Irma keluar dari dapur, terlihat dia berjalan dengan gaya seksi mendekati Candra yang saat itu sedang mengobrol dengan kedua putrinya. Irma pun datang, ikut bergabung dan berbincang dengan Candra juga kedua anak Vania itu.
"Kalian sedang apa? Kenapa kalian terlihat seru sekali mainnya?" tanya Irma dengan senyum ramah.
"Tadi di sekolah, aku gambar mama, papa, aku dan Tania. Ibu guru berikan aku nilai seratus. Katanya gambarku bagus. Lihatlah, Tante Irma!" ucap Kanaya sambil memamerkan gambar yang dia buat di sekolahnya itu.
Irma menatap jijik dengan gambar jelek yang dibuat Kanaya. Dia berusaha tersenyum, tapi dalam hati tak tahan untuk menggerutu tentang gambar buatan anak Vania itu.
"Gambar jelek begitu dipamer-pamer. Memang gambar jelek anak SD kelas satu. Merusak suasana hatiku, dan moodku saja. Awas saja! Kalau aku sudah menikah dengan Candra, dan jadi istri sahnya. Aku ak
Vania diam dalam balutan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia benar-benar tidak ingin bicara apapun dengan suaminya saat itu. Rasa kecewa memenuhi hatinya. Rasanya hancur dunianya saat itu. Pria yang sangat dia hormati, dia cintai, dia banggakan selama ini sebagai suami terbaiknya, ternyata berselingkuh dengan sahabatnya di belakangnya.Air mata Vania menetes. Bibirnya gemetar menahan sesak di dadanya. Dia tidak bisa membayangkan, suaminya tidur dengan sahabatnya sendiri di dalam satu ranjang yang sama.Berlahan mata Vania pun terpejam. Mungkin karena lelah menangis, akhirnya dia tidur juga. Sementara Candra masih terjaga. Dia benar-benar menyesali hal buruk yang dia lakukan hingga membuat rumah tangganya berantakan seperti saat ini.Kringgg...Suara ponsel Candra berdering. Panggilan itu tak lain adalah panggilan dari Irma, sahabat istrinya, sekaligus teman ranjang Candra se
Melihat kepergian Vania dan Candra, Irma terlihat kesal. Dia pun berjalan pergi meninggalkan kafe sambil memikirkan cara untuk mendapatkan kembali hati Candra. Tidak rela rasanya jika harus melepaskan pohon uang yang masih ada dalam genggaman. Pokonya apapun yang terjadi, Irma tidak ingin mengakhiri hubungannya dengan Candra."Satu-satunya cara aku bisa tetap berhubungan dengan Candra, hanya dengan aku hamil. Tapi masalahnya, aku baru beberapa kali melakukan itu dengan Candra. Mustahil aku hamil! Tidak, pokonya selama bisa menjerat kembali Candra di sisiku selamanya, aku bisa melakukan hal apapun!" gumam Irma sambil tersenyum dengan rencana liciknya.Irma berjalan ke arah jalan untuk menghentikan taksi. Dia pun berjalan pergi menuju arah hotel sambil mengirimkan pesan pada seseorang di ponselnya. Hingga tanpa terasa mobil taksi pun berhenti di hotel yang Irma minta. Gadis itu pun turun dari mobil taksi dan menghampiri seorang pri
Vania berdiri, setelah sebelumnya jongkok cukup lama untuk meniup lilin yang dibawakan dua putrinya. Dia pun mendekat ke arah Candra sambil menatap teduh ke arah suaminya itu."Kali ini demi anak-anak, aku memaafkanmu dan memberikan kamu kesempatan kedua. Tolong hargai kesempatan terakhir dariku ini! Jangan buat aku kecewa lagi!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari sang suami."Ya, percayalah padaku. Aku tidak akan mengecewakan kamu lagi untuk kedua kalinya," balas Candra sambil memeluk tubuh sang istri.Melihat kedua orangtuanya berbaikan, Tania dan Kanaya pun ikut senang. Di hari ulang tahun ibunya itu, berakhir pun perselisihan diantara mereka.Setelah tiup lilin, dan makan kue, Candra, Vania, dan anak-anak mereka pun makan malam bersama. Terlihat wajah bahagia dari kedua putri Vania itu, yang membuat Vania pun ikut senang melihatnya."S
