Empat belas hari berlalu dengan ketegangan yang tak terucap. Kevin, dengan seringai licik tersembunyi di balik topeng wajah tenangnya, menanti dengan sabar hasil tes DNA yang ia lakukan secara diam-diam. Setiap hari, ia mengecek kotak surat dengan antisipasi yang memuncak, menunggu amplop yang akan menjadi senjata pamungkasnya.Akhirnya, pada hari ke-14, amplop yang ditunggu-tunggu tiba. Dengan tangan gemetar oleh antisipasi, Kevin membuka amplop itu. Matanya menyapu cepat deretan angka dan huruf yang tercetak di kertas, hingga akhirnya berhenti pada satu kalimat yang membuat seringainya melebar: "Probabilitas hubungan ayah-anak: 99.99%."Tanpa membuang waktu, Kevin menaruh surat itu di tempat yang ia yakini akan ditemukan oleh Vera, Tasya, dan Arka. Ia memilih meja kecil di ruang keluarga, tempat di mana mereka biasa meletakkan koran pagi dan surat-surat penting. Dengan hati-hati, ia meletakkan amplop itu di atas tumpukan surat lainnya, memastikan bagian yang menunjukkan hasil tes DN
Setelah Vera dan anak-anaknya meninggalkan kamar, keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Hanya isakan pelan bayi-bayi kembar yang memecah kesunyian. Keira, dengan tangan gemetar, berusaha menenangkan bayi di pelukannya. Matanya menatap jauh ke luar jendela, pikirannya berkelana ke peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Bara melakukan hal yang sama dengan bayi dalam gendongannya, tetapi matanya tak pernah lepas dari sosok Keira dan bayi digendongan gadis itu.Setelah beberapa saat, Keira menatap Bara, matanya masih basah oleh air mata. Dengan suara lirih yang bergetar, ia akhirnya memberanikan diri untuk bicara."Om," Keira akhirnya memecah keheningan, suaranya nyaris berbisik. "Kenapa Om bohong lagi sama Tante Vera? Om Bara kan enggak memperkosa aku, tapi malah menyelamatkan aku dari pengaruh obat perangsang sialan waktu itu."Bara menghela nafas panjang, tangannya mengusap wajahnya yang terlihat lebih tua dari usianya. "Karena Om enggak mau kamu yang jadi sasaran kemara
Vera, yang selama beberpa hari hanya mengurung diri di kamar, kini mulai menampakkan diri dengan sikap yang jauh berbeda dari sebelumnya.Awalnya, Vera berusaha bersikap bijak. Ia paham bahwa Keira bukanlah pihak yang sepenuhnya bersalah dalam situasi ini. Meski tidak lagi bisa bersikap ramah dan baik seperti dulu, setidaknya ia berusaha untuk tidak bersikap kejam pada gadis itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Vera merasakan pergolakan emosi yang semakin intens.Akhirnya, Vera yang semula mencoba bersikap bijak dan pengertian, kini mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan sikap. Matanya yang dulu selalu memancarkan kehangatan kini dipenuhi oleh sorot dingin setiap kali bertemu pandang dengan Keira. Senyumnya yang dulu tulus kini terlihat dipaksakan, seolah hanya topeng yang menutupi badai emosi di baliknya.Keira, yang menyadari perubahan sikap Vera, hanya bisa menunduk setiap kali berpapasan dengan wanita itu. Rasa bersalah yang selama ini ia pendam kembali menggerogoti hatinya, me
Setelah insiden dengan Kevin, Keira semakin berhati-hati dalam berinteraksi dengan siapapun di rumah itu. Ia berusaha fokus merawat Sabiru dan Aurora, berharap kesibukan mengurus anak kembar bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah yang semakin rumit.Namun, tanpa sepengetahuan Keira, situasi akan segera memburuk. Vera, yang telah memasang kamera tersembunyi di berbagai sudut rumah, berhasil mendapatkan foto-foto yang menunjukkan Kevin mencoba memeluk Keira. Dengan senyum puas, Vera mencetak foto-foto tersebut.Keesokan harinya, saat semua anggota keluarga berkumpul untuk sarapan, Vera memulai rencananya. Ia meletakkan amplop berisi foto-foto itu di meja makan, tepat di hadapan Tasya."Tasya sayang, ada sesuatu yang harus kamu lihat. Tadi ada orang yang mengirimkan itu dan menitipkannya pada Mama, katanya untukmu" ujar Vera dengan nada prihatin yang dibuat-buat.Tasya membuka amplop itu dengan penasaran, tetapi ekspresinya berubah drastis begitu melihat isinya. Matanya melebar, waja
