Rani pun membereskan sisa sarapannya dan merapikan semua yang ada di atas meja lalu membawanya ke dapur. Saat dirinya sibuk mencuci piring. Terdengar suara ponselnya yang dering. Di sana terlihat nama Marko yang muncul di layar pipihnya yang menyala. Sempat ragu akan menjawab atau tidak. Namun, karena berdering hampir tiga kali membuat Rani mau tak mau akhirnya menggeser tombol hijau ke arah kanan. “Ada apa?” tanya Rani singkat. “Kenapa tidak menjawab panggilanku sedari tadi, hah?” sungut Marko kesal. Rani hanya terdiam tak menjawab pertanyaan dari Marko. “Kita sudah tidak ada urusan. Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi,” sahut Rani mengalihkan ke yang lain. Marko menyeringai tersenyum di seberang sana. “Mentang-mentang kamu sudah dinikahi oleh pria kaya raya, jadi kamu seenaknya bicara seperti itu, hah?” cecar Marko berteriak. Rani menjauhkan ponselnya dari telinganya karena suara keras Marko. “Maaf, aku sibuk jangan pernah hubungi aku lagi!” Rani pun mematikan
Rani terkejut saat melihat seseorang yang wajahnya sangat tak asing baginya. Sama halnya dengan Rani. Seseorang yang memakai jaz warna abu-abu juga ikut terkejut. “Rani?” ucap Pria itu memanggil wanita di hadapannya. Sontak Rani langsung tersenyum tipis saat mengingat jika pria di hadapannya saat ini adalah pria yang selalu memakai jasanya. “Tuan,” sapa Rani gugup. “Wah, aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini. Aku kira kamu hanya menetap di Bali,” kata pria itu dengan memasang wajah senang. “Aku sudah pindah ke sini, Tuan.” “Baguslah kalau gitu. Jadi, aku tidak perlu jauh ke Bali untuk menemuimu,” kata pria itu lagi tersenyum. Rani yang paham dengan ucapan pria itu pun langsung mencari alasan yang lain agar obrolannya saat ini segera disudahi. Karena, pembahasan pria itu mengarah pada dirinya yang dikira masih menjadi wanita malam. “Maaf, Tuan. Aku harus pergi!” pamit Rani. Namun, pria itu langsung mencekal tangan kiri Rani, membuat si Rani mau tak mau menghen
“Kamu sangat memuaskan, Sayang. Aku akan kembali minggu depan, kamu harus bersiap,” ucap seorang Pria berbadan tinggi dengan tubuh sedikit gempal. “Kembalilah, akan aku tunggu,” jawab wanita seksi berbaju ungu dengan nada manja. Pria itu pun tersenyum lalu meninggalkan kamar VIP setelah pakaian yang ia gunakan rapi seperti semula. “Sungguh melelahkan sekali malam ini,” gumam wanita yang masih betah berbaring di atas ranjang. Tidak lama, ponsel yang ia letakan di nakas berdering. “Di mana kamu, Rani?” tanya wanita paruh baya di seberang sana. “Masih di kamar. Kenapa memangnya?” “Keluarlah, cepat. Datang ke ruanganku, sekarang!” titahnya dengan nada tinggi. Wanita yang di panggil Rani pun beranjak dari ranjang dengan malas. “Pasti akan di omelin lagi!” gerutunya dengan memungut pakaian seksinya yang masih berserakan di lantai. Rani keluar dari kamar VIP lalu berjalan ke arah ruangan yang di tuju. Setelah sampai ia pun membuka pintu dan masuk begitu saja. “Ada apa
Keesokan harinya. Sesuai perjanjian untuk bertemu di hotel Golden Star. Membuat Rani kini sudah bersiap akan berkunjung ke sana. Dia memakai pakaian terbaiknya, dengan memoles wajahnya secara natural. Namun, tetap terlihat berkharisma dan cantik. “Aku dengar kamu mendapat banyak uang semalam? Aku ingin meminta uang padamu?” cegah pria yang datang menemui Rani di kediamannya. “Aku akan melunasi, tetapi tidak hari ini. Hari ini aku sibuk, lusa aku akan ke tempatmu. Aku janji, semua akan ku lunasi!” timpal Rani memohon diberi waktu. “Alasan apalagi, hah? Aku ngga mau tahu, aku minta uangnya sekarang!” bentak pria itu emosi. Pria itu langsung mendorong Rani lalu menarik tasnya, ia membuka dan mengambil seluruh uang di dalam dompet Rani. Rani tak bisa memberontak selain pasrah. Setelah pria itu merampas semua isi di dompetnya, dia langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Rani bahkan sampai tersungkur di lantai. Dia sudah muak diperlakukan kasar seperti ini. Ia sudah tidak tah
