, kita menang!" ucap Kanaya sambil memeluk tubuh Vania. "Om Galang, kita menang!" sambung Tania yang memeluk tubuh Galang. Mata Galang dan Vania saling beradu. Entah kenapa keduanya terlihat canggung, dan tersenyum kecil satu sama lain dengan tingkah kedua anak kecil di hadapan mereka itu. "Ma, kita bagi dua hadiahnya!" pinta Kanaya. "Om, aku juga akan membagi hadiahku denganmu," sambung Tania yang seketika membuat Galang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Kalian pasti sudah lelah. Bagaimana kalau Om Galang antar kalian pulang? Kalian bisa langsung istirahat setelah sampai di rumah," tawar Galang yang langsung disambut anggukan kepala dari kedua anak Vania. "Hei, kita bawa mobil!" bisik Vania pada dua anaknya. "Ma, bukankah tadi mama bilang lelah? Mengendar