Pintu ruang kerja Bara terbuka perlahan. Kevin melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. Senyum kemenangan masih tersungging di bibirnya yang berdarah. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya bertemu dengan sepasang mata yang sangat dikenalnya.Keira berdiri terpaku, wajahnya pucat pasi. Ia terlambat bersembunyi, dan kini harus berhadapan langsung dengan pria yang pernah mengisi hatinya. Kevin menyeringai, matanya berkilat penuh arti." Well, well, look who we have here," sapa Kevin dengan nada rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. " Lama enggak ketemu, Keira. Ternyata, kamu masih cantik seperti dulu."Keira menelan ludah, berusaha menguatkan diri. "Aku udah denger semuanya karena aku enggak sengaja mencuri dengar percakapan kamu sama Om Bara tadi!" ujarnya dengan suara bergetar. "Aku tahu, aku pernah melukai hati kamu Kevin, tapi memangnya kamu harus sejahat ini membalas dendam ke aku dan Om Bara dengan menggunakan
Kevin, yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga ini, merasa frustrasi dengan sikap Keira yang terus menghindar darinya. Setiap kali ia mencoba mendekati gadis itu, selalu ada Arka yang siap mengintervensi atau Keira sendiri yang dengan cepat menemukan alasan untuk menjauh.Suatu pagi, Kevin berdiri di balkon kamarnya, matanya memandang jauh ke arah taman di mana Keira sedang menyiram tanaman. Ia mengamati bagaimana gadis itu bergerak dengan lembut, senyum kecil tersungging di bibirnya saat ia berbicara pada bunga-bunga yang ia rawat. Kevin merasakan dadanya sesak dan berdenyut nyeri oleh kerinduan dan kemarahan yang bercampur aduk. Ingin rasanya ia turun dan bergabung dengan Keira, merasakan kedamaian yang sama.Namun, belum sempat ia melangkah, sosok Bara muncul di taman. Pria paruh baya itu menghampiri Keira dengan langkah ringan, tangannya membawa secangkir teh hangat. Kevin melihat bagaimana wajah Keira berubah cerah saat melihat Bara, bagaimana gadis itu menerima cangkir teh
Empat bulan berlalu dengan cepatnya, membawa perubahan yang tak terelakkan dalam kehidupan keluarga Bara. Keira, dengan perutnya yang kini membuncit sempurna, telah memasuki bulan ke-9 kehamilannya. Kevin, dengan matanya yang tajam dan penuh perhitungan, mengamati setiap detail interaksi antara Keira dan Bara. Ia melihat bagaimana Bara semakin protektif terhadap Keira, seolah gadis itu adalah harta paling berharga di dunia. Pria paruh baya itu bahkan rela tidur di sofa ruang tengah, matanya setengah terpejam, tetapi telinganya selalu waspada, siap melompat kapan saja jika Keira membutuhkan sesuatu di tengah malam.Arka, di sisi lain, juga menunjukkan perhatian yang tak kalah intens. Pemuda itu selalu siap sedia, bagaikan bayangan yang tak pernah lepas dari sisi Keira. Ia membawakan barang-barang Keira, memijat kaki Keira yang mulai bengkak dengan lembut, atau sekadar duduk di samping gadis itu, menyanyikan lagu-lagu yang ia ciptakan khusus untuk bayi dalam kandungan Keira.Kevin han
Rumah Bara yang dulunya hanya dipenuhi oleh suara-suara orang dewasa, kini dihiasi oleh tangisan dan celotehan dua makhluk mungil yang menjadi pusat perhatian semua orang.Sabiru Elang Mahendrata dan Aurora Dara Mahendrata, begitulah nama yang akhirnya disepakati oleh Bara dan Keira untuk si kembar. Nama-nama yang sarat makna, mencerminkan harapan dan doa kedua orang tua mereka.Setiap pagi, Bara akan mengendap-endap masuk ke kamar Keira, matanya berbinar penuh antisipasi untuk melihat wajah-wajah mungil yang kini menjadi alasan utamanya untuk bangun di pagi hari.Kakinya melangkah tanpa suara di atas lantai kayu, menuju ke sebuah boks bayi besar yang terletak di sudut kamar. Jantungnya berdebar kencang, dipenuhi antisipasi yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Selama dua bulan terakhir, ini telah menjadi rutinitas favoritnya - mengendap-endap ke kamar bayi untuk menyaksikan keajaiban kecil yang kini menjadi pusat dunianya.Ia akan berdiri di samping boks bayi, mengamati setiap ger
