Rani seketika menggeleng menolak permintaan dari Galvin yang meminta lebih. “Kenapa?” tanya Galvin penasaran. Padahal gair*hnya sudah di ujung puncak. “Maaf, Tuan. Jangan di mobil, kita bisa melakukannya nanti setelah makan. Aku sangat lapar,” jawab Rani dengan polos. Galvin yang tadinya sedikit kecewa, seketika tertawa mendengar alasan dari istri keduanya itu. Ia pun menjauhkan badannya ke tempat semula. Lalu ia menyalakan mobil dan berjalan ke tempat resto yang akan di tuju. Rani sendiri tersenyum sambil memandang ke arah jendela. Jantungnya semakin berdebar tak terkira. Padahal ia ingin menghilangkan perasaannya yang tumbuh secara tiba-tiba. Namun, bukannya memudar, malahan semakin mendalam. Sesampainya di tempat makan yang di tuju. Galvin pun memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan. Setelah mobil berhenti, ia turun lalu berlari untuk membukakan pintu sebelah kiri agar dengan mengajak Rani keluar. “Terima kasih, Tuan,” ucap Rani tersenyum. “Hayo,” ajak Galvin
Di perjalanan, Rani sedikit bingung karena kali ini jalanan yang dilewati bukan ke arah kediaman milik suaminya. Rani pun menoleh ke arah samping kanan, meminta jawaban. Galvin yang peka terhadap lirikan Rani hanya bisa tersenyum. “Aku akan mengajakmu jalan-jalan keliling Jakarta. Apa kamu keberatan? Kalo iya, aku bisa berputar balik kembali ke arah pulang,” ucap Galvin dengan menatap ke arah Rani. Seketika Rani yang cukup terkejut mendengar ajakan dari Galvin. Hanya bisa tercengang.“Mau atau tidak?” ulang Galvin bertanya. Rani pun hanya mengangguk pelan. Galvin tersenyum, lalu ia pun menancapkan gas mobilnya secara cepat ke arah kota. Di pertengahan perjalanan, tiba-tiba Galvin membuka atap mobilnya, wajah Rani pun seketika diterpa angin malam yang cukup kencang. Tentu saja, ini pengalaman pertama yang baru dirasakan oleh Rani naik mobil terbuka. “Wah, indah sekali!” gumam Rani dengan mendongak ke atas melihat sekeliling gedung tinggi. “Berdirilah, jika kamu ingin men
“Kamu sangat memuaskan, Sayang. Aku akan kembali minggu depan, kamu harus bersiap,” ucap seorang Pria berbadan tinggi dengan tubuh sedikit gempal. “Kembalilah, akan aku tunggu,” jawab wanita seksi berbaju ungu dengan nada manja. Pria itu pun tersenyum lalu meninggalkan kamar VIP setelah pakaian yang ia gunakan rapi seperti semula. “Sungguh melelahkan sekali malam ini,” gumam wanita yang masih betah berbaring di atas ranjang. Tidak lama, ponsel yang ia letakan di nakas berdering. “Di mana kamu, Rani?” tanya wanita paruh baya di seberang sana. “Masih di kamar. Kenapa memangnya?” “Keluarlah, cepat. Datang ke ruanganku, sekarang!” titahnya dengan nada tinggi. Wanita yang di panggil Rani pun beranjak dari ranjang dengan malas. “Pasti akan di omelin lagi!” gerutunya dengan memungut pakaian seksinya yang masih berserakan di lantai. Rani keluar dari kamar VIP lalu berjalan ke arah ruangan yang di tuju. Setelah sampai ia pun membuka pintu dan masuk begitu saja. “Ada apa
Keesokan harinya. Sesuai perjanjian untuk bertemu di hotel Golden Star. Membuat Rani kini sudah bersiap akan berkunjung ke sana. Dia memakai pakaian terbaiknya, dengan memoles wajahnya secara natural. Namun, tetap terlihat berkharisma dan cantik. “Aku dengar kamu mendapat banyak uang semalam? Aku ingin meminta uang padamu?” cegah pria yang datang menemui Rani di kediamannya. “Aku akan melunasi, tetapi tidak hari ini. Hari ini aku sibuk, lusa aku akan ke tempatmu. Aku janji, semua akan ku lunasi!” timpal Rani memohon diberi waktu. “Alasan apalagi, hah? Aku ngga mau tahu, aku minta uangnya sekarang!” bentak pria itu emosi. Pria itu langsung mendorong Rani lalu menarik tasnya, ia membuka dan mengambil seluruh uang di dalam dompet Rani. Rani tak bisa memberontak selain pasrah. Setelah pria itu merampas semua isi di dompetnya, dia langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Rani bahkan sampai tersungkur di lantai. Dia sudah muak diperlakukan kasar seperti ini. Ia sudah tidak tah
