Usai semalam pusing dan hampir jatuh, lagi-lagi Keira mengalami gejala yang sama ketika sedang sarapan. Melihat Keira yang begitu, tetapi menolak di ajak ke rumah sakit, membuat Bara berinisiatif memanggil dokter kandungan Keira ke rumahnya.Dokter kandungan yang dipanggil dengan tergesa-gesa oleh Bara, menjelaskan dengan nada serius setelah selesai melakukan pemeriksaan pada Keira."Setelah selesai melakukan pemeriksaan saya bisa memberitahukan kalau tekanan darah Keira naik secara signifikan. Pembuluh darahnya menyempit, mengurangi aliran darah ke janin."Kata-kata dokter itu bagaikan halilintar di siang bolong bagi Bara dan Vera yang berdiri di samping ranjang Keira. Wajah mereka memucat, kekhawatiran tergambar jelas di mata keduanya."Apa yang harus kita lakukan, Dok? Apa Keira perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Bara, suaranya bergetar menahan emosi.“Om, aku enggak mau ke rumah sakit,” rengek Keira. “Saya enggak harus ke rumah sakit, enggak apa-apa, ‘kan, Dok?Dokter itu menghe
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Arka dan Keira berbaikan. Suasana di rumah keluarga Mahendra yang tadinya tegang kini mulai mencair, digantikan oleh kehangatan yang perlahan-lahan tumbuh di antara mereka.Arka, sesuai dengan janjinya, mulai menunjukkan sisi dirinya yang berbeda. Ia tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan dan menekan, melainkan berubah menjadi seorang teman yang perhatian dan selalu siap membantu. Setiap pagi, ia akan mengetuk pintu kamar Keira dengan lembut, membawakan sesuatu yang ia buat sendiri dengan penuh dedikasi."Morning, Keira," sapa Arka suatu hari, senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan. "Ini, gue buatin teh chamomile. Katanya bagus buat ibu hamil," ujar Arka sambil menyodorkan secangkir pada Keira."Keira, yang awalnya masih ragu-ragu, perlahan mulai membuka hatinya. Ia tersenyum melihat usaha Arka, dan mulai menikmati perhatian layaknya seroang teman yang diberikan pemuda itu."Thanks, Arka," ujar Keira, mengambil piring dari tangan Arka. "
Seiring bertambahnya hari, tanpa disadari, hubungan Arka dan Keira semakin dekat. Dengan adanya Arka, Keira merasa seperti memiliki teman bicara karena semenjak hamil ia sengaja menjauhi semua temannya karena merasa malu dengan kehamilannya. Sedangkan Arka juga seperti punya teman untuk menghilangkan kegabutannya ketika berada di rumahMereka juga menemukan kecocokan yang tak terduga, terutama dalam hal musik. Suatu sore, Arka yang sedang bermain gitar di teras belakang terkejut mendengar suara piano dari ruang musik. Penasaran, ia mengintip dan mendapati Keira sedang memainkan sebuah lagu klasik dengan lincah."Wow, gue enggak nyangka lo bisa main piano," ujar Arka, masuk ke ruangan dengan gitar di tangan.Keira tersenyum, jemarinya masih menari di atas tuts. "Ada banyak hal yang lo belum tau tentang gue, Arka."Arka duduk di sebelah Keira, menatap gadis itu dengan kagum. "Kayaknya kita bisa bikin band kecil-kecilan nih. Lo di piano, gue di gitar."Keira tertawa, suaranya merdu di te
Malam itu, suasana makan malam di kediaman keluarga Mahendra berlangsung seperti biasa. Bara duduk di ujung meja, dengan Vera di sampingnya. Arka dan Keira duduk berseberangan, sementara Tasya mengambil tempat di sebelah ibunya. Aroma lezat masakan rumahan memenuhi ruangan, diiringi dentingan peralatan makan dan obrolan ringan.Namun, ada sesuatu yang berbeda dari Tasya malam itu. Gadis cantik berusia 19 tahun itu terlihat gelisah, berkali-kali mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar memakannya. Matanya bergerak-gerak gelisah, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak kunjung menemukan keberanian."Kamu kenapa, Tas? Kok makanannya cuma diaduk-aduk saja?" tanya Vera, menyadari keanehan putrinya.Tasya tersentak, seolah baru tersadar dari lamunannya. "Ah, eng-nggak apa-apa kok, Ma," jawabnya terbata-bata.Bara mengangkat alisnya, merasakan ada yang tidak beres. "Ada masalah di kampus?" tanyanya, mencoba menebak.Tasya menggeleng pelan, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tak b