Empat belas hari berlalu dengan ketegangan yang tak terucap. Kevin, dengan seringai licik tersembunyi di balik topeng wajah tenangnya, menanti dengan sabar hasil tes DNA yang ia lakukan secara diam-diam. Setiap hari, ia mengecek kotak surat dengan antisipasi yang memuncak, menunggu amplop yang akan menjadi senjata pamungkasnya.Akhirnya, pada hari ke-14, amplop yang ditunggu-tunggu tiba. Dengan tangan gemetar oleh antisipasi, Kevin membuka amplop itu. Matanya menyapu cepat deretan angka dan huruf yang tercetak di kertas, hingga akhirnya berhenti pada satu kalimat yang membuat seringainya melebar: "Probabilitas hubungan ayah-anak: 99.99%."Tanpa membuang waktu, Kevin menaruh surat itu di tempat yang ia yakini akan ditemukan oleh Vera, Tasya, dan Arka. Ia memilih meja kecil di ruang keluarga, tempat di mana mereka biasa meletakkan koran pagi dan surat-surat penting. Dengan hati-hati, ia meletakkan amplop itu di atas tumpukan surat lainnya, memastikan bagian yang menunjukkan hasil tes DN
Setelah Vera dan anak-anaknya meninggalkan kamar, keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Hanya isakan pelan bayi-bayi kembar yang memecah kesunyian. Keira, dengan tangan gemetar, berusaha menenangkan bayi di pelukannya. Matanya menatap jauh ke luar jendela, pikirannya berkelana ke peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Bara melakukan hal yang sama dengan bayi dalam gendongannya, tetapi matanya tak pernah lepas dari sosok Keira dan bayi digendongan gadis itu.Setelah beberapa saat, Keira menatap Bara, matanya masih basah oleh air mata. Dengan suara lirih yang bergetar, ia akhirnya memberanikan diri untuk bicara."Om," Keira akhirnya memecah keheningan, suaranya nyaris berbisik. "Kenapa Om bohong lagi sama Tante Vera? Om Bara kan enggak memperkosa aku, tapi malah menyelamatkan aku dari pengaruh obat perangsang sialan waktu itu."Bara menghela nafas panjang, tangannya mengusap wajahnya yang terlihat lebih tua dari usianya. "Karena Om enggak mau kamu yang jadi sasaran kemara
Vera, yang selama beberpa hari hanya mengurung diri di kamar, kini mulai menampakkan diri dengan sikap yang jauh berbeda dari sebelumnya.Awalnya, Vera berusaha bersikap bijak. Ia paham bahwa Keira bukanlah pihak yang sepenuhnya bersalah dalam situasi ini. Meski tidak lagi bisa bersikap ramah dan baik seperti dulu, setidaknya ia berusaha untuk tidak bersikap kejam pada gadis itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Vera merasakan pergolakan emosi yang semakin intens.Akhirnya, Vera yang semula mencoba bersikap bijak dan pengertian, kini mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan sikap. Matanya yang dulu selalu memancarkan kehangatan kini dipenuhi oleh sorot dingin setiap kali bertemu pandang dengan Keira. Senyumnya yang dulu tulus kini terlihat dipaksakan, seolah hanya topeng yang menutupi badai emosi di baliknya.Keira, yang menyadari perubahan sikap Vera, hanya bisa menunduk setiap kali berpapasan dengan wanita itu. Rasa bersalah yang selama ini ia pendam kembali menggerogoti hatinya, me
Setelah insiden dengan Kevin, Keira semakin berhati-hati dalam berinteraksi dengan siapapun di rumah itu. Ia berusaha fokus merawat Sabiru dan Aurora, berharap kesibukan mengurus anak kembar bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah yang semakin rumit.Namun, tanpa sepengetahuan Keira, situasi akan segera memburuk. Vera, yang telah memasang kamera tersembunyi di berbagai sudut rumah, berhasil mendapatkan foto-foto yang menunjukkan Kevin mencoba memeluk Keira. Dengan senyum puas, Vera mencetak foto-foto tersebut.Keesokan harinya, saat semua anggota keluarga berkumpul untuk sarapan, Vera memulai rencananya. Ia meletakkan amplop berisi foto-foto itu di meja makan, tepat di hadapan Tasya."Tasya sayang, ada sesuatu yang harus kamu lihat. Tadi ada orang yang mengirimkan itu dan menitipkannya pada Mama, katanya untukmu" ujar Vera dengan nada prihatin yang dibuat-buat.Tasya membuka amplop itu dengan penasaran, tetapi ekspresinya berubah drastis begitu melihat isinya. Matanya melebar, waja
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di