Pernikahan Rani dan Galvin sudah diselenggarakan secara tertutup. Rani bahkan masih tak menyangka kinu statusnya sudah berubah menjadi seorang istri. Meski kenyataannya dia hanya menjadi istri kedua. “Setelah selesai apa aku boleh pulang?” tanya Rani saat berada di dalam satu kamar hotel. Galvin yang fokus dengan benda pipihnya pun mendongak ke arah Rani yang berdiri di hadapannya. “Apa? Pulang? Buat apa? Kamu istriku sekarang. Jadi, aku minta kamu tetap di sampingku mulai detik ini,” timpal Galvin dingin. Rani pun membelalak tak percaya. “Tapi, Tuan. Ada beberapa hal yang ingin aku selesaikan. Aku janji setelah semua tuntas, aku akan kembali ke sini,” ucapnya penuh berharap. “Seberapa pentingkah hal itu untukmu?” tanya Galvin dengan beranjak dari kursi dan mendekat ke arah istri keduanya. Rani cukup gugup untuk menjawab. Dia tidak bisa memberitahu kenyataannya jika hal penting itu adalah menyangkut hutang kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melibatkan Galvin ke dalam mas
Galvin mengangguk pelan. Sementara Rani, ia menunduk takut. “Kenapa kamu baru memberitahuku, Mas?” Siska bertanya penuh emosi. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Aku menikah lagi?” Galvin berbalik tanya membuat wajah Siska kelicutan. “Apa maksudmu?” Helena ikut angkat bicara. “Tanyakan sama menantumu, Bu,” tunjuk Galvin mengarah pada Siska. Helena pun menatap ke arah Siska meminta jawaban. Siska mengangguk lalu ia pun berkata, “Yang dikatakan mas Galvin benar, Bu. Aku menyuruhnya untuk menikah lagi. Karena aku tidak bisa memberinya anak. Tapi, yang jadi masalahnya kenapa harus diam-diam kamu menikah di belakangku, Mas. Apalagi kita tidak tahu asal usul dia dari mana!” Siska pun bicara jujur. Sontak Galvin dibuat tercengang saat Siska menanyakan asal usul istri keduanya. “Jawab Galvin? Dia dari keluarga mana? Apa setara dengan kita atau—,” “Yang terpenting dia orang baik,” sela Galvin memotong ucapan Helena, Ibu kandungnya. Siska mendecih. Ia melirik ke arah istri kedu
Sementara itu, Rani yang di kamar pun berganti pakaian memakai baju yang menurutnya sopan. Ia keluar untuk menyapa keluarga sang suami. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di hati Rani setelah apa yang terjadi di beberapa menit yang lalu. Lagi pula itu sudah menjadi kebiasaannya. Membuat ia merasa hal itu biasa saja. “Selamat pagi semua,” sapa Rani tersenyum. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang merespons. Galvin yang tersenyum tipis, akhirnya menarik tangan istri keduanya untuk duduk di sebelahnya yang kosong. “Duduklah, setelah sarapan kita langsung pulang ke rumah,” titahnya kepada Rani yang mengangguk pelan. Rani hanya menurut. Ia tak mempermasalahkan sikap keluarga dari suaminya itu. “Maksudmu pulang apa, Mas?” tanya Siska menimpali. “Kita kembali ke rumah, lagi pula sekarang sudah ada Rani yang menemani kamu,” sahut Galvin. Siska mendecih. “Aku tak sudi ditemani orang kaya dia!” tunjuknya mengarah pada Rani. “Jangankan tinggal serumah, dekat saja aku mera
“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis. “Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan. Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya. “Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung. Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu. “Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani. Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. “Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati. Ra