Arka menyeringai, matanya berkilat penuh keyakinan. "Yang gue bilang bukan prasangka! Gue cuma menghubungkan hal-hal yang menurut gue masuk akal. Pertama lo hamil dan tiba-tiba di ajak kesini, buat apa kalau lo bukan hamil anak bokap gue!"
"Jangan asal nuduh!" Keira membalas dengan nada tinggi. "Gue kesini karena Tante Vera dan Om Bara kasihan sama gue yang lagi hamil dan di rumah Papa cuma dijagain sama pembantu."
Arka mendengus, seringainya semakin lebar. "Gitu ya?! Kok gue enggak bisa percaya kalau lo yang anak orang kaya dan bisa menyewa perawat pribadi selama kehamilan lo, mau aja diajak tinggal di rumah ini. Kecuali, bokap gue yang hamilin lo, makanya wajar aja kalau lo mau diajak tinggal disini dengan mudah!”
Keira merasakan emosinya semakin bergejolak. Tuduhan-tuduhan Arka seolah menghantam dirinya ber
Sore telah berganti malam ketika suara deru mobil memecah keheningan. Arka, yang sedari tadi duduk dengan tenang di samping Keira, tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Senyum miring perlahan terbentuk di wajahnya, matanya berkilat penuh antisipasi. Keira, yang sedari tadi menjaga jarak dari Arka, merasakan perubahan atmosfer di sekitar mereka. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya. Suara langkah kaki yang mendekat terdengar semakin jelas, membuat ketegangan di ruangan itu semakin meningkat.Dalam sekejap mata, tanpa peringatan, Arka bergerak cepat. Tangannya dengan gesit merangkul bahu Keira, menarik tubuh gadis itu mendekat. Keira tersentak, tubuhnya menegang karena terkejut. Untuk kesekian kalinya, ia dibuat terperangah oleh tindakan Arka yang tak terduga.Setelah rasa kagetnya mereda, Keira berusaha memukul tangan Arka, mencoba melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu. Namun usahanya sia-sia. Cengkeraman Arka terlalu kuat, seolah-olah tangannya adalah
Suara pintu yang tertutup di kejauhan menjadi penanda bahwa Keira telah pergi, meninggalkan Arka dan Bara dalam keheningan yang menyesakkan.Arka masih terduduk di lantai, matanya kosong menatap ke arah Keira menghilang. Seketika ia merasa seperti bajingan berengsek yang telah memanfaatkan orang tak bersalah hanya demi kepentingan sendiri.Kesadaran itu menghantamnya bagai ombak besar, menenggelamkannya dalam rasa bersalah yang tak terkira. Ia baru menyadari betapa keterlaluan tindakannya pada Keira. Bayangan mata Keira yang berkaca-kaca dan hampir menangis sebelum gadis itu pergi, terus membayanginya dan menambah beban rasa bersalah yang kini menghimpit dadanya.Bara menatap anaknya dengan pandangan kecewa. Amarahnya yang tadi memuncak kini berganti menjadi kelelahan yang mendalam. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut, "Lain kali sebelum kamu membikin rencana memberontak pada Papa, pikirkan apakah itu merugikan dan menyakiti orang lain atau tidak? Silakan kalau m
Usai semalam pusing dan hampir jatuh, lagi-lagi Keira mengalami gejala yang sama ketika sedang sarapan. Melihat Keira yang begitu, tetapi menolak di ajak ke rumah sakit, membuat Bara berinisiatif memanggil dokter kandungan Keira ke rumahnya.Dokter kandungan yang dipanggil dengan tergesa-gesa oleh Bara, menjelaskan dengan nada serius setelah selesai melakukan pemeriksaan pada Keira."Setelah selesai melakukan pemeriksaan saya bisa memberitahukan kalau tekanan darah Keira naik secara signifikan. Pembuluh darahnya menyempit, mengurangi aliran darah ke janin."Kata-kata dokter itu bagaikan halilintar di siang bolong bagi Bara dan Vera yang berdiri di samping ranjang Keira. Wajah mereka memucat, kekhawatiran tergambar jelas di mata keduanya."Apa yang harus kita lakukan, Dok? Apa Keira perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Bara, suaranya bergetar menahan emosi.“Om, aku enggak mau ke rumah sakit,” rengek Keira. “Saya enggak harus ke rumah sakit, enggak apa-apa, ‘kan, Dok?Dokter itu menghe
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Arka dan Keira berbaikan. Suasana di rumah keluarga Mahendra yang tadinya tegang kini mulai mencair, digantikan oleh kehangatan yang perlahan-lahan tumbuh di antara mereka.Arka, sesuai dengan janjinya, mulai menunjukkan sisi dirinya yang berbeda. Ia tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan dan menekan, melainkan berubah menjadi seorang teman yang perhatian dan selalu siap membantu. Setiap pagi, ia akan mengetuk pintu kamar Keira dengan lembut, membawakan sesuatu yang ia buat sendiri dengan penuh dedikasi."Morning, Keira," sapa Arka suatu hari, senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan. "Ini, gue buatin teh chamomile. Katanya bagus buat ibu hamil," ujar Arka sambil menyodorkan secangkir pada Keira."Keira, yang awalnya masih ragu-ragu, perlahan mulai membuka hatinya. Ia tersenyum melihat usaha Arka, dan mulai menikmati perhatian layaknya seroang teman yang diberikan pemuda itu."Thanks, Arka," ujar Keira, mengambil piring dari tangan Arka. "