Pernikahan Rani dan Galvin sudah diselenggarakan secara tertutup. Rani bahkan masih tak menyangka kinu statusnya sudah berubah menjadi seorang istri. Meski kenyataannya dia hanya menjadi istri kedua. “Setelah selesai apa aku boleh pulang?” tanya Rani saat berada di dalam satu kamar hotel. Galvin yang fokus dengan benda pipihnya pun mendongak ke arah Rani yang berdiri di hadapannya. “Apa? Pulang? Buat apa? Kamu istriku sekarang. Jadi, aku minta kamu tetap di sampingku mulai detik ini,” timpal Galvin dingin. Rani pun membelalak tak percaya. “Tapi, Tuan. Ada beberapa hal yang ingin aku selesaikan. Aku janji setelah semua tuntas, aku akan kembali ke sini,” ucapnya penuh berharap. “Seberapa pentingkah hal itu untukmu?” tanya Galvin dengan beranjak dari kursi dan mendekat ke arah istri keduanya. Rani cukup gugup untuk menjawab. Dia tidak bisa memberitahu kenyataannya jika hal penting itu adalah menyangkut hutang kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melibatkan Galvin ke dalam mas
Galvin mengangguk pelan. Sementara Rani, ia menunduk takut. “Kenapa kamu baru memberitahuku, Mas?” Siska bertanya penuh emosi. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Aku menikah lagi?” Galvin berbalik tanya membuat wajah Siska kelicutan. “Apa maksudmu?” Helena ikut angkat bicara. “Tanyakan sama menantumu, Bu,” tunjuk Galvin mengarah pada Siska. Helena pun menatap ke arah Siska meminta jawaban. Siska mengangguk lalu ia pun berkata, “Yang dikatakan mas Galvin benar, Bu. Aku menyuruhnya untuk menikah lagi. Karena aku tidak bisa memberinya anak. Tapi, yang jadi masalahnya kenapa harus diam-diam kamu menikah di belakangku, Mas. Apalagi kita tidak tahu asal usul dia dari mana!” Siska pun bicara jujur. Sontak Galvin dibuat tercengang saat Siska menanyakan asal usul istri keduanya. “Jawab Galvin? Dia dari keluarga mana? Apa setara dengan kita atau—,” “Yang terpenting dia orang baik,” sela Galvin memotong ucapan Helena, Ibu kandungnya. Siska mendecih. Ia melirik ke arah istri kedu
Sementara itu, Rani yang di kamar pun berganti pakaian memakai baju yang menurutnya sopan. Ia keluar untuk menyapa keluarga sang suami. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di hati Rani setelah apa yang terjadi di beberapa menit yang lalu. Lagi pula itu sudah menjadi kebiasaannya. Membuat ia merasa hal itu biasa saja. “Selamat pagi semua,” sapa Rani tersenyum. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang merespons. Galvin yang tersenyum tipis, akhirnya menarik tangan istri keduanya untuk duduk di sebelahnya yang kosong. “Duduklah, setelah sarapan kita langsung pulang ke rumah,” titahnya kepada Rani yang mengangguk pelan. Rani hanya menurut. Ia tak mempermasalahkan sikap keluarga dari suaminya itu. “Maksudmu pulang apa, Mas?” tanya Siska menimpali. “Kita kembali ke rumah, lagi pula sekarang sudah ada Rani yang menemani kamu,” sahut Galvin. Siska mendecih. “Aku tak sudi ditemani orang kaya dia!” tunjuknya mengarah pada Rani. “Jangankan tinggal serumah, dekat saja aku mera
“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis. “Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan. Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya. “Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung. Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu. “Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani. Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. “Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati. Ra