Larut malam, di saat sebagian besar anggota keluarga Mahendrata telah terlelap, suasana hening di rumah megah itu terganggu oleh kehadiran Bara. Pria itu keluar dari ruang kerjanya, berniat sekadar membuat secangkir kopi untuk menghilangkan rasa penatnya. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok cantik Keira yang sedang duduk sendirian di ruang keluarga, memandang layar televisi yang menyala tanpa minat."Belum tidur, Kei?" tanya Bara, mendekati Keira dengan langkah ringan. Vera, istrinya, terlihat telah terlelap di kamar, memberi kesempatan bagi Bara untuk berani menghampiri dan menyapa Keira.Keira menggeleng sambil menunjukan senyum tipis dari bibir mungilnya. “Aku enggak bisa tidur, Om. Soalanya dari dalam perut aku kerasa kaya-kyak gerak terus. Kayaknya mereka ngidam pengen nonton film, soalnya waktu aku nonton, mereka langsung diem.”Sembari, Keira mengusap lembut perutnya yang semakin membesar seiring dengan usia kehamilannya. Melihat gerakan itu, Bara tak mam
Arka berdiri dengan tegak, seringai puas masih terus terpampang jelas di wajahnya. Matanya semakin berkilat penuh kemenangan saat melihat emosi yang kian bergejolak di wajah Papanya. Ia tahu bahwa ia telah berhasil memancing amarah Bara hingga ke titik didihnya. Bahkan, ia bisa melihat dengan jelas keinginan besar dalam diri Papanya untuk melayangkan sebuah tamparan atau pukulan ke wajahnya.Namun, entah apa yang menahan Papanya untuk segera bereaksi. Papanya ia tampak masih mampu mengendalikan emosinya, meskipun terlihat jelas bahwa Papanya itu sedang berjuang keras melawannya. Melihat hal ini, Arka merasa semakin tertantang untuk meruntuhkan pertahanan terakhir Papanya."Lihat, kan? Aku udah mulai membuat ulah di rumah ini,” ujar Arka dengan nada mengejek, suaranya memecah keheningan yang mencekam. Selamat menikmati kesenangan dariku, Pa! Karena masih banyak yang akan kulakukan untuk membuat hidup Papa lebih berwarna dengan tingakahky yang bisa bikin Papa sakit kepala'."Kata-kata d
Di tengah ruangan keluarga, Keira berdiri dengan tubuh tegang, matanya menatap tajam ke arah sosok yang tak henti-hentinya mengikutinya sejak pagi hingga sore nyaris malam telah menjelang.Arka, sebaliknya, tampak santai bersandar di dinding sebrang. Posturnya yang tinggi dan tegap menciptakan bayangan panjang di lantai kayu yang berkilau. Sebuah seringai tipis tersungging di bibirnya yang sempurna, menambah aura misterius pada wajahnya yang tampan, tetapi kontras dengan ketegangan yang terpancar dari Keira. Mata Arka yang gelap, dalam, dan penuh rahasia, tak pernah lepas dari sosok Keira yang ada di hadapannya. Ia mengamati setiap gerak-gerik gadis itu dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka seolah bergetar. Keira merasakan kemarahan yang telah ia tahan sejak pagi kini mulai mendidih dalam dadanya, siap meluap seperti lava dari gunung berapi yang telah lama tertidur. Dengan suara bergetar menahan emosi, ia akhirnya membuka mulut, memecah keheningan yang mencekam di
Untuk sesaat, waktu seolah membeku. Keira merasakan tubuhnya kaku, seakan-akan ia telah berubah menjadi patung es, sama seperti kejadian kemarin yang masih membekas jelas dalam ingatannya. Pikirannya kosong, tak mampu memproses apa yang sedang terjadi. Seolah-olah semua neuron di otaknya berhenti bekerja seketika.Namun, tepat sebelum bibir Arka menyentuh bibirnya, kesadarannya kembali seperti arus listrik yang menyengat. Dengan gerakan cepat yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, ia mendorong dada Arka sekuat tenaga, membuat pemuda itu terhuyung ke belakang bak pohon yang diterpa angin kencang."Jangan pernah sentuh gue lagi!" kata Keira, Ada getaran dalam suaranya, tetapi ia paksakan untuk terdengar tegas. Matanya menatap tajam ke arah Arka, seolah-olah ingin melubangi kepala pemuda itu dengan tatapannya. "sekali lagi lo berani nyentuh gue tanpa izin, gue e