Pagi itu, kediaman keluarga Mahendra dipenuhi atmosfer ketegangan yang mencekam. Semua orang berkumpul di ruang tamu, menanti kedatangan Kevin dengan perasaan campur aduk. Bara duduk di sofa utama, tangannya terkepal erat, matanya menatap tajam ke arah pintu. Di sampingnya, Vera berusaha menenangkan suaminya dengan mengusap lembut punggung tangannya. Arka berdiri bersandar di dinding, lengannya terlipat di dada, ekspresinya keras penuh amarah. Tasya duduk di sudut ruangan, matanya sembab dan tubuhnya gemetar. Sementara itu, Keira memilih untuk tetap di kamarnya, jantungnya berdegup kencang menanti apa yang akan terjadi.Ketukan di pintu memecah keheningan. Tasya bergegas membukanya, dan masuklah sosok yang ditunggu-tunggu: Kevin. Pria muda itu melangkah masuk dengan tenang, seolah tak menyadari aura permusuhan yang menyelimutinya. Matanya berkeliling ruangan, dan untuk sesaat, terhenti pada foto Keira yang terpajang di dinding."Selamat pagi, Om, Tante," sapa Kevin dengan senyum yan
Pintu ruang kerja Bara terbuka perlahan. Kevin melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. Senyum kemenangan masih tersungging di bibirnya yang berdarah. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya bertemu dengan sepasang mata yang sangat dikenalnya.Keira berdiri terpaku, wajahnya pucat pasi. Ia terlambat bersembunyi, dan kini harus berhadapan langsung dengan pria yang pernah mengisi hatinya. Kevin menyeringai, matanya berkilat penuh arti." Well, well, look who we have here," sapa Kevin dengan nada rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. " Lama enggak ketemu, Keira. Ternyata, kamu masih cantik seperti dulu."Keira menelan ludah, berusaha menguatkan diri. "Aku udah denger semuanya karena aku enggak sengaja mencuri dengar percakapan kamu sama Om Bara tadi!" ujarnya dengan suara bergetar. "Aku tahu, aku pernah melukai hati kamu Kevin, tapi memangnya kamu harus sejahat ini membalas dendam ke aku dan Om Bara dengan menggunakan
Kevin, yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga ini, merasa frustrasi dengan sikap Keira yang terus menghindar darinya. Setiap kali ia mencoba mendekati gadis itu, selalu ada Arka yang siap mengintervensi atau Keira sendiri yang dengan cepat menemukan alasan untuk menjauh.Suatu pagi, Kevin berdiri di balkon kamarnya, matanya memandang jauh ke arah taman di mana Keira sedang menyiram tanaman. Ia mengamati bagaimana gadis itu bergerak dengan lembut, senyum kecil tersungging di bibirnya saat ia berbicara pada bunga-bunga yang ia rawat. Kevin merasakan dadanya sesak dan berdenyut nyeri oleh kerinduan dan kemarahan yang bercampur aduk. Ingin rasanya ia turun dan bergabung dengan Keira, merasakan kedamaian yang sama.Namun, belum sempat ia melangkah, sosok Bara muncul di taman. Pria paruh baya itu menghampiri Keira dengan langkah ringan, tangannya membawa secangkir teh hangat. Kevin melihat bagaimana wajah Keira berubah cerah saat melihat Bara, bagaimana gadis itu menerima cangkir teh
Empat bulan berlalu dengan cepatnya, membawa perubahan yang tak terelakkan dalam kehidupan keluarga Bara. Keira, dengan perutnya yang kini membuncit sempurna, telah memasuki bulan ke-9 kehamilannya. Kevin, dengan matanya yang tajam dan penuh perhitungan, mengamati setiap detail interaksi antara Keira dan Bara. Ia melihat bagaimana Bara semakin protektif terhadap Keira, seolah gadis itu adalah harta paling berharga di dunia. Pria paruh baya itu bahkan rela tidur di sofa ruang tengah, matanya setengah terpejam, tetapi telinganya selalu waspada, siap melompat kapan saja jika Keira membutuhkan sesuatu di tengah malam.Arka, di sisi lain, juga menunjukkan perhatian yang tak kalah intens. Pemuda itu selalu siap sedia, bagaikan bayangan yang tak pernah lepas dari sisi Keira. Ia membawakan barang-barang Keira, memijat kaki Keira yang mulai bengkak dengan lembut, atau sekadar duduk di samping gadis itu, menyanyikan lagu-lagu yang ia ciptakan khusus untuk bayi dalam kandungan Keira.Kevin han