Vania meradang. Merasa ikut kesal mendengar kata-kata yang dilontarkan Irma saat itu."Masalahnya, laki-laki yang kamu tiduri itu suamiku! Masalahnya, kamu goda suamiku, rebut suamiku, dan berselingkuh dengan suamiku. Irma, kamu harusnya tahu kalau mas Candra segalanya buat aku! Tapi kamu bisa-bisanya bilang kalau persahabatan kita lebih penting dari segalanya? Aku tanya sama kamu, apakah kamu mikir aku sahabat kamu, saat kamu tidur sama suamiku? Apa kamu mikir aku sahabat kamu, saat kamu menggoda, dan bermesraan dengan suamiku? Apakah kamu pernah mikirin perasaanku saat kamu selingkuh dengan suamiku? Sahabat macam apa kamu? Seumur hidup ini, aku tidak pernah menemui orang yang jauh lebih tidak tahu malu seperti kamu. Irma, sejak kamu selingkuh dengan suamiku, sudah tidak ada jalan kembali. Kita sudah bukan sahabat lagi!"Mendengar itu Irma menahan marahnya. Merasa Vania yang biasanya bisa dia bodohi, dan dia manfaatkan, sekarang
Setelah sampai di rumah, Vania berjalan masuk ke dalam kamar. Candra pun mengikuti langkah kaki sang istri, berusaha untuk menghibur hati Vania yang saat itu sedang gusar karena Irma.Candra duduk di sisi tempat tidur. Dia memandangi sang istri, yang saat itu berbaring di tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.Berlahan, tangan Candra mengusap-usap lembut pucuk kepala Vania. Gadis itu tiba-tiba meneteskan air mata. Dia menangis sekuat-kuatnya, hingga membuat Candra terkejut melihatnya.Ini kali kedua melihat Vania menangis seperti itu. Sebelumnya Vania menangis saat mengetahui hubungan Candra dan Irma. Tidak disangka kini hal yang sama terjadi lagi. Vania menangis sedih, seakan dunianya runtuh dan dia hancur karena itu."Jangan menangis! Tolong, jangan menangis! Maafkan aku! Aku seharusnya tidak pernah berselingkuh. Aku seharusnya tidak pernah mempermainkan pernikahan kita. Aku
Setelah beberapa tinggal di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan Vania pulang. Candra sibuk mengurus kepulangan sang istri, hingga tiba-tiba tanpa sengaja dia menabrak seseorang yang ada di hadapannya saat itu."Aduh, Mas, hati-hati kalau jalan! Kalau sampai bayi saya kenapa-kenapa, bagaimana?" oceh wanita berkulit sawo matang itu pada Candra.Candra yang merasa familiar mendengar suara wanita itu, segera menoleh ke arah sumber suara. Matanya melotot, menatap ke arah Irma yang saat itu sedang mengutip barangnya yang jatuh sambil mengusap-usap perutnya."Bayi? Irma, kamu hamil?" tanya Candra yang seketika membuat mata Irma membulat mendengarnya."Mas, mas Candra, kamu...." Irma tak melanjutkan kata-katanya. Dia tentu saja senang mendapati Candra adalah pria yang menabraknya saat itu. Akhirnya waktu tiba, Candra pasti berpikir kalau anak yang saat ini ada dalam perutnya adal
Keesokkan harinya, Candra bersiap pergi ke kantor. Dia melihat Vania masih tidur, dan enggan untuk membangunkan sang istri yang masih terlelap. Candra pun mendekat ke arah istrinya, dan mengecup singkat kening Vania sebelum dia keluar dari kamar.Candra meminta para pelayan rumah untuk mengurus dua anak perempuannya yang akan berangkat sekolah. Terlihat si bungsu merengek, dan memaksa ingin membangunkan ibunya yang saat itu masih tidur."Pa, aku mau ketemu mama! Kenapa mama gak kuncir rambutku hari ini? Pa, mama masih sakit ya? Tania boleh lihat mama? Tania kangen mama. Sudah beberapa aku tidak lihat mama. Tania mau ketemu mama, pa!" rengek Tania sambil terus menangis.Candra yang sudah rapi dan siap untuk pergi ke kantor pun tak tega melihat putri bungsunya itu menangis. Dia menggendong Tania, dan membawa bocah kecil itu menuju arah meja makan sambil berusaha menenangkan hati putri kecilnya.