Arka menyeringai, matanya berkilat penuh keyakinan. "Yang gue bilang bukan prasangka! Gue cuma menghubungkan hal-hal yang menurut gue masuk akal. Pertama lo hamil dan tiba-tiba di ajak kesini, buat apa kalau lo bukan hamil anak bokap gue!""Jangan asal nuduh!" Keira membalas dengan nada tinggi. "Gue kesini karena Tante Vera dan Om Bara kasihan sama gue yang lagi hamil dan di rumah Papa cuma dijagain sama pembantu."Arka mendengus, seringainya semakin lebar. "Gitu ya?! Kok gue enggak bisa percaya kalau lo yang anak orang kaya dan bisa menyewa perawat pribadi selama kehamilan lo, mau aja diajak tinggal di rumah ini. Kecuali, bokap gue yang hamilin lo, makanya wajar aja kalau lo mau diajak tinggal disini dengan mudah!”Keira merasakan emosinya semakin bergejolak. Tuduhan-tuduhan Arka seolah menghantam dirinya ber
Sore telah berganti malam ketika suara deru mobil memecah keheningan. Arka, yang sedari tadi duduk dengan tenang di samping Keira, tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Senyum miring perlahan terbentuk di wajahnya, matanya berkilat penuh antisipasi. Keira, yang sedari tadi menjaga jarak dari Arka, merasakan perubahan atmosfer di sekitar mereka. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya. Suara langkah kaki yang mendekat terdengar semakin jelas, membuat ketegangan di ruangan itu semakin meningkat.Dalam sekejap mata, tanpa peringatan, Arka bergerak cepat. Tangannya dengan gesit merangkul bahu Keira, menarik tubuh gadis itu mendekat. Keira tersentak, tubuhnya menegang karena terkejut. Untuk kesekian kalinya, ia dibuat terperangah oleh tindakan Arka yang tak terduga.Setelah rasa kagetnya mereda, Keira berusaha memukul tangan Arka, mencoba melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu. Namun usahanya sia-sia. Cengkeraman Arka terlalu kuat, seolah-olah tangannya adalah
Suara pintu yang tertutup di kejauhan menjadi penanda bahwa Keira telah pergi, meninggalkan Arka dan Bara dalam keheningan yang menyesakkan.Arka masih terduduk di lantai, matanya kosong menatap ke arah Keira menghilang. Seketika ia merasa seperti bajingan berengsek yang telah memanfaatkan orang tak bersalah hanya demi kepentingan sendiri.Kesadaran itu menghantamnya bagai ombak besar, menenggelamkannya dalam rasa bersalah yang tak terkira. Ia baru menyadari betapa keterlaluan tindakannya pada Keira. Bayangan mata Keira yang berkaca-kaca dan hampir menangis sebelum gadis itu pergi, terus membayanginya dan menambah beban rasa bersalah yang kini menghimpit dadanya.Bara menatap anaknya dengan pandangan kecewa. Amarahnya yang tadi memuncak kini berganti menjadi kelelahan yang mendalam. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut, "Lain kali sebelum kamu membikin rencana memberontak pada Papa, pikirkan apakah itu merugikan dan menyakiti orang lain atau tidak? Silakan kalau m
Usai semalam pusing dan hampir jatuh, lagi-lagi Keira mengalami gejala yang sama ketika sedang sarapan. Melihat Keira yang begitu, tetapi menolak di ajak ke rumah sakit, membuat Bara berinisiatif memanggil dokter kandungan Keira ke rumahnya.Dokter kandungan yang dipanggil dengan tergesa-gesa oleh Bara, menjelaskan dengan nada serius setelah selesai melakukan pemeriksaan pada Keira."Setelah selesai melakukan pemeriksaan saya bisa memberitahukan kalau tekanan darah Keira naik secara signifikan. Pembuluh darahnya menyempit, mengurangi aliran darah ke janin."Kata-kata dokter itu bagaikan halilintar di siang bolong bagi Bara dan Vera yang berdiri di samping ranjang Keira. Wajah mereka memucat, kekhawatiran tergambar jelas di mata keduanya."Apa yang harus kita lakukan, Dok? Apa Keira perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Bara, suaranya bergetar menahan emosi.“Om, aku enggak mau ke rumah sakit,” rengek Keira. “Saya enggak harus ke rumah sakit, enggak apa-apa, ‘kan, Dok?Dokter itu menghe