Keira merasakan kelelahan mental dan fisik yang semakin menumpuk. Hidup di bawah satu atap dengan Vera, Tasya, dan Kevin terasa seperti neraka. Hanya kehadiran Sabiru dan Aurora, yang sering ia panggil Sabiru dan Aurora, menjadi penghibur di tengah kekacauan yang tiada henti. Namun, baru-baru ini, bahkan anak-anaknya pun tidak terlepas dari pengaruh buruk Vera.Keira masih ingat kejadian mengerikan beberapa malam yang lalu ketika Vera secara sengaja menaburkan bedak gatal di ranjang bayi kembarnya. Malam itu, Aurora dan Sabiru menangis tak henti-henti karena rasa gatal yang menyiksa. Keira dan Bara terpaksa membawa mereka ke rumah sakit setelah kulit bayi-bayi itu mulai memerah dan membengkak. Dokter mengatakan bahwa reaksi alergi itu disebabkan oleh sesuatu yang menyentuh kulit mereka, namun Keira tahu persis siapa yang bertanggung jawab.Ia merasa hatinya terkoyak antara perasaan bersalah dan amarah yang membuncah. Keira tahu bahwa, bagaimanapun, ia memiliki andil dalam kekacauan
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Keira membuka matanya. Sepanjang malam, ia hanya bisa memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum kembali terjaga. Pikirannya berkecamuk dengan keputusan berat yang harus ia ambil. Suara-suara ancaman Vera, kemarahan Tasya, obsesi Kevin, dan kecemburuan Bara terus bergema di telinganya, bercampur dengan tangisan Sabiru dan Aurora yang seolah memanggil namanya.Dengan hati-hati, Keira bangkit dari tempat tidurnya. Kakinya terasa berat saat ia msabirukah menuju jendela, menyibakkan tirai untuk melihat langit yang perlahan berubah warna. Cahaya keemasan mulai menyusup di antara awan-awan, seolah menjadi pertanda bahwa hari baru telah tiba - hari yang akan mengubah hidupnya selamanya.Keira menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak saat ia menyandarkan keningnya pada kaca jendela yang dingin.Ia tahu bahwa keputusan yang akan ia ambil bukanlah keputusan yang mudah. Meninggalkan anak-anaknya, melepaskan kehidupan yang telah ia bangun, dan m
Angin musim gugur bertiup lembut, menerbangkan daun-daun keemasan yang berguguran di sepanjang jalan setapak kampus. Keira berjalan perlahan, matanya terpaku pada buku di tangannya, sementara pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Sudah hampir enam bulan sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan melanjutkan studinya di Amerika. Enam bulan yang terasa seperti selamanya.Setiap malam, bayangan wajah Sabiru dan Aurora menghantui mimpinya. Ia bisa merasakan tangan mungil mereka, mendengar tangisan mereka yang memanggilnya. Dan setiap pagi, ia terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di dadanya - bukan hanya karena rasa bersalah, tapi juga karena tubuhnya masih beradaptasi dengan tidak lagi menyusui.Akibat tak lagi menyusui, Keira memang harus menanggung sakit dan kesulitan karena asinya tak mau berhenti merembes. Keira juga merasakan kesakitan yang luar biasa pada dadanya yang membengkak dan nyeri akibat tak lagi menyusui anak-anaknya.Tak hanya secara fisik, tetapi secara m
Bulan-bulan berlalu, membawa perubahan musim dan transformasi tak kasat mata dalam hubungan Keira dan Arka. Musim gugur yang keemasan berganti menjadi musim dingin yang membekukan, namun kehangatan mulai tumbuh di antara mereka berdua. Layaknya es yang perlahan mencair, kecanggungan awal mereka luruh, digantikan oleh keakraban yang semakin hari semakin dalam.Senja itu, salju tipis mulai turun ketika Keira dan Arka msabirukah keluar dari perpustakaan kampus. Butiran-butiran putih lembut itu menari-nari di uaurora, menciptakan pemandangan yang magis. Keira menengadahkan kepalanya, membiarkan serpihan salju menaurorat lembut di wajahnya. Untuk sesaat, ia merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang tak memiliki beban."Indah ya?" suara Arka memecah keheningan. Keira menoleh, mendapati Arka sedang menatapnya dengan senyum lembut. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat jantung Keira berdesir."Iya, indah banget," jawab Keira, tak yakin apakah ia sedang membicarakan salju atau pemud