Sebenarnya Candra sebagai laki-laki normal, dia cukup tergoda dengan tubuh Irma saat itu. Terlalu sempurna menjadi wanita yang merupakan tipe Candra dari fisik. Sayangnya, dia sudah tidak ingin lagi berkhianat dan menyakiti Vania. Nafsunya gugur karena rasa bersalahnya pada sang istri.Candra pun menghubungi dokter pribadinya untuk datang ke rumah Irma. Hingga tak sampai dua puluh menit, dokter yang dipanggil pun datang ke rumah itu untuk memeriksa kondisi Irma, dan bayinya. Dia terlihat begitu fokus, dan berhati-hati saat memeriksa Irma. Sementara Irma, terlihat tenang dan sedikit bersemangat karena kehadiran Candra di rumahnya saat itu."Bagaimana keadaannya dan bayinya, Dok?" tanya Candra khawatir."Tidak masalah. Ibu dan bayinya baik-baik saja. Hanya saja, sepertinya ibu bayi makan terlalu sedikit. Perkembangan bayi dalam kandungannya lemah, kekurangan energi karena asupan makanan yang tidak mencuku
Galang yang melihat Vania terus menangis, tak tahan, dan bergegas menarik tangan Vania hingga gadis itu jatuh di dalam pelukannya. Galang tidak tahu kenapa, perasaannya ikut sedih melihat kondisi Vania yang menderita seperti saat ini. Kalau memang sudah lelah, kenapa tidak pisah saja. Kenapa Vania bersikukuh bertahan dalam pernikahan yang hanya melukai hatinya. "Sudah cukup! Jangan menangis lagi! Sebagai atasanmu, yang memberikan kamu gaji setiap bulan, aku minta kamu berhenti menangis!" ucap Galang sambil mempererat pelukannya di tubuh Vania. Vania yang menangis pun, sedikit merekahkan senyuman. Dia melihat keperdulian di mata Galang, dari ketusnya tutur kata yang diucapkan sang bos saat itu. "Bos, jangan keterlaluan! Ini bukan waktu kerjaku. Kamu masih mau menindasku, dan tidak mengizinkan aku menangis di hari liburku? Dasar bos jahat!" gerutu Vania sambil melepaskan pelukannya dan memukul lembut dada Galang. "Aw... Vania, kamu pukul aku? Aku baik-baik datang untuk menghibur
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol
Candra pun berpamitan pulang pada kedua anaknya, dan menghampiri Vania untuk mengucap maaf untuk kesekian kalinya karena tanpa sengaja menampar pipi Vania saat marah. Vania tak bicara, dan hanya menatap kepergian suaminya dengan wajah yang masih kecewa. "Nak, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucap Vania sambil menuntun kedua anaknya masuk ke dalam mobil. Kanaya, dan Tania patuh, masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Mereka tahu suasana hati ibunya sedang sedih karena perbuatan ayah mereka tadi. Beberapa kali kedua anak itu mengecup pipi Vania yang sedang menyalakan mesin mobilnya. "Ma, jangan sedih! Papa jahat! Kami tidak mau papa lagi!" ucap Tania sambil mengusap pipi Vania dari kursi belakang mobil. "Papa keterlaluan! Mama tidak apa-apa kan? Ma, kami akan selalu di sisi mama. Mama jangan sedih ya!" sambung Kanaya yang disambut anggukan kepala dan senyum dari Vania."Kalian duduklah yang benar! Mama akan mengendarai mobil. Pakai juga sabuk pengaman kalian! Tidak usah dipikirkan
Mendengar suara hening dari seberang telepon, Candra pun kembali bicara untuk membujuk Vania ke rumah sakit. "Vania, aku mohon! Datanglah ke rumah sakit untuk menjenguk Irma! Walaupun kamu benci dia, tapi tolong lakukan ini untuk bayi dalam kandungannya," ucap Candra, lirih. "Dia kesakitan. Dia berada di ruang ICU. Lalu apa gunanya aku ada di rumah sakit? Yang diperlukan Irma sekarang hanya kamu, dan dokter. Dia tidak butuh aku berada di sisinya. Kalau dia lihat aku, takutnya dia malah makin parah. Jadi, jangan memintaku menemuinya, karena dia hanya akan semakin marah kalau aku ada di sekitarnya. Sudah Mas, aku capek! Aku tutup dulu teleponnya!" ucap Vania sambil mematikan panggilan telepon itu. Vania menghela nafas panjang. Sudah banyak hal terjadi pada dirinya, masih saja tidak bisa melepaskan keterikatan dia dengan Candra juga Irma. Jelas-jelas setiap kali melihat mereka bersama, dialah orang yang paling dikecewakan dan harus menahan sakit hati berkali-kali. Namun setelah