Seiring bertambahnya hari, tanpa disadari, hubungan Arka dan Keira semakin dekat. Dengan adanya Arka, Keira merasa seperti memiliki teman bicara karena semenjak hamil ia sengaja menjauhi semua temannya karena merasa malu dengan kehamilannya. Sedangkan Arka juga seperti punya teman untuk menghilangkan kegabutannya ketika berada di rumahMereka juga menemukan kecocokan yang tak terduga, terutama dalam hal musik. Suatu sore, Arka yang sedang bermain gitar di teras belakang terkejut mendengar suara piano dari ruang musik. Penasaran, ia mengintip dan mendapati Keira sedang memainkan sebuah lagu klasik dengan lincah."Wow, gue enggak nyangka lo bisa main piano," ujar Arka, masuk ke ruangan dengan gitar di tangan.Keira tersenyum, jemarinya masih menari di atas tuts. "Ada banyak hal yang lo belum tau tentang gue, Arka."Arka duduk di sebelah Keira, menatap gadis itu dengan kagum. "Kayaknya kita bisa bikin band kecil-kecilan nih. Lo di piano, gue di gitar."Keira tertawa, suaranya merdu di te
Malam itu, suasana makan malam di kediaman keluarga Mahendra berlangsung seperti biasa. Bara duduk di ujung meja, dengan Vera di sampingnya. Arka dan Keira duduk berseberangan, sementara Tasya mengambil tempat di sebelah ibunya. Aroma lezat masakan rumahan memenuhi ruangan, diiringi dentingan peralatan makan dan obrolan ringan.Namun, ada sesuatu yang berbeda dari Tasya malam itu. Gadis cantik berusia 19 tahun itu terlihat gelisah, berkali-kali mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar memakannya. Matanya bergerak-gerak gelisah, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak kunjung menemukan keberanian."Kamu kenapa, Tas? Kok makanannya cuma diaduk-aduk saja?" tanya Vera, menyadari keanehan putrinya.Tasya tersentak, seolah baru tersadar dari lamunannya. "Ah, eng-nggak apa-apa kok, Ma," jawabnya terbata-bata.Bara mengangkat alisnya, merasakan ada yang tidak beres. "Ada masalah di kampus?" tanyanya, mencoba menebak.Tasya menggeleng pelan, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tak b
Pagi itu, kediaman keluarga Mahendra dipenuhi atmosfer ketegangan yang mencekam. Semua orang berkumpul di ruang tamu, menanti kedatangan Kevin dengan perasaan campur aduk. Bara duduk di sofa utama, tangannya terkepal erat, matanya menatap tajam ke arah pintu. Di sampingnya, Vera berusaha menenangkan suaminya dengan mengusap lembut punggung tangannya. Arka berdiri bersandar di dinding, lengannya terlipat di dada, ekspresinya keras penuh amarah. Tasya duduk di sudut ruangan, matanya sembab dan tubuhnya gemetar. Sementara itu, Keira memilih untuk tetap di kamarnya, jantungnya berdegup kencang menanti apa yang akan terjadi.Ketukan di pintu memecah keheningan. Tasya bergegas membukanya, dan masuklah sosok yang ditunggu-tunggu: Kevin. Pria muda itu melangkah masuk dengan tenang, seolah tak menyadari aura permusuhan yang menyelimutinya. Matanya berkeliling ruangan, dan untuk sesaat, terhenti pada foto Keira yang terpajang di dinding."Selamat pagi, Om, Tante," sapa Kevin dengan senyum yan
Pintu ruang kerja Bara terbuka perlahan. Kevin melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. Senyum kemenangan masih tersungging di bibirnya yang berdarah. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya bertemu dengan sepasang mata yang sangat dikenalnya.Keira berdiri terpaku, wajahnya pucat pasi. Ia terlambat bersembunyi, dan kini harus berhadapan langsung dengan pria yang pernah mengisi hatinya. Kevin menyeringai, matanya berkilat penuh arti." Well, well, look who we have here," sapa Kevin dengan nada rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. " Lama enggak ketemu, Keira. Ternyata, kamu masih cantik seperti dulu."Keira menelan ludah, berusaha menguatkan diri. "Aku udah denger semuanya karena aku enggak sengaja mencuri dengar percakapan kamu sama Om Bara tadi!" ujarnya dengan suara bergetar. "Aku tahu, aku pernah melukai hati kamu Kevin, tapi memangnya kamu harus sejahat ini membalas dendam ke aku dan Om Bara dengan